BERMULA dari sebuah informasi rahasia yang sampai ke Tel Aviv: George Habash dan Ahmad Jibril akan menaiki pesawat Gulfstream milik perusahaan penerbangan Libyan Arab Airlines. Menurut info itu, kedua pentolan gerilyawan Palestina tersebut bertolak pukul 9.00 dari bandar udara di Tripoli menuju Damaskus. Ternyata, yang ditemui Israel cuma Abdullah al-Ahmar, asisten Sekjen Partai Baath, yang berkuasa di Syria. Kedua tokoh gerilyawan yang dicari-cari Israel itu, karena aksi teror mereka, beberapa hari sebelumnya, memang terlihat di Tripoli menghadiri sidang darurat Persekutuan Kepemimpinan Gerakan Revolusioner Bangsa-Bangsa Arab -koalisi 22 kelompok gerilyawan dan oposisi beraliran keras di Timur Tengah, yang disponsori oleh Libya. Pertemuan itu diselenggarakan untuk membahas tindakan-tindakan mengatasi sanksi ekonomi serta ancaman militer Amerika terhadap Libya. Selain Habash dan Jibril juga tampak tokoh-tokoh daftar hitam Israel lainnya, seperti Nayef Hawatmeh, gembong Front Demokratik Pembebasan Palestina, dan Saaed Mousa, pemimpin sayap radikal PLO. Hanya saja, kapan pastinya mereka meninggalkan Tripoli, dan dengan pesawat apa, tak banyak pihak yang mengetahui. Namun, sesaat menjelang keberangkatan, Perdana Menteri Israel Shimon Peres mendapat konfirmasi terakhir bahwa hanya Jibril, komandan Komando Umum Front Rakyat Pembebasan Palestina (PFLP), yang akan terbang dengan pesawat bermesin kembar itu. Karenanya, ia segera memerintahkan menyergap pesawat Libya itu. Maka, dari sebuah pangkalan udara di Is rael melesatlah dua pesawat pancargas ke udara. Walaupun belum ada keterangan resmi, diduga Israel mengerahkan satuan buru sergap F-16. Ketika pesawat Libyan Arat Airlines melintasi jalur penerbangan di ata Laut Tengah, 150 km dari pantai Israel muncullah dua pancargas tersebut. Mereka langsung memotong arah penerbangan pesawat penumpang Libya itu seraya menggoyangkan sayap -- tanda agar mengikut segala perintah. "Mereka terbang begitu dekatnya dengan pesawat kami, sehingga sayap pun nyaris bersinggungan," kata Oma Harb, Sekjen Federasi Sosialis Arab Libanon, yang ikut dalam pesawat itu. Pesawa sipil Libya, yang bisa mengangkut 19 orang itu, lalu digiring menuju sebuah pangkalan militer di utara Israel. Sambil mengarahkan moncong senjata, 150 pasukan komando menyambut kedatangan 9 penumpang beserta 3 awak pesawatnya. Kata Omar Harb mereka diperlakukan dengan tidak senonoh selama pemeriksaan dan interogasi selama lima jam. Tapi orang yang dicari Israel tidak ada di antara penumpang. Dengan perasaan dongkol, Israel akhirnya melepaskan pesawat Libya tersebut. Kegagalan Israel mencegat Habash, orang kuat PFLP, maupun gembong gerilyawan Palestina lainnya, bukan cuma sekali ini. Tahun 1973, Israel juga pernah melakukan aksi serupa untuk menangkap Habash -- yang juga tidak ada di antara para penumpang pesawat. Karena itu, tidak mengherankan, tidak lama setelah peristiwa penyergapan Selasa lalu itu, Jibril lantas mengejek Peres agar segera memecat pejabat intelnya, lantaran goblok. Tak jelas bagaimana kelihaian tokoh-tokoh gerilyawan itu mengelabui intel Israel. Sebab, informasi yang sampai ke tangan Peres tidak usah diragukan lagi kebenarannya. Bahkan Habash sendiri mengaku menaiki pesawat tersebut dari Damaskus, tiga hari sebelum peristiwa terjadi. Diduga sumber-sumber intel Israel gagal memeriksa informasi mereka, karena pada saat yang bersamaan tiga pesawat penumpang Libya tinggal landas dengan tujuan yang berbeda. Pesawat yang bernasib sial tersebut sebenarnya hanya mengantarkan tamu penting dari Syria yang hendak meninggalkan sidang lebih awal. Cara Israel ini serta-merta membangkitan amarah Libya dan Syria. Dari Tripoli dan Damaskus sudah terdengar suara-suara ancaman akan melakukan tindakan balasan. Kepala Negara Muammar Qadhafi bahkan telah memerintahkan Angkatan Udara Liya untuk mencegat setiap pesawat sipil Israel yang terbang di atas Laut Tengah. Dari Damaskus belum terdengar aksi balasan apa yang akan diperlihatkan. Yang pasti, usaha Syria menggolkan rancangan resolusi Dewan Keamanan PBB untuk mengutuk tindakan Israel digugurkan oleh veto Amerika Serikat -- veto ke-46 dari negara tersebut. Amerika Serikat terlibat dalam peristiwa penyergapan itu? Juru bicara Departemen Pertahanan AS membantah tuduhan itu. Padahal, menurut Libya, penyergapan pesawat penumpangnya itu sangat dimungkinkan berkat tuntunan fasilitas radar Armada Keenam, yang beroperasi di Laut Tengah. Sementara itu, Ahmad Jibril juga mengeluarkan ancaman akan melakukan tindakan pembalasan terhadap pesawat penumpang Israel, bahkan ia menambahkannya dengan pesawat sipil Amerika. Pernyataan ini bukan cuma gertakan biasa. Sebab, Sabri el-Banna alias Abu Nidal, tokoh yang dituduh berdiri di belakang peristiwa penyerangan di bandar udara Roma dan Wina tahun lalu, sudah memberi sokongannya. Karena itu, bukan tidak mungkin, sebentar lagi akan jatuh korban-korban baru, yang belum tentu berdosa, demi memuaskan nafsu balas dendam gerilyawan Palestina dan Israel. James R. Lapian Bahan dari kantor-kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini