TAMPAKNYA, tahanan politik paling bergengsi kini adalah Aung San Suu Kyi. Beberapa waktu lalu suami putri pahlawan Myanmar (Burma) itu khawatir jangan-jangan istrinya mogok makan. Tapi dugaan ini sulit dikonfirmasi karena ketertutupan Negeri Seribu Pagoda itu. Yang jelas, Aung San Suu Kyi adalah sebuah bukti bahwa antara pernyataan dan kenyataan di Myanmar bisa sangat berbeda. Rezim Yangoon belakangan berniat menegakkan demokrasi dan lebih menjalankan keterbukaan. Tapi, di sebuah rumah di ibu kota itu, seorang pemimpin oposisi yang memenangkan pemilu dikenai tahanan rumah, dan sudah berjalan sekitar tiga tahun belum juga ada kejelasan, apakah akan dibebaskan atau diadili. Dua pekan lalu memang ada pengumuman dari juru bicara junta militer, Kolonel Ye Htut. Suu Kyi akan segera diadili di pengadilan kriminal, katanya. Sebabnya, ''Dia mengganggu keamanan.'' Tapi beranikah rezim Yangoon mengadakan sebuah pengadilan terbuka? Terbukanya Myanmar, kata pengamat Barat, bila tak lewat politik, ya ekonomi. Jalan pertama, politik tampaknya sulit. Secara sistematis para jenderal di Slorc (Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara), dewan penguasa Myanmar sejak Jenderal Saw Maung mengambil alih kekuasaan tahun 1988, menyempitkan ruang gerak oposisi. Satu-satunya kegagalan, kalau toh ini disebut kegagalan, adalah dikenainya Ang San Suu Kyi tahanan rumah. Tapi, dampak politis ditahannya Suu Kyi pun tak sampai menggulingkan rezim Yangoon. Cuma, dunia internasional lalu tak bersikap ramah terhadap Myanmar. Luput mempengaruhi politik, sektor ekonomi Myanmar boleh dikata kini mengalami krisis. Pemerintah Myanmar masih terus mencetak uang tiap tahun untuk membayar pegawai negeri. Akibatnya, inflasi terus membubung. Tentu saja pihak pemerintah tak mau mengakui buruknya ekonomi Myanmar kini. ''Ekonomi kami lebih baik daripada tahun 1988,'' kata Menteri Perencanaan dan Keuangan, Brigadir Jenderal David Abel. Mungkin ia benar, tapi tahun 1988 Myanmar memang dilanda kerusuhan. Yang pasti, pemandangan di Myanmar kini tidaklah cerah. Transportasi di jalan-jalan bila bukan sepeda adalah gerobak. Dan gerobak ini ada yang ditarik lembu, ada yang ditarik manusia. ''Myanmar adalah Thailand 30 tahun yang lalu,'' kata seorang diplomat Asia kepada The Asian Wall Street Journal. Harapan pemerintah Yangoon bahwa negerinya mengandung minyak ternyata kosong. Dari 10 perusahaan minyak yang mengadakan pencarian, 4 sudah menyatakan mundur karena tak menemukan sumber minyak yang komersial. Dikabarkan, tiga lagi bakal segera angkat kaki. Sejauh ini baru satu yang menemukan sumber yang cukup menjanjikan. Maka, harapan naik gaji para pegawai negeri tampaknya tak akan terkabul. Seorang guru di Yangoon kini digaji sekitar 600 kyat per bulan, yang bila ditukarkan di pasar gelap paling cuma dihargai US$ 6. Bila para pegawai negeri bisa hidup, karena tersedia toko khusus buat mereka, dengan harga jual di bawah harga umum. Tapi sampai kapan subsidi ini bisa dipertahankan? Tampaknya, jalan ekonomi inilah yang akan menimbulkan pergolakan di Myanmar. Sebab, tanpa membebaskan Suu Kyi, dunia internasional enggan mengulurkan bantuan pada Myanmar. Bisa jadi, pengadilan terhadap Suu Kyi memang akan dibuka, untuk mencari jalan membebaskan tahanan itu tanpa mencoreng muka pemerintah. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini