Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kado buat Ibu Diabetes

Terapi insulin terbukti aman bagi wanita pengidap diabetes yang ingin memiliki anak. Risiko melahirkan bayi cacat bisa diredam.

30 Oktober 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Reno Gustaviani ingin hamil. Reno sudah 30 tahun mengidap diabetes melitus tipe 1, yang dari sono-nya tak bisa mencerna gula. Kondisi ini dulu tak bisa akur. Kadar gula darah Reno bisa bergejolak liar setiap saat. Bukan mustahil janinnya terpaksa lahir lebih awal, mengalami cacat bawaan, atau bahkan gugur tak mau lagi tumbuh di rahim.

Syukurlah, teknologi kedokteran terus berderap. Kini, perempuan diabetesi (istilah bagi penyandang diabetes) tak perlu lagi risau jika ingin hamil. Kuncinya satu, stabilkan kadar gula darah. Hal ini juga yang dilakukan Reno. ”Saya pakai pompa ini,” katanya kepada Tempo sambil menunjukkan alat mirip telepon genggam mini atau pemutar MP3.

Pompa insulin, nama alat mutakhir yang diletakkan pada pinggang itu. Di dalamnya ada wadah penyimpan cairan insulin, hormon yang bertugas mengolah gula darah. Pada ujung luar pompa terdapat kanula, semacam tabung, kecil berujung runcing. Nah, dengan pengaturan khusus, insulin dipompa masuk ke tubuh melalui kanula dengan takaran yang dibutuhkan. Alat ini diganti dengan yang baru saban empat hari sekali. ”Praktis,” kata Reno.

Alat kecil berjasa besar. Berkat bantuan pompa ini, kadar gula darah Reno, dalam kondisi puasa, selama kehamilan tetap stabil di bawah 95 miligram per desiliter. Kehamilan dan persalinan Reno pun lancar sentosa. Anaknya, Raziq Othman Ali, kini telah berusia 17 bulan. Sehat walafiat. Kata Reno, ”Jika gula darah si ibu terkendali dengan baik, anak yang lahir juga sehat.”

Reno, 37 tahun, tidak sekadar berteori. Dia paham betul apa yang ia lakukan. Maklum, diabetesi yang satu ini juga berprofesi sebagai dokter di Divisi Metabolik Endokrin, Departemen Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Reno juga paham risiko yang melekat pada kehamilan seorang diabetesi. Asosiasi Diabetes Amerika menyebut, pasien diabetes tipe 1 (tergantung insulin) dan 2 (tak tergantung insulin) berisiko lebih tinggi melahirkan bayi cacat, mengalami komplikasi, dan keguguran. Lembaga ini menyatakan, kemungkinan bayi lahir cacat bisa mencapai 23 persen, tergantung kadar gula darah ibu selama delapan minggu awal kehamilan, saat organ-organ bayi mulai dibentuk.

Menyimak risiko yang tidak sepele, para ahli kedokteran ramai membincangkan terapi insulin sebagai alternatif bagi diabetesi yang ingin hamil. Hal ini juga yang, antara lain, dibahas dalam Konferensi Asosiasi Eropa untuk Penelitian Diabetes, di Kopenhagen, Denmark, yang juga dihadiri wartawan Tempo, pertengahan September lalu.

Adalah Elisabeth R. Mathiesen, salah satu pembicara dalam konferensi tersebut. Dia seorang dokter spesialis endokrinologi yang juga bergiat di Pusat Wanita Hamil dengan Diabetes, Rigshospitalet, University Hospital of Copenhagen, Denmark.

Pasokan insulin dari luar, menurut Mathiesen, menjadi pilihan karena cara kerjanya yang paling alamiah. Cairan ini bisa diserap dan langsung bekerja mengolah gula darah hingga berada dalam keseimbangan. Ini berbeda dengan cara kerja obat-obatan yang memaksa pankreas, organ penghasil hormon insulin, untuk bekerja keras menghasilkan hormon insulin.

Lalu, sejauh mana terapi insulin aman? Mathiesen merujuk pada sebuah penelitian yang cukup menarik. Penelitian digelar sebuah tim yang dipimpin Hod M., ahli endokrin terkenal dari Tel Aviv, Israel. Seperti dilaporkan dalam jurnal Asosiasi Diabetes Amerika, Juni 2006, tim peneliti secara intensif mengamati perkembangan kehamilan 322 penyandang diabetes tipe 1.

Tim peneliti membandingkan pemakaian dua jenis insulin pada responden, yakni aspart insulin—yang dikembangkan oleh Novo Nordisk, perusahaan farmasi Denmark—dan human insulin. Keduanya adalah tiruan hormon insulin yang dibuat dengan meniru kombinasi struktur protein DNA (asam deoksiribosa nukleat). Bedanya, aspart insulin bekerja cepat (diberikan 5-10 menit sebelum makan), sedangkan human insulin bekerja lambat (diberikan setengah jam sebelum makan).

Hasilnya, kedua jenis insulin yang diuji terbukti mampu membantu menjaga stabilitas gula darah dan kehamilan. Tak ada satu pun kelahiran cacat yang ditemukan dalam penelitian ini, ibu dan bayi sehat dengan kadar gula stabil.

Tim periset juga mencatat sejumlah keunggulan aspart insulin. Misalnya, angka kelahiran bayi hidup pada kelompok pengguna aspart insulin adalah 87,3 persen, sedangkan angka serupa pada kelompok human insulin adalah 79,4 persen. Kejadian kelahiran prematur pada grup responden dengan aspart insulin tercatat 20 persen, bandingkan dengan kejadian prematur pada kelompok human insulin yang mencapai 30 persen.

Bagi wanita diabetesi, hasil penelitian itu bak kado istimewa. Hasil riset ini pula yang membuat Komisi Eropa membolehkan penggunaan terapi insulin bagi ibu hamil, Juli lalu. Terapi insulin bisa dilakukan tanpa rasa waswas. ”Insulin terbukti memperbaiki kontrol kadar gula para diabetesi,” kata Dr Anne Dornhorst dari Departemen Kedokteran Metabolik, Imperial College, London, Inggris.

Patut dicatat, terapi insulin sebenarnya bukan hanya diperuntukkan bagi penyandang diabetes tipe 1. Terapi ini juga bisa menjadi pilihan bagi pasien jenis diabetes yang lain, yakni tipe dua (yang ini 95 persen kasus di Indonesia) dan diabetes gestasional (yang hanya terjadi pada saat kehamilan). Pada dua jenis diabetes terakhir, insulin diberikan jika diet dan olahraga tak mempan lagi mengendalikan kadar gula darah. ”Kalau diet dan olahraga masih oke, ya, cukup jalani saja terapi itu,” kata Reno Gustaviani.

Namun, Reno mengakui, mengontrol gula darah yang berjingkrakan seperti kuda lumping memang tak gampang. Konsultasi ketat dengan dokter dengan demikian menjadi wajib untuk mendapatkan terapi yang paling cocok. Idealnya, kunjungan ke dokter bahkan dilakukan tiga bulan sebelum merencanakan kehamilan. Jadi, ”Pengendalian gula darah bisa dilakukan lebih awal,” kata Reno. Termasuk juga penentuan alternatif terapi, apakah cukup dengan diet dan olahraga ataukah perlu dengan insulin.

Terapi insulin sendiri bisa diterapkan dengan berbagai cara. Ada yang dilakukan dengan alat semprotan ke mulut, suntikan, atau melalui pompa otomatis. Suntikan bisa dibilang cukup populer di Indonesia, antara lain karena relatif murah, membutuhkan anggaran di bawah setengah juta rupiah sebulan. Repotnya, dalam sehari, diabetesi bisa menyuntik berkali-kali sesuai dengan kebutuhan.

Nah, alat yang lebih praktis adalah pompa insulin seperti yang dipilih Reno. Alat ini mesti diorder sendiri ke luar negeri karena belum ngetop di sini. Anggaran yang dibutuhkan tentu berlipat-lipat. Alat pompanya saja harus ditebus Rp 20 juta-25 juta. Belum lagi biaya perawatan—empat hari sekali mesti mengganti tabung insulin dan alat suntik—yang sekitar Rp 2,5 juta saban bulan. Ini juga belum termasuk pos pembelian insulin yang, buat Reno, mencapai Rp 700 ribu sebulan. Sebagai catatan, anggaran pembelian insulin berbeda bagi setiap diabetesi, tergantung kebutuhan.

Bagi Reno, mahalnya ongkos tak jadi soal. Hidupnya jauh lebih nyaman dan terkendali. Pompa juga lebih praktis bila dibanding model suntikan. ”Tiap hari saya tidak perlu bolak-balik menyuntik,” katanya. Dan, lebih dari itu, pompa ini pula yang telah membantu menghadirkan si kecil Raziq dalam pelukan Reno.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus