MINGGUAN Jerman Bild am Sonntag, pekan lalu, menambah keyakinan para "penonton" Perang Teluk, adanya bunker misterius Irak. Apalagi ketika seorang wartawan Berita Harian, Kuala Lumpur, menuliskan kesaksiannya. Pada 1985, bersama tiga wartawan lain, ia mendapat kesempatan melongok kawasan yang kini jadi teka-teki besar itu. Jailani Harun, 31 tahun, bergabung dengan Berita Harian 10 tahun lalu. Ia sudah tiga kali berkunjung ke Irak. Jailani mengakui, tak semua yang ia lihat bisa dituturkan karena ia pernah berjanji tak akan membeberkannya. "Sebagai seorang muslim, saya harus menepatinya," katanya kepada Ekram H. Attamimi, wartawan TEMPO di Kuala Lumpur. Berikut sebagian kesaksiannya: Benar-benar sulit dimengerti mengapa sopir yang membawa saya ke Baghdad dari Bandara Saddam International itu melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Padahal, jarak tempuhnya hanya 30 km. Dan yang membuat kaget adalah pemandangan sepanjang highway delapan jalur itu. Dari balik kaca, saya melihat pemandangan aneh. Di kanan dan kiri jalan raya itu, tampak berpuluh tentara bersenjata api berdiri, atau bersembunyi di balik rimbunan pohon perindang. Mobil patroli mereka juga tampak samar, diparkir di tempat tersembunyi yang sukar dilihat. Naluri ingin tahu saya sebagai seorang wartawan tak lagi bisa dibendung. Dengan bahasa Arab sepatah-sepatah, saya bertanya kepada pegawai protokol yang mendampingi saya, tentang keganjilan-keganjilan tadi. "Di jalur ini, kita perlu mengemudi melebihi batas kecepatan. Apa yang mereka lakukan di belakang pohon?" Jawabnya singkat: "Mengawal lubang angin." Sejak itu, rasa ingin tahu saya tentang kota 1001 malam itu tambah kuat. Kepada kolonel yang mendampingi saya, saya utarakan keinginan agar diberi kesempatan menyaksikan tamadun (peradaban) Baghdad, yang ada di bawah tanah. Beruntung sekali, keinginan itu disetujui. Sekitar pukul 21.30, setelah berjanji tidak akan menulis apa pun mengenai itu, kami berempat (tiga lainnya ialah wartawan Islam dari Korea, Pakistan, dan Soviet), dikumpulkan di Hotel Babylon. Dari mana kami masuk dan ke arah mana kami keluar, tidak perlu saya sebutkan. Yang pasti, menyita waktu sekitar dua setengah jam. Dan saya yakin, itu baru sebagian kecil dari kompleks itu. Untuk masuk ke kompleks itu, kami harus melalui sebuah terowongan delapan jalur yang terang benderang oleh sinar lampu. Pintu masuk, dinding, dan bubungan ruangan itu terbuat dari bahan logam yang dicor. Seorang rekan wartawan Irak menyebutnya sebagai bahan campuran baja dan platina. Tak ubahnya seperti kota bawah tanah. Sungguh menakjubkan. Sirkulasi udara diatur sedemikian rupa dengan AC. Pohon bunga, yang disinari dengan cahaya lampu sebagai pengganti matahari, terawat rapi. Di ruang bangunan satu tingkat itu, terdapat banyak saluran pipa, dan pengeras suara. Tampak pula ratusan tentara yang bergerak dalam jip dan truk, mondar-mandir membawa pelbagai perlengkapan. Keadaannya mirip cerita film James Bond. Perwira yang membawa kami sangat berhati-hati, ketika bercerita tentang kompleks itu. Menurut dia, Presiden Saddam Hussein menghabiskan hampir 12 tahun untuk membangun kota itu. Tenaga ahlinya didatangkan dari Jerman, Prancis, Soviet, Korea, dan RRC. Kami mengendarai sebuah jip dengan kecepatan 20 km per jam. Jika perjalanan itu menyita waktu dua setengah jam, saya percaya ada jalan lain untuk menuju tempat yang lebih jauh di kompleks itu. Berapa lebar kota bawah tanah itu, saya tidak tahu. Apa yang saya lihat hanya beberapa simpangan yang menuju ke pelbagai arah. Dari atas jip, saya melihat deretan tank dan panser, peluncur roket, sejumlah peluru kendali (waktu itu, saya tidak tahu Scud), stasiun pembangkit tenaga listrik, traktor tentara, peluncur peluru kendali, mortir, senapan mesin pelbagai jenis termasuk AK-47, yang saya kenal dan pernah pegang. Di suatu tempat, kami berhenti dan turun untuk melihat sekitar 80 anggota tentara mengendalikan sebuah kamar sebesar lapangan basket. Kamar itu mirip ruang komputer dengan ribuan tombol, lengkap dengan alat radar. Wartawan Pakistan, yang coba mengutik salah satu tombol, ditampar tangannya oleh seorang tentara sambil berteriak: "mamnook" (dilarang). Kolonel yang mendampingi kami enggan menjelaskan apa fungsi kamar itu. "Jangan tanya apa-apa lagi. Saudara sudah beruntung bisa melihat kepakaran Baghdad!" katanya. Ihwal ruang bawah tanah itu akhirnya saya peroleh juga lewat seorang rekan dari Irak. Ia mengatakan, kompleks itu dibangun pada akhir 1960-an, dan selesai pada 1981. Komplek itu berada sekitar 25 meter di bawah lapisan pasir, dengan luas sekitar 50 km2. Di situ terdapat pabrik senjata, laboratorium riset, toserba, dan restoran. Saya juga diberi tahu bahwa di suatu kawasan -- kira-kira 100 km dari Baghdad (tidak perlu saya sebutkan nama dan tempatnya) -- Irak mempunyai sebuah pangkalan udara di bawah tanah, yang mampu menampung 385 jet tempur sekaligus. Aries Margono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini