Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA kali mediasi PT Elnusa dengan Kejaksaan Negeri Cikarang, Jawa Barat, tak pernah berlangsung lebih dari 15 menit. Argumen kedua kubu pun itu-itu saja. Dalam mediasi terakhir, Selasa pekan lalu, jaksa lagi-lagi menuding Elnusa melawan hukum. Sebaliknya, yang dituduh membalas dengan menyebut jaksa salah sasaran. "Pertemuan bubar begitu saja," kata Kepala Legal Elnusa Ferryson Jaya Pasaribu, Rabu pekan lalu.
Jaksa dan Elnusa berseteru sejak medio Juni lalu. Jaksa menggugat anak usaha PT Pertamina itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Perkara ini merupakan buntut putusan pidana atas kasus pembobolan dana deposito Elnusa di Bank Mega, "Kami hanya ingin mengeksekusi putusan pidana," kata Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Negeri Cikarang Rolando Ritonga.
Pada 2011, rekening deposito Elnusa sebesar Rp 111 miliar di Bank Mega Jababeka amblas digangsir komplotan yang melibatkan orang dalam bank tersebut. Dalam perkara ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung telah memvonis enam orang bersalah. Mereka dihukum empat sampai sembilan tahun penjara. Putusan pengadilan pertama itu dikuatkan Mahkamah Agung pada Agustus 2012.
Atas perintah pengadilan, Kejaksaan Negeri Cikarang telah menyita sejumlah aset milik keenam terpidana. Namun, ketika jaksa hendak menyerahkan barang sitaan tersebut, Elnusa menolaknya. Jaksa pun menggugat Elnusa ke pengadilan.
Tak terima atas perlakuan jaksa Cikarang, manajemen Elnusa melambung ke kantor Kejaksaan Agung di Jakarta. Pada akhir September lalu, mereka melayangkan surat kepada Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Tata Usaha Negara. "Kami meminta perlindungan hukum. Kasus seperti ini bisa menimpa nasabah lain," kata Direktur Keuangan Elnusa Budi Rahardjo. Namun Kejaksaan Agung belum merespons surat Elnusa.
Pangkal cerita pembobolan dana Elnusa bermula pada akhir Agustus 2009. Waktu itu Bank Mega Kantor Cabang Pembantu Bekasi-Jababeka menawarkan produk deposito kepada Elnusa. Dengan persetujuan direksi kala itu, Elnusa membuka rekening deposito berjangka di sana. Total, Elnusa menambatkan uang di Bank Mega Rp 161 miliar. Namun deposito senilai Rp 50 miliar dicairkan pada 8 Maret 2010.
Pada 19 April 2011, penyidik Direktorat Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metro Jaya mengendus transaksi janggal berupa pencairan seluruh sisa duit Elnusa di Bank Mega. Belakangan, terungkap simpanan itu digasak komplotan dengan cara merekayasa transaksi antar-rekening.
Modusnya, deposito berjangka diubah menjadi deposit on call (yang bisa dicairkan sewaktu-waktu) dengan memalsukan tanda tangan pejabat Elnusa. Sindikat ini juga membuat rekening palsu atas nama Elnusa. Dari tabungan "fiktif" itulah kemudian duit mengalir ke rekening dua perusahaan berjangka, PT Discovery Indonesia dan PT Harvestindo Management.
Melibatkan orang dalam bank, sindikat pembobol rekening tampaknya leluasa bergerak. Pada kurun yang sama, kelompok yang sama juga menggasak rekening deposito Rp 80 miliar milik Pemerintah Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, di Bank Mega Jababeka.
Seiring dengan pengusutan di kepolisian, Bank Indonesia juga menelisik kasus ini. Rekomendasi rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 2011 melarang Bank Mega menambah nasabah deposito dan membuka cabang baru selama satu tahun. Bank Mega pun diminta memperbaiki manajemen internal serta prosedur pengamanan dana nasabah mereka.
Kala itu, Bank Indonesia juga mewajibkan Bank Mega membuat escrow account senilai duit Elnusa dan Kabupaten Batu Bara yang hilang. Rekening penampung sementara itu baru bisa dicairkan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Di tengah penyidikan, polisi mengubah kasus yang semula berstatus pidana umum menjadi pidana korupsi. Singkat cerita, pertengahan Mei 2011, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung memvonis enam terdakwa bersalah. Mereka adalah bekas Kepala Kantor Bank Mega Cabang Jababeka Itman Harry Basuki, Direktur Keuangan PTElnusaSantun Nainggolan, serta empat direktur PT Discovery-PT Harvestindo Asset Management, Ivan C.H. Litha, Andhy Gunawan, Richard Latief, dan Teuku Zulham Sjuib.
Putusan pidana itu ternyata berbuntut panjang. Soalnya, dalam putusannya, hakim menyebutkan Elnusa bagian (casu quo, cq) dari negara. Deposito Elnusa yang dibobol pun dianggap kerugian negara. Dalam putusannya, hakim memerintahkan penyitaan aset milik para terpidana untuk diserahkan kepada negara cq Elnusa. Pada 2012, Mahkamah Agung menguatkan putusan pidana tersebut.
Setelah menyita aset keenam terdakwa, pada medio Maret 2013, Kejaksaan Negeri Cikarang meminta Elnusa menerima langsung aset tersebut. "Agar menutup kerugian negara, Elnusa harus menerima barang sitaan," kata jaksa Rolando.
Ternyata Elnusa tak mau begitu saja menerima barang beslahan itu. "Kalau kami terima, bisa-bisa urusan dengan Bank Mega dianggap selesai begitu saja," kata Sekretaris Korporat Elnusa Fajriyah Usman. Apalagi, menurut perhitungan Elnusa, aset yang hendak diserahkan jaksa nilainya lebih kecil daripada uang mereka yang lenyap di Bank Mega.
Jaksa bergerak lebih jauh dengan menggugat Elnusa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jaksa menuduh Elnusa melakukan perbuatan melawan hukum karena tak mematuhi Pasal 46 ayat 2, Pasal 194 ayat 1, dan Pasal 270 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Mereka juga menuntut Elnusa membayar Rp 110 juta. Uang tersebut, menurut Rolando, untuk mengganti biaya pemeliharaan barang sitaan tersebut sejak putusan perkara ini bersifat in kracht.
Manajemen Elnusa menilai gugatan perdata kejaksaan salah alamat. Alasan mereka, sejak awal, Elnusa berurusan dengan Bank Mega dalam gugatan perdata. "Kami tak punya urusan dengan perkara pidananya," kata Ferryson.
Dalam gugatan perdata melawan Bank Mega, sejauh ini Elnusa berada di atas angin. Pada Februari 2012, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Elnusa. Pengadilan memerintahkan Bank Mega segera membayar ganti rugi Rp 111 miliar kepada Elnusa.
Majelis hakim yang dipimpin Ari Jiwantara itu juga mengabulkan permohonan Elnusa yang meminta gedung Menara Bank Mega di kawasan Tendean, Jakarta Selatan, dijadikan sita jaminan. Pada Februari tahun lalu, Mahkamah Agung mengukuhkan kemenangan Elnusa atas Bank Mega.
Bank Mega rupanya belum menyerah. Pada Maret lalu, mereka mengajukan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Bank Mega berkukuh bahwa hilangnya duit Elnusa karena kejahatan individu, bukan korporasi. Dalam kesimpulan memori peninjauan kembalinya, Bank Mega pun menyatakan hakim khilaf sehingga ada putusan pidana dan perdata yang bertentangan.
Sekretaris Korporasi Bank Mega, Caesar Rasyad, mengatakan pihaknya menolak membayar ganti rugi Rp 111 miliar karena ada putusan pidana yang mengharuskan keenam terpidana mengganti dana Elnusa. "Apalagi ada direksi Elnusa yang juga terlibat dalam pembobolan dana deposito itu," kata Caesar.
Kini, setelah Bank Indonesia tak memegang kewenangan pengawasan perbankan, bola panas berada di tangan Otoritas Jasa Keuangan. Deputi Komisioner Pengawasan PerbankanOJK Irwan Lubis mengatakan, dalam pertemuan dengan Bank Mega pada 10 Maret lalu, OJK memerintahkan bank itu menaati putusan perdata Mahkamah Agung. Namun Bank Mega beralasan masih menunggu putusan peninjauan kembali. "Kami tunggu juga apa hasilnya," kata Irwan.
Syailendra Persada, Adi Warsono (Cikarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo