Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Rahasia mata cangkul dorowati

Para pandai besi di desa dorowati, kebumen, jawa tengah bisa membuat cangkul yang bermata tajam, berkilau, keras dan kalis. rahasianya: bilah mata cangkul itu dilapisi dengan bubur gelas.

27 Agustus 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH tak terhitung banyaknya bilah cangkul yang lahir dari tangan Achmad Sobari, 57 tahun. Seperti juga kebanyakan pandai besi di desanya, Dorowati, Kebumen, Jawa Tengah, karyanya adalah cangkul yang bermata tajam, berkilau, keras dan kalis -- lumpur sawah tak mudah melekat. Rahasianya: mata cangkul itu dilapisi dengan bubur gelas. Inilah keahlian yang diwariskan para leluhur untuk Desa Dorowati. Tanpa disadari oleh Achmad dan rekan-rekannya, sesungguhnya pelapisan bilah cangkul dengan bubur gelas yang sehari-hari mereka praktekkan, untuk ukuran zaman ini, terbilang teknologi maju. "Di mata ahli metalurgi, proses ini adalah teknologi canggih," ujar Dr. M.S.A. Sastroamidjojo, ahli fisika zat padat, dalam ceramahnya di Lembaga Javanologi Panunggalan, Yogyakarta, dua pekan lalu. Ihwal pembuatan bilah cangkul model Dorowati itu memang pernah diteliti oleh Sastroamidjojo di Laboratorium Fisika Fakultas MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) UGM, Yogya, beberapa waktu lalu. Bahkan hasilnya pernah dibawa ke seminar di beberapa forum internasional, dan membuat para ahli metalurgi asing manggut-manggut. "Di luar negeri teknik semacam itu tidak ada," ujarnya. Bagi para pandai besi Dorowati, pekerjaan melapis mata cangkul itu hanyalah usaha sampingan. Pekerjaan pokok mereka bertani. Jasa pelapisan cangkul itu mereka jual kepada para pelanggan, yang umumnya petani dari desa tetangga. Bilah cangkul yang hendak dilapis dibawa sendiri oleh para pemakai jasa, yang biasanya baru dibeli dari Pasar Kebumen. Di tangan para pandai besi Dorowati, pelapisan itu hanya makan waktu 1-2 jam. Prosesnya pun sederhana. Bilah cangkul dipanggang di atas bara tempurung kelapa, hingga mencapai suhu 700-1.000 C. Sampai bilah besi membara diperlukan waktu sekitar 15 menit. Dalam keadaan merah membara, bilah besi itu ditempa dengan palu untuk memperoleh permukaan yang lebih tajam. Setelah penempaan pertama dianggap cukup, tanpa perlu pendinginan, sekitar 30 gram gelas dan 50 gram besi cor ditaruh di permukaan cangkul, dan bilahan besi itu kembali dipanaskan di atas api. Pemanasan kedua ini, pada catatan penelitian Sastroamidjojo, dilakukan hingga logam itu membara dan memancarkan cahaya putih kemerahan, dengan suhu 1.700 C. Lantaran panas yang tinggi itu, gelas dan besi cor mulai meleleh. Bubur gelas dan besi cor itu kemudian diratakan ke seluruh permukaan, terutama di sekitar mata cangkul. Lantas, bilah cangkul didinginkan dengan cara memasukkannya ke dalam air. Lalu kembali cangkul ditempa untuk kedua kalinya agar memperoleh ketajaman yang tinggal. Pemakaian gelas dari pecahan semprong lampu minyak, besi cor, dan tempurung kelapa, tanpa disadari ternyata punya latar belakang ilmiah. Pecahan lampu semprong rupanya banyak memiliki kandungan silikadioksida (SiO2) yang berguna untuk mendapatkan sifat kalis. Lantas sisa besi cor dipilih lantaran titik leburnya lebih rendah ketimbang besi cangkulnya. Gabungan bubur gelas dan besi cor itu selain membuat pelapisan itu menjadi menyatu betul, juga bisa melipatgandakan kekuatan bilah cangkul. Pembakaran besi itu tak bisa dilayani dengan arang kayu biasa. "Hanya bathok kelapa yang bisa memberikan panas tinggi," ujar Achmad Sobari. Kekalisan cangkul Dorowati, di Laboratorium Fisika UGM, diteliti dengan membuat Shadow graph, untuk bisa mengukur besarnya daya tarik antara permukaan cangkul dan air berlumpur. Parameter yang ditilik berupa sudut kontaknya. Air berlumpur yang diteteskan pada cangkul yang telah dilapis memberikan sudut kontak 42,5, dan 60% pada cangkul yang tidak dilapis. Semakin kecil sudut kontaknya berarti semakin kecil tegangan permukaan air, dan ini menunjukkan daya tarik antara air berlumpur dan cangkul Dorowati itu lebih kecil. Alhasil, cangkul Dorowati itu lebi enteng dioperasikan di sawah. Pasalnya ketika bilah cangkul terbenam di lumpur bilah cangkul itu mudah diangkat, lantaran "cengkeraman" oleh air dan lumpur tak seberapa besar jadi, meningkatkan efisiensi tenaga. Dengan pelapisan itu, kekuatan cangkul, kata Sastroamidjojo, bisa menjadi empat kali lipat. Cangkul biasa, dalam penelitian di UGM itu, kekerasannya ha nya 20 shore. Dengan pelapisan, kekerasan cangkul itu bisa terkatrol 50 sampai 80 shore. "Warnanya pun berubah menjadi kelabu berkilau," kata Sastroamidojo. Tempurung kelapa sendiri, kata dosen UGM ini, sebetulnya hanya bisa memberikan panas pembakaran sampai 900 C. Namun, lantaran bilah besi, gelas, dan besi cor ikut terbakar, temperatur setinggi itu bisa dicapai. Sastroamidjojo melihat adanya sejumlah kemungkinan "mempromosikan" teknologi Dorowati itu, dari penerapan yang sebatas cangkul kepada aplikasi yang lebih luas. Pelapisan itu bisa juga diterapkan pada piston, misalnya. Yang diharapkan dengan menurunnya tegangan permukaan minyak pelumas, kerja piston akan lebih efisien, lantaran gesekan yang diterima menurun. Teknik ini bisa juga dipakai untuk melapis mata bajak pada traktor pengolah tanah. Seperti juga pada cangkul, pelapisan itu bisa meningkatkan kekuatan dan ketajaman bajak. Kendati menghasilkan produk yang berkilau, bengkel pelapisan cangkul di Dorowati bukanlah usaha yang berprospek cerah. Lebih banyak menghasilkan keringat, ketimbang rezeki. Achmad Sobari, misalnya, hanya bisa memasang tarif Rp 1.000 untuk setiap cangkul yang dilapisnya. Rezeki seribu perak itu pun tak bisa setiap hari digaetnya. Order kadang tak kunjung datang. "Kalau ada pesananya dikerjakan, kalau tidak ya kerja yang lain," tutur Achmad. Karena itulah sehari-hari ia sekarang beralih menjadi petani, meninggalkan martil dan palu yang telah 15 tahun diayunkannya. Putut Tri Husodo (Jakarta), dan Slamet Subagyo (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus