Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya sehari setelah Taliban merebut Kunduz, faksi paling ekstrem dari kelompok Islam garis keras itu sudah menggelar "misi" lamanya: mempersekusi perempuan. Ini dimulai dengan panggilan telepon oleh seorang pria yang mengaku sebagai Menteri Penyebaran Kebajikan dan Pemberantasan Kejahatan. Tujuannya adalah nomor yang berasosiasi dengan sebuah tempat perlindungan bagi perempuan teraniaya.
Hassina Awari, koordinator tempat perlindungan itu, baru berhasil menerobos jaringan penjagaan Taliban dan keluar dari Kunduz pada Selasa dua pekan lalu ketika teleponnya berdering. Pak Menteri bertanya di mana para penghuni dan staf tempat perlindungan itu. Ketika Awari menjawab semua telah menyelamatkan diri, suara Pak Menteri jadi bernada mengancam. Kata dia, seperti diingat Awari, "Kau beruntung sudah berhasil menyelamatkan semua perempuan."
Beberapa jam setelah kelompok pemberontak itu mereguk kemenangan di Kunduz sebenarnya ada janji bahwa kota terbesar kelima di Afganistan ini akan dijadikan etalase gaya pemerintahan Taliban yang lebih toleran. Mereka mengumumkan akan memberlakukan sistem peradilan baru. Kepada pihak-pihak yang cemas bahwa Taliban akan membangkitkan lagi praktek lamanya, mereka menjanjikan amnesti bagi pegawai pemerintah.
Keadaan cepat berubah, rupanya. Yang justru terjadi, dalam empat hari mereka berkuasa, menurut penduduk dan pejabat yang diwawancarai The New York Times, adalah menguatnya tanda-tanda bakal berulangnya apa yang mereka jalankan selama memerintah Afganistan pada 1990-an. "Ada keadaan takut dan tegang di kota ini, meski Taliban sudah mendatangi masjid-masjid dan jalan-jalan untuk memanggil orang dan memberi tahu bahwa mereka dalam keadaan aman," ujar Rahmatullah, seorang guru yang cukup dikenal.
Surat terbuka yang ditulis Mullah Akhtar Muhammad Mansour, pemimpin tertinggi baru Taliban, pun tak mampu meredakan kecemasan. Surat ini berisi janji bahwa pasukannya tak akan melakukan kekejian sebagaimana di masa lalu. Di lapangan, janji itu terasa sebagai propaganda belaka.
Pendudukan Kunduz, yang lalu diikuti perubahan cepat sikap Taliban itu, sebetulnya merupakan buah dari kejadian-kejadian yang berlangsung beberapa waktu sebelumnya—sama sekali bukan kejayaan yang diperoleh semalam.
Laporan Foreign Policy akhir September lalu menyebutkan bahwa Taliban mengepung Kunduz sejak April. Dengan "doping" pasukan yang terdiri atas suku Chechen, Uzbek, dan Tajik, mereka memang perlahan-lahan berhasil menguasai teritori di sekitar ibu kota Provinsi Kunduz, di wilayah utara Afganistan, itu.
Menurut Thomas Ruttig, Direktur Afghanistan Analysts Network, manuver Taliban ke wilayah itu sebenarnya sudah merupakan perkembangan yang ajek sejak sekurang-kurangnya 2007. Di Provinsi Kunduz, kata dia, seperti dikutip Vox World, 29 September lalu, posisi mereka "sudah mapan dan sejauh ini berhasil membendung semua upaya untuk mengenyahkan mereka".
Serangan pada April lalu itu menimbulkan suasana gawat yang memaksa Presiden Ashraf Ghani membatalkan perjalanan ke India. Unit-unit Pasukan Keamanan Nasional Afganistan, pada saat yang sama, bergegas ke Kunduz untuk memukul balik serangan-serangan Taliban.
Taliban memanfaatkan momen itu untuk keperluan "kehumasan": mereka menyebarkannya dan menyebutnya sebagai awal dari pertempuran musim panasnya. Mereka bahkan mengunggah video berdurasi lima menit berjudul "Kunduz dan Tekad Baru". Di dalamnya terdapat cuplikan momen ketika Taliban memasuki basis tentara Afganistan yang sudah kosong dan anggota polisi yang berada dalam tahanan.
Taliban memang belum bisa merebut Kunduz. Tapi mereka menjadikan kemampuan membuat kalang-kabut tentara Afganistan, yang harus berpindah-pindah dari satu provinsi ke provinsi lain, sebagai modal untuk propaganda.
Pada Juni, Taliban kembali sampai di gerbang Kunduz. Pemerintah lagi-lagi harus mengatasi situasi darurat. Kali ini tentara masih sanggup menguasai kota. Dan, sejak itu, pemerintah berhasil mempertahankan kekuasaan di sana. Hanya di kawasan perdesaan mereka bersusah-payah.
Keadaan berbalik ketika, pada akhir September lalu, pasukan Taliban dalam jumlah besar melancarkan serangan dari berbagai arah. Mereka berhasil merebut sebagian wilayah kota, sementara tentara pemerintah kocar-kacir. Alih-alih bertahan, sebagian besar tentara pemerintah meninggalkan pos mereka, termasuk pos polisi, gedung pemerintah, penjara setempat, dan beberapa fasilitas pokok.
Unsur keamanan yang bertahan adalah anggota Direktorat Keamanan Nasional, dinas intelijen Afganistan. Menurut reporter NBC, Jim Miklaszweski, beberapa ratus tentara Taliban memukul sekitar 3.000 tentara pemerintah. Malamnya, juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Sediq Sediqqi, mendeklarasikan: "Kota Kunduz jatuh ke tanganTaliban."
Kehilangan kota berpenduduk sekitar 300 ribu orang itu, bagaimanapun, mengisyaratkan betapa pemerintah Afganistan menghadapi masalah kredibilitas yang serius. Tapi, lebih dari itu, strategi pemerintah di Provinsi Kunduz, yang didukung Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), sesungguhnya kedodoran dan tak efektif selama sepuluh tahun terakhir.
Sampai 2013, di wilayah Kunduz, operasi NATO memperoleh dukungan pasukan Jerman. Tapi ruang gerak pasukan ini terbatas karena selalu harus mendapat persetujuan pemerintah di Berlin—sesuatu yang secara taktis justru menghambat upaya membendung pengaruh Taliban di sana. Keadaan ini masih ditambah pula dengan keputusan pemerintah Afganistan memindahkan sepertiga kekuatan polisi di Kunduz ke Kabul pada 2007, dan sisanya dipangkas sepertiga lagi dua tahun kemudian.
Kelemahan jangkauan pemerintah pusat, menurut Jason Lyall, pakar mengenai Afganistan, masih ditambah dengan dua hal lagi: milisi korup dan brutal yang dipercaya mempertahankan kota serta persaingan etnis di antara kelompok-kelompok lokal.
Perihal milisi korup dan brutal, itu bukan semata berkaitan dengan jawara-jawara setempat, melainkan juga meliputi polisi lokal (ALP). Polisi lokal dibentuk pada 2010 sebagai bagian dari eksperimen yang disponsori Amerika Serikat untuk membangun polisi dan militer lokal yang setia kepada pemerintah pusat. Dalam prakteknya, institusi-institusi ini justru dibebani aneka masalah: mereka korup, punya pemimpin yang buruk, menyalahgunakan kekuasaan, dan tak efektif.
Polisi lokal, menurut laporan wartawan AFP, Anuj Chopra, pada Juli lalu, kerap "kalah kuat menghadapi Taliban dan diperkirakan berkurang jumlah personelnya tiga-enam kali lebih banyak ketimbang yang dialami pasukan keamanan reguler". Mereka, kata dia, selalu diidentikkan dengan milisi karena reputasi abu-abu mereka dalam membengkokkan hukum dan tak segan bertindak brutal.
Kalau bukan lebih merusak, milisi pro-pemerintah merupakan sumber masalah yang akibatnya setara dengan polisi lokal. Diandalkan pemerintah untuk mempertahankan kota, mereka beroperasi di luar struktur hukum resmi. Ada ratusan kelompok, biasanya dipimpin jawara-jawara setempat. Pemerintah merekrut mereka pada Mei lalu. Dibandingkan dengan polisi lokal, mereka justru lebih brutal. Menurut International Crisis Group (ICG), lembaga independen yang berupaya mencegah dan menyelesaikan konflik, reputasi milisi ilegal ini "lebih buruk ketimbang unit-unit ALP".
Provinsi Kunduz termasuk di antara kawasan di Afganistan yang rawan konflik etnis. "Kunduz terbelah antara kaum Pashtun dan Uzbek," ujar Lyall. "Kaum Pashtun dominan di sejumlah distrik, tapi di tingkat provinsi adalah Tajik dan Uzbek."
Taliban, yang mayoritas orangnya dari kaum Pashtun, mengambil manfaat dari situasi itu. Menurut ICG, perlawanan lokal terhadap pemerintah kerap terjadi di wilayah-wilayah Pashtun yang dijaga oleh polisi non-Pashtun.
Di wilayah seperti itulah pemberontakan bisa dengan mudah timbul. "Pemberontak gampang mengambil manfaat dari ketegangan yang terus-menerus dikipas-kipas," kata Lola Cecchinel, direktur program Afghanistan-focused ATR Consulting. "Pemberontakan itu menggambarkan pemerintah, dan khususnya milisi yang berhubungan dengan para pejabat pemerintah, sebagai korup, tak efisien, serta pemangsa, dan (semua) ini jatuh di atas bagian yang subur di antara penduduk."
Sebenarnya Presiden Ghani telah mencoba bereksperimen, menjadikan Kunduz semacam laboratorium perombakan total pemerintah lokal. Dia memilih sendiri gubernur dan mewawancarai serta menyeleksi calon kepala polisi dan jaksa di sana. Tapi situasi yang ada menunjukkan rencananya ini terlalu ambisius.
Selain itu, meski mengakui para jawara lokal justru menimbulkan masalah, Ghani sama sekali tak memutuskan berhenti memanfaatkan mereka untuk menambal kekurangan tentara pemerintah. Dia bahkan meningkatkannya dengan memperluas cakupan wilayahnya—tak hanya di Kunduz, tapi juga di seluruh kawasan utara.
Dengan upaya lebih keras, dan tentu saja tambahan bantuan Amerika dan sekutunya, bukan mustahil tentara pemerintah bakal kembali menguasai Kunduz sepenuhnya. Meski demikian, yang bakal tetap jadi ganjalan adalah jika ketidakcakapan mengatasi krisis kredibilitas itu tak diperbaiki. Ancaman Taliban bakal terus bertahan. Dan Taliban masih yang dulu juga.
Purwanto Setiadi (CNN, Foreign Policy, The New York Times, Vox World)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo