Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Surat Mengejutkan Uskup Agung

Laporan tentang kasus perundungan seksual pastor mengguncang otoritas Katolik. Tantangan serius bagi Paus Fransiskus.

28 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Paus Fransiskus di Lituania, September 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USKUP Agung Carlo Maria Vigano melansir surat terbuka yang menggemparkan Vatikan, akhir Agustus lalu. Surat itu diterbitkan koran-koran kelompok pendukung gereja konservatif. Mantan Duta Besar Vatikan untuk Amerika Serikat itu mendesak Paus Fransiskus mengundurkan diri karena, antara lain, selama bertahun-tahun mengetahui perilaku seksual menyimpang salah seorang kardinal Amerika, McCarrick, tapi tidak bertindak apa-apa.

Paus sedang berada di Irlandia, juga untuk menangani kasus dugaan perundungan seksual yang dituduhkan kepada otoritas Katolik di negara itu, saat surat Vigano dilansir. Paus tak mau banyak berkomentar. “Saya tidak akan mengucapkan satu kata pun tentang ini,” katanya kepada wartawan dalam perjalanan menuju Vatikan. “Saya percaya pernyataan itu berbicara dengan sendirinya. Dan Anda memiliki kemampuan jurnalistik yang cukup untuk membuat kesimpulan.”

Tudingan Vigano, juga sejumlah pengungkapan dugaan perilaku seksual menyimpang di lingkungan gereja di sejumlah negara, ini mengguncang Vatikan. Selain di Irlandia, kasus serupa terjadi di Australia, Cile, dan Amerika Serikat. Paus menggelar rapat Dewan Kardinal di Vatikan, pertengahan September lalu. Hasilnya, tulis Catholic News Service, Rabu dua pekan lalu, Paus “memutuskan mengadakan pertemuan dengan para presiden konferensi uskup Gereja Katolik mengenai perlindungan anak di bawah umur”.

Tuduhan soal kekerasan seksual di komunitas Gereja Katolik timbul-tenggelam hingga 1990-an. Menurut Fox, salah satu penyelidikan pertama mengenai perundungan seksual yang luas dan terpola terjadi pada akhir 1990-an di Irlandia. Sebagian besar peliputan dilakukan tim film dokumenter televisi State of Fear, diikuti terbitnya buku Suffer the Little Children karya Mary Raftery and Eoin O’Sullivan.

Film dan buku itu mengungkap meluasnya praktik perundungan seksual di panti asuhan serta lembaga pendidikan yang didanai negara dan dikelola Gereja Katolik serta upaya menutup-nutupi kasus oleh para pastor dan penegak hukum setempat. Kasus perundungan di Irlandia dinilai sangat parah. Kolumnis Irlandia, Fintan O’Toole, sebelum kunjungan Paus ke Irlandia pada akhir September lalu, menulis, “(Paus) akan menemukan Gereja Katolik tidak hanya jatuh ke kehancuran. Dalam beberapa hal, masalah itu tidak bisa diperbaiki.”

Di Amerika Serikat, kasus perundungan seksual di komunitas Katolik terungkap pada 2002. Harian Boston Globe mempublikasikan hasil investigasi seks terselubung dengan perundungan seksual anak di tangan para rohaniwan di wilayah Boston. Kasus ini ditutup-tutupi gereja selama beberapa dekade. Media itu mengidentifikasi keterlibatan lebih dari 70 pastor Boston. Saat itu ada 1.678 pastor di Keuskupan Agung Boston.

Penyelidikan tersebut penuh dengan kesulitan politik karena Boston adalah kota yang sangat Katolik. Pada tahun 2000, 48 persen penduduknya memeluk Katolik. Penegak hukum dan jurnalis sama-sama berhati-hati dalam hal ini karena bisa dinilai “bias anti-Katolik”. Dalam temuan Boston Globe, pastor yang merundung anak-anak hanya akan dipindahtugaskan ke paroki lain dan menghadapi beberapa konsekuensi hukum atau pastoral. Aparat penegak hukum pun enggan memprosesnya.

Ketika mendatangi pejabat gereja dengan tuduhan itu, tulis Boston Globe, sering kali korban diam-diam dibayar dengan “uang tutup mulut”. Pada umumnya, gereja menangani kasus perundungan seksual dalam kerahasiaan mutlak. Keuskupan di seluruh Boston membayar ganti rugi kepada korban dan catatan-catatan kasusnya disegel sehingga tidak pernah dibuka ke publik. Pastornya pun tidak menghadapi tuntutan pidana.

Kalangan atas yang terlibat dalam upaya merahasiakan kasus itu adalah Uskup Agung Boston Bernard Law. Ia dinilai menutup-nutupi kasus yang melibatkan pastor John J. Geoghan. Geoghan dipecat Paus Yohanes Paulus II pada 1998 setelah merundung setidaknya 150 anak laki-laki. Tapi, selama 30 tahun, dia hanya dipindahkan dari satu paroki ke paroki lain setiap kali ada yang mengajukan komplain terhadap dia. Geoghan, seperti dilansir Washington Post, akhirnya diadili, divonis bersalah, dan dipenjara. Ia tewas pada 2003 di tangan sesama narapidana.

Menurut National Public Radio, sepanjang tahun 2000-an, berbagai keuskupan dan keuskupan agung menyelesaikan masalah tudingan kekerasan seksual melalui skema ganti rugi kepada korban. Gereja Katolik telah membayar lebih dari US$ 3 miliar kepada korban di seluruh Amerika Serikat. Dampaknya, sekitar 19 keuskupan mengajukan status pailit.

Gereja Katolik Amerika bergulat dengan masalah ini pada awal 2000-an. Setelah laporan Boston Globe terbit, korban perundungan seksual mulai muncul di seluruh Amerika. Para pastor dan uskup Katolik berusaha mengatasi masalah ini karena makin jelas bahwa hal itu hanya salah satu bagian dari krisis nasional. Pada 2002, Konferensi Uskup Katolik Amerika Serikat (USCCB) menetapkan piagam prosedur penanganan pelaku kekerasan seksual anak, termasuk kebijakan “tanpa toleransi” bagi para pelaku yang dituduh.

Piagam ini secara resmi dikenal sebagai Piagam untuk Perlindungan Anak-anak dan Kaum Muda atau Piagam Dallas. Piagam itu juga mengamanatkan penyerahan semua tuduhan kekerasan seksual anak oleh pastor kepada penegak hukum. Sejak penetapan piagam tersebut, tuduhan penyalahgunaan wewenang di kalangan pastor di Amerika menurun. Dua tahun setelah Piagam Dallas diberlakukan, USCCB menugasi John Jay College of Criminal Justice di New York menyusun laporan tentang kekerasan seksual selama lima dekade di Negeri Abang Sam.

Laporan John Jay College itu diterbitkan pada 2004. Laporan tersebut antara lain menyimpulkan, selama 1950-2002, sebanyak 10.667 orang di seluruh Amerika menuduh 4.392 pastor melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Ini mewakili sekitar 4,3 persen pastor Katolik aktif di Amerika waktu itu.

Dari jumlah itu, hanya 252 pastor yang dinyatakan bersalah dengan dakwaan kriminal dan cuma 100 di antaranya yang menjalani hukuman di penjara. Sebaliknya, keuskupan dan paroki membayar miliaran dolar untuk menyelesaikan kasus selama beberapa dekade dan mengamankan kerahasiaan atas kasus-kasus ini. Laporan John Jay juga menyimpulkan petinggi gereja secara sistematis membela serta melindungi para pastor dan memperlakukan pelanggaran mereka sebagai dosa yang menuntut pertobatan dan pengampunan, bukan penuntutan pidana.

Laporan itu bukan bukti satu-satunya yang berbicara tentang kekerasan seksual dan upaya sistematis untuk menutup-nutupinya. Yang terbaru adalah laporan juri Pennsylvania yang dirilis pada 14 Agustus lalu. Dokumen setebal 1.400 halaman yang disusun selama dua tahun itu menyebutkan 300 pastor terlibat dalam perundungan seksual terhadap lebih dari seribu anak di enam dari delapan keuskupan negara bagian di Amerika. Kekerasan seksual ini, menurut laporan itu, dimungkinkan oleh upaya menutup-nutupi yang dilakukan para pemimpin gereja dan pastor.

Sudah lama Vatikan berusaha keras mengatasi masalah akut ini. Yohanes Paulus II adalah paus pertama yang menangani krisis ini secara terbuka dan mengutuk tindakan itu sebagai “dosa yang mengerikan” pada April 2002. Langkah sama dilakukan penerusnya, Benediktus. Di bawah pengawasan Benediktus, Gereja memecat 384 pastor yang dituduh melakukan perundungan seksual terhadap anak-anak. Benediktus bertemu dengan para korban, termasuk lima orang dari Keuskupan Agung Boston.

Paus Fransiskus meneruskan upaya itu. Setelah dilantik menjadi paus, Fransiskus mengumumkan pembentukan komite Vatikan untuk melawan kekerasan seksual di gereja. Dia juga secara terbuka meminta maaf atas tindakan Vatikan dan menyatakan penyesalan atas kerusakan moral yang telah diakibatkan orang-orang gereja. Setelah keluar laporan dari Pennsylvania, ia mengutuk perbuatan tercela itu. Langkah Vatikan berikutnya akan dibahas dalam pertemuan pada Februari tahun depan.

ABDUL MANAN (FOX, NPR, NEW YORK TIMES, WASHINGTON POST)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus