Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Suku pedalaman Brasil bernama Mura berupaya mencegah kebakaran hutan Amazon meluas dan pembabatan hutan Amazon yang mengancam tanah leluhur mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan panah dan tongkat pemukul, mereka memasuki hutan untuk melawan musuh baru: deforestasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar 18.000 lebih Suku Mura tinggal di negara bagian Amazonas, negara bagian Brasil terbesar yang memiliki kandungan hutan Amazon, menurut data organisasi nirlaba Instituto Socioambiental.
Dikutip dari Reuters, 24 Agustus 2019, anggota suku menunjukkan area seluas beberapa lapangan sepakbola di dekat desa mereka, di mana hutan telah dibabat habis. Tinggal tanah luas membentang akibat kerja mesin-mesin traktor.
"Dengan berlalunya hari, kita melihat kemajuan kehancuran: penggundulan hutan, invasi, penebangan," kata Handerch Wakana Mura, salah satu dari beberapa pemimpin klan suku yang terdiri lebih dari 60 orang.
"Kami sedih karena hutan mati setiap saat. Kami merasakan perubahan iklim dan dunia membutuhkan hutan."
Masyarakat adat dari suku Mura berjalan di daerah gundul di tanah adat tak bertanda di dalam hutan hujan Amazon dekat Humaita, Negara Bagian Amazonas, Brasil 20 Agustus 2019.[REUTERS / Ueslei Marcelino]
Memang, deforestasi Amazon telah melonjak 67 persen dalam tujuh bulan pertama tahun ini dari periode yang sama tahun lalu, menurut lembaga penelitian luar angkasa Brazil, INPE.
Minggu ini, badan tersebut mengatakan kebakaran hutan naik lebih dari 80 persen di negara itu tahun ini, mencapai titik tertinggi sejak setidaknya 2013.
Titik-titip api mengambik di sekitar desa Suku Mura.
Para aktivis lingkungan menyalahkan Presiden sayap kanan Jair Bolsonaro, yang menyerukan pengembangan hutan lindung dan melonggarkan aturan ketat pengawasan lingkungan. Ini membuat para penebang dan petani semakin berani membersihkan lahan, kadang-kadang dengan membakar.
Suku Mura belum bisa menghentikan para penebang. Penggundulan hutan di daerah itu dimulai empat tahun lalu, dan baru tahun lalu pihak berwenang mengusir para penebang dan mereka yang menggali batu untuk membangun jalan di dekatnya.
Penebangan kemudian melewati batas jalan, dengan banyak pohon tumbang yang terlihat oleh drone.
Ketika penebangan mereda, Suku Mura menemukan jalan melalui hutan di dekatnya yang baru-baru ini telah dipahat dengan gergaji dan parang, yang merupakan jalur penebangan dan tanda pertama dari daerah baru yang akan ditargetkan untuk dibuka.
Kali ini, jalan setapak sangat dekat dengan sekelompok pohon kacang Brazil yang dipanen oleh suku, sumber makanan tradisional utama bagi masyarakat adat di daerah tersebut, kata Handerch Wakana Mura dan para pemimpin suku lainnya.
Masyarakat adat dari suku Mura menunjukkan daerah gundul di tanah adat tak bertanda di dalam hutan hujan Amazon dekat Humaita, Negara Bagian Amazonas, Brasil 20 Agustus 2019. Foto diambil 20 Agustus 2019. Sejumlah kebakaran hutan berkobar selama berminggu-minggu dan menghancurkan hutan. Amazon Brasil, hutan hujan tropis terbesar di dunia yang menurut para ilmuwan perlindungan sangat penting untuk memerangi perubahan iklim. "Sampai tetes darah terakhir saya": Suku Amazon bersumpah untuk melindungi tanah suci.[REUTERS / Ueslei Marcelino]
Suku Mura berencana untuk berperang melawan penebang dan lainnya yang mengeksploitasi tanah dengan mengajukan keluhan kepada lembaga penegakan lingkungan negara dan jaksa penuntut umum.
Mereka telah berjuang selama hampir 20 tahun untuk memiliki tanah di sekitar desa mereka yang dibatasi sebagai cagar alam resmi, sebuah langkah yang akan membawa perlindungan tambahan, beber Handerch Wakana Mura.
Suku Mura mengatakan itu akan menjadi pertempuran yang sulit, dengan Bolsonaro telah bersumpah untuk tidak menyisihkan tanah suku lagi.
Pemimpin Raimundo Praia Belem Mura, 73 tahun yang telah tinggal di tanah itu seumur hidupnya, telah bersumpah untuk berjuang sampai akhir.
"Untuk hutan ini, aku akan melanjutkan sampai tetes darah terakhirku," kata Raimundo sambil melihat tanah adatnya di hutan Amazon semakin gundul.