DEMAM pemilu baru saja reda di Papua Nugini. Tiga minggu dihabiskan un, tuk menghitung suara dari 5.600 stasiun pemilihan di 19 provinsi. Tujuh orang dilaporkan tewas dalam perkelahian, dan 20 orang ditangkap karena aksi kekerasan selama kampanye. Seorang menteri disebut-sebut ikut membakar 7.642 lembar kertas suara. Dan tidak cuma itu. Anak buah Menteri Kepolisian, Paul Torato, menyerbu sebuah gedung pengadilan di Highland dan melarikan 23 kotak suara. Akibatnya, pengadilan negeri diminta membatalkan pemilu di Provinsi Enga dan Kanda Open. Tak pelak lagi, inilah pemilu yang paling diwarnai aksi kekerasan di negeri itu. Kali ini ada 1.513 calon memperebutkan 109 kursi di Parlemen Nasional. Namanama kandidat memenuhi dua halaman bolak-balik koran tabloid, disertai foto mereka untuk dicoblos. Dalam penghitungan suara, yang berlangsung pekan sllam, tampak adu kekuatan antara kubu "Bapak Bangsa" Michael Somare dan PM Paias Wingti yang kini berkuasa. Partai Pangu pimpinan Somare dan Partai Demokrasi Rakyat (People's Democratic Party) di bawah kepemimpinan Paias Wingti masing-masing beroleh dukungan 25 suara. Selama kampanye, para calon berkeliling sampai ke pelosok, melakukan pendekatan pada masyarakat terpencil. Ini dianggap cara pahng ampuh dibanding kampanye lewat koran, terutama untuk memikat pendukung yang bangkit rasa simpatinya atas dasar kesukuan. Taktik ini dapat dilakukan Somare, yang terbukti dalam dua pemilu sebelumnya, selalu dapat meraih suara terbanyak. Tidak sulit baginya untuk berkampanye dan memojokkan lawan. Teguran keras IMF dua tahun lalu masih membayangi perekonomian PNG. Akhir 1985 anggaran belanja pemerintah telah mencapai satu milyar kina dan defisit neraca pembayaran terus membengkak. Tambang tembaga dan emas Ok Tedi, yang diharapkan dapat menyelamatkan keuangan negara, masih belum dapat diharapkan sejak dibuka kembali pada 1984. Pada 1986 defisit neraca pembayaran mencapai 140 juta kina - masih jauh dari yang diinginkan IMF. Inilah sasaran empuk untuk menohok kubu Paias Wingti. Somare telah melakukan koalisi dengan Aliansi Melanesia (Melanesian Alliance) yang berhasil merebut tujuh kursi, di bawah pimpinan John Momes. Partai baru Morobe Independent Group mendapat empat kursi sementara Partai Nasional dan partai kecil lainnya mengantungi 10 suara. Sedangkan tujuh suara diraih People Action Party, yang diketuai Ted Biro, bekas panglima angkatan bersenjata PNG. Somare, yang memiliki karisma besar dan kaya pengalaman, berjanji membebaskan uang sekolah dan akan mendevaluasikan mata uang kina. "Untuk menarik turis dan memancing dolar lebih banyak, akan dibuka dua atau tiga pelabuhan bebas," katanya. Tapi para pengamat meragukan apakah Somare masih cukup kuat mewujudkan janji-janjinya. Ia memang ikut kampanye tapi sudah mengisyaratkan akan mengundurkan diri. Julius Chan, 47 tahun, dikenal sebagai sosok pengusaha ulet, dan berhasil menjadi menteri keuangan dalam dua kali masa pemerintahan. Ia menyisihkan Somare pada 1980 sebagai PM dan kehilangan makotanya pada 1982. Konon, dialah yang diam-diam melambungkan nama Paias Wingti. Di bawah bimbingannya, People's Progress Party memprioritaskan kebijaksanaan bidang keuangan, pajak rendah, membuka lapangan kerja, membebaskan uang sekolah, dan memerangi kriminalitas. Tapi belakangan nama Julius Chan diragukan kredibilitasnya, terutama karena manipulasi emas. PM Paias Wingti, 37 tahun, adalah bekas Deputi PM, menang pada tahun 1985, lalu keluar dari Partai Pangu, dan membentuk PDM (People's Democratic Party). Ia duduk di parlemen pada 1977, setelah drop-out dari kuliahnya di bidang politik dan ekonomi. Ia berjanji akan memperbaiki posisi keuangan pemerintah, dengan menurunkan pajak, mengurangi jumlah menteri, serta akan mempererat hubungan dengan tetangganya, Indonesia. Tapi masa depannya belum menentu. Ia sering mengabaikan nasihat teman dan cepat memecat penguasa lokal, telah membuat orang tidak bersimpati kepadanya. Bahkan selama kampanye tersiar yell "Rausim Wingti", yang artinya Wingti harus turun. Hasil pemilu PNG masih harus ditunggu awal Agustus depan. Yulia S. Madjid, laporan Dewi Anggraeni (Melbourne)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini