BAGI Ayatullah Khomeini menerima Resolusi PBB Nomor 598 bak menenggak racun. Akhirnya, resolusi tentang perdamaian Iran-Irak itu diterimanya juga sekalipun pemerintahannya kehilangan isu dalam menggalang kesatuan bangsa dan fanatisme terhadap para mullah. Proses upaya perdamaian bagi kedua negara bertetangga itu telah diawali dengan pelaksanaan gencatan senjata di bawah pengawasan PBB, Sabtu pekan silam. Serentak dengan itu, sekitar 350 anggota pasukan penyangga perdamaian PBB dari 24 negara, termasuk di antaranya Indonesia, sudah pula ditempatkan di sepanjang perbatasan. Tapi tak sampai tiga jam setelah gencatan senjata diberlakukan, yang efektif sejak pukul 03.00 GMT, api mesiu menyala lagi. Di front tengah terjadi insiden penembakan. Menurut Irak, seorang penembak jitu Iran telah menewaskan seorang tentaranya. Menlu Irak Tariq Aziz langsung mengajukan protes kepada Mayjen. Slavko Jovic, komandan pasukan PBB, atas tindakan Iran itu. Tapi Jovic menyatakan belum mendapatkan konfirmasi mengenai penembakan tentara Iran tersebut. Sementara itu, menurut Irak, kapal mereka, Khawla, yang berlayar melintasi Selat Hormuz untuk menguji gencatan senjata, dibayang-bayangi terus oleh sebuah helikopter Iran. Tuduhan Irak mengenai insiden penembakan maupun pembayang-bayangan kapal mereka tentu saja dibantah Iran. Tentang insiden di front tengah, menurut mereka, justru tentara Irak yang melanggar gencatan senjata dengan meletupkan senapan ke arah orang Iran. Langkah lanjutan dari genjatan senjata, kedua negara yang telah berseteru selama delapan tahun itu akan memulai perundingan langsung di Jenewa, Kamis pekan ini. Banyak yang mengatakan, dialog kedua pihak akan berjalan alot. Ganjalannya, antara lain, menyangkut garis perbatasan, yang sebenarnya telah ditetapkan dalam Perjanjian Aljazair 1975. Menurut Teheran, Presiden Irak Saddam Hussein telah mencampakkan perjanjian itu, sebelum akhirnya mengrimkan pasukan. Perang Iran-Irak yang kemudian berlarut-larut telah menghabiskan dana US$ 200 milyar dan mengorbankan tidak kurang dari satu juta jiwa. Kenyataan ini mau tak mau membuat para pengambil keputusan di Iran dan Irak mengendurkan urat. Diawali dengan pembukaan jalur Iran Air dari Teheran ke Ahwaz di Iran dan pembukaan bandara Basra oleh Irak, kedua pihak kemudian mengerahkan konsentrasi untuk membangun kembali ekonomi yang telah porak-poranda akibat perang. Dalam periode pascaperang nanti, para investor asing tentunya bakal mengembangkan sayap. "Tapl, demi mengamankan jalannya revolusi, upaya seperti itu harus ditolak," kata Perdana Menteri Iran Mir Hossein. Sedangkan Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, yang dikenal sebagai pemegang kendali kebijaksanaan baru, menyatakan bahwa negara harus menghindari langkah ekstrem terlalu berhemat atau terlalu konsumtif. Yang diperlukan adalah jalan tengah. Belum ada kabar dari Irak mengenai rencana pengembangan ekonomi pascaperang. Dari Baghdad hanya terdengar berita bahwa para petinggi di lingkungan Saddam Hussein lebih mendahulukan kebijaksanaan politik ketimbang ekonomi. Ini mereka perlihatkan dengan keinginan untuk lebih lengket pada negeri-negeri Arab moderat. Manuver selanjutnya belum diumumkan. Tapi satu hal, ketika ekspor minyak menjadi lebih lancar setelah gencatan senjata, negeri yang mendapatkan US$ 11,5 milyar (1987) dari minyak ini harus memikirkan utang luar negerinya yang mencapai US$ 60 milyar. MC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini