TAUFIK Rahzen, salah seorang pemuda Indonesia yang diundang mengikuti perkemahan perdamaian oleh Tim Perdamaian Teluk, yang berada di Irak tiga pekan lalu, menulis catatan harian untuk TEMPO. Untuk kali ini, pemuda Sumbawa bertubuh kecil itu mengirimkan sebagian dari catatan hariannya, yakni catatan hari pertama Baghdad dihujani bom, sampai ia harus pindah ke Amman, Yordania, karena diminta oleh pemerintah Irak meninggalkan negeri yang dikeroyok ini. 17 Januari 1991 Saya berada di Peace and Friendship Camp, Baghdad, sekitar tiga ratus meter dari Istana Kepresidenan, ketika tembakan pertama datang. Jam menunjukkan pukul 02.34. Langit tiba-tiba seperti lautan kembang api, membentuk tirai merah, muncul dari hampir seluruh Baghdad. Pada lima menit pertama, saya masih meragukan bahwa perang telah dimulai karena tak ada tanda-tanda pesawat menyerang, baik suara maupun jejaknya. Ketika pengeboman pertama berlangsung, dengan dentuman dan kilatan api, barulah saya dan orang-orang di Camp yakin perang sudah meletus. Serangan berlangsung hingga pukul 06.00 pagi, datang bergelombang. Pukul 9.00 kami semua aktivis perdamaian berangkat ke Hotel Al Rashid. Banyak wartawan telah berkemas untuk meninggalkan Baghdad. Jalanan terasa lengang, dan bila ada kendaraan tampak bergegas. Rumah-rumah tertutup dan tentara di mana-mana. Sepanjang hari, sesekali tembakan dan dentuman terdengar, datang bergelombang hingga malam hari. Malam itu, Baghdad mulai tanpa penerangan apa pun. Gelap. Saya mendengar pelabuhan udara dan instalasi listrik telah dilumpuhkan. Sepanjang malam hujan peluru dan sirene datang silih berganti. 18 Januari 1991 Pukul 17.00, bersama serombongan kecil wartawan (dua belas orang), saya terselip mengikuti konperensi pers pertama setelah perang, yang diberikan oleh Menteri Penerangan Latief Jaseem. Pertemuan diselenggarakan di sebuah tempat di tengah apartemen penduduk, seperti sebuah balai desa, dengan penerangan seadanya. Latief Jaseem mengatakan, "Peperangan ini tidak mengejutkan kami, tapi pasti mengejutkan Bush. Kami telah mengatakan, jika perang telah dimulai, kami tak akan menghentikan dan akan berlangsung lama. Di luar persangkaan mereka dan perhitungan komputer mereka. Ini adalah perang suci untuk membebaskan tempat suci, Yerusalem dan Arab Saudi, dari para penindas. Kami yakin, di bawah bimbingan Allah dan iman serta kepemimpinan pahlawan besar kami Sadam Hussein, kami insya Allah akan menyelesaikan tugas ini dengan baik." Ketika ditanya oleh seorang wartawan, bagaimana ia yakin akan menang jika instalasi listrik, telekomunikasi, dan pabrik tak berjalan, ia menjawab bahwa mereka punya iman, moral, dan dukungan orang-orang yang cinta damai di seluruh dunia. Di samping itu, belum seluruh kekuatan dikerahkan. Pertemuan hanya berlangsung sekitar dua puluh menit, dan kami kembali ke hotel di bawah raungan sirene dan suara tembakan, bertumpuk dalam sebuah taksi. Hari mulai gelap. Dari lantai delapan Hotel Al Rashid saya melihat sebuah rudal mematahkan satu dari dua menara telekomunikasi. Sepanjang malam, saya menyaksikan perang dari kamar. Terlihat dua kebakaran besar di dua tempat. 19 Januari 1991 Pertama kali saya keluar membeli makanan di Jalan Al Mansur, pusat perbelanjaan. Toko-toko hampir semuanya tutup meskipun banyak orang bergerombol membicarakan keadaan dan pecahnya perang. Agaknya, orang mulai terbiasa dengan situasi dan tampak tidak terlalu tegang. Air putih hilang dari pasaran. Hanya tersedia makanan kering dan minuman kaleng, dan hanya dijual di beberapa kedai. Kami membeli dengan harga yang relatif mahal. Sebuah Pepsi kaleng berharga 2 dinar atau sekitar 6 dolar Amerika, atau sekitar Rp 12.000. Roti kering seharga 3 dinar. Nilai tukar uang resmi tiga dolar untuk satu dinar, sedangkan di pasar gelap sebaliknya lima dinar untuk satu dolar. Di jalan, orang terlihat banyak yang membawa senjata dengan pakaian sipil. Hari Sabtu ini, semua wartawan diminta meninggalkan Baghdad. Hotel telah kekurangan bahan makanan. Kopi dan teh diminum tanpa gula, tetapi daging masih kelihatan cukup banyak. Setiap ada yang makan, mulai diminta membayar kontan. Kartu kredit telah lama tak berlaku. Setelah melihat keberangkatan beberapa wartawan Amerika dari televisi NBC, wartawan Italia, dan lainnya, saya berdiri di depan hotel bersama beberapa orang yang mulai terlatih dan tidak peduli dengan suara sirene. Tiba-tiba sebuah Tomahawk bergerak cepat melintas di atas kami. Saya terpukau dengan geraknya yang tenang dan terkendali. Bentuknya seperti perahu berkemudi dan bergerak sekitar tiga puluh meter di atas kami. Tiba-tiba sebuah peluru antirudal menubruknya, membuat gerakan berputar menuju samping hotel. Kemudian terdengar ledakan keras. Entakannya bergemuruh dan kaca-kaca hotel pecah. Saya terlempar dan dua orang menindih punggung. Kemudian semua orang berlari menuju perlindungan bawah tanah. Itulah awal serangan yang keras sepanjang malam. Getaran dan entakan keras sesekali terdengar hingga pagi. Kota ini seperti dihujani bom. 20 Januari Saya mulai merasa bosan di hotel. Saya merasakan, Baghdad seperti kota yang capek dan berwajah pucat. Bersama seorang wartawan Indonesia, diam-diam kami bergerak keluar menyewa taksi. Sebenarnya ada larangan keluar hotel dengan alasan keselamatan. Kebetulan, sebuah taksi, yang begitu sulit didapat dan mencarinya mesti hati-hati, lewat. Sopirnya ternyata sopir sambilan. Ia seorang insinyur sipil senior di Basra, yang membawa keluarganya ke Baghdad karena situasi perang. Kami menelusuri Jalan Al Mansur, semua toko tutup dan orang-orang bergerombol di persimpangan. Kota seperti beristirahat. Saya melihat sebuah bangunan roboh di tanah. Sebuah bangunan bertingkat rata dengan tanah dan tampak bekas terbakar. Mobil-mobil yang berada dalam radius lima puluh meter kehilangan bentuknya. Bangunan sekitarnya hancur tak berpintu. Pecahan kaca dan kayu tercecer di jalan. Seratus meter dari bangunan, terdapat sebuah menara parabola setinggi lebih kurang 150 meter masih berdiri kukuh. Namun, sebuah menara di sampingnya, yang berjarak empat ratus meter, patah dan hancur parabolanya. Di sepanjang jalan, kami melihat dua tiga rumah yang hancur dan orang bergerombol mengitarinya. Kami menelusuri jalan utama, dan menyaksikan Kantor Menteri Penerangan (kata sopir taksi) yang hampir hancur seluruhnya. Bangunan ini konon bertingkat dua belas, yang setiap tingkatnya berlubang seperti kain robek. Tiga bangunan di belakangnya hancur -- agaknya sebuah pertokoan. Lingkungan ini dikawal ketat. Kendaraan dihalau untuk membelok ke lorong lain. Meskipun sirene berbunyi berkali-kali, orang-orang tetap saja bergerombol di tengah jalan, di sekitar masjid. Gerombolan itu terdiri dari laki-laki semua. Kami kembali ke hotel lewat Makam Pahlawan Tak Dikenal. Sesampai di Al Rashid, kami disambut dengan pandangan aneh oleh beberapa orang militer dan teman dari Irak. Suasana tegang dan saya salah tingkah. Mereka mendekati kami, meminta tustel untuk diperiksa filmnya. Setelah terjadi sedikit pembicaraan antara mereka, teman-teman yang menjadi perantara dan pendamping di Irak (orang-orang sipil), meminta pengertian kami semua untuk menyimpan dan menitipkan semua tustel yang ada. Rupanya, ketika kami pergi tadi, salah seorang teman dari Prancis dituduh memotret bangunan korban serangan. Akibatnya, semua kamera yang ada di hotel harus dititipkan. Malam hari, serangan berlangsung seperti biasa. Irak kembali membuat perisai peluru. Langit berwarna merah dan sesekali kilatan senjata. Lintasan roket membuat garis meliuk. Perasaan saya mulai tak nyaman karena perasaan bersalah dan sedikit dicurigai. Agaknya, suasana perang menjadikan segala hal terasakan dengan peka. Malam itu kami turun ke perlindungan bawah tanah lagi, dan bersama anggota perdamaian lainnya mulai bernyanyi bersama. Semua orang ikut serta: anak-anak, perempuan, laki-laki, tua dan muda. Beberapa di antaranya berjalan dari satu ruang perlindungan ke ruang perlindungan yang lain, beriringan sambil bernyanyi. Orang-orang berjoget mengikuti irama padang pasir dan lagu perjuangan Palestina yang dinyanyikan berkali-kali. Kami bertiga yang dari Indonesia menyanyikan Potong Bebek Angsa. Mereka lain dari Amerika, Inggris, Italia, dan Australia. Sementara itu, di luar serangan terus berlangsung. 21 Januari Pukul enam pagi, Rizal, dosen Universitas Gadjah Mada itu, membangunkan dan memberitakan ada bis yang ke Amman. Kami segera memutuskan untuk berangkat. Situasi mulai tak mengizinkan kami tinggal lebih lama lagi. Makanan terbatas, dan banyak serangan pasukan Sekutu yang salah dan meleset. Dari enam korban runtuhan yang saya lihat langsung, empat di antaranya adalah permukiman sipil. Di televisi, saya melihat sebuah gereja di Mosul dihancurkan. Kami berangkat dari hotel sekitar pukul 08.50 pagi, tetapi baru lebih dari pukul 11.00 meninggalkan Baghdad. Bersama dalam satu bis, 21 orang India, dua orang Bangladesh, 15 orang anggota Tim Perdamaian Teluk (dari Italia, Amerika, Inggris, Australia, dan Indonesia), empat anak-anak, seorang bayi, dan seekor anjing. Dari Baghdad ke perbatasan, perjalanan berlangsung lancar, kecuali sekali kendaraan disetop, dan diperingatkan agar mematikan lampu. Tiba di perbatasan sudah pukul 20.00 lebih, telah banyak pengungsi yang menunggu. Untuk keluar dari perbatasan baru diizinkan esok paginya. Kami bermalam di dalam bis. Sekurang-kurangnya terdapat lima belas bis yang bersama kami saat itu. Setiap bis terdiri dari enam puluh orang. Beberapa di antaranya berangkat dengan truk tertutup. Sebagian besar berwajah Timur Tengah dan Afrika. Terdapat puluhan sedan yang berdesak-desakan dengan timbunan barang di atasnya, mereka umumnya orang-orang Irak sendiri yang mengungsi. Untuk mengurus keimigrasian di perbatasan Irak, dimulai pukul 08.00 pagi -- setelah dua belas jam menunggu. Dua jam kemudian kami berangkat ke perbatasan, ke kantor imigrasi Yordania yang berjarak 30 km dari perbatasan. Kami termasuk rombongan pertama yang tiba, tetapi karena lamanya pemeriksaan barang dan beberapa hal teknis yang dialami teman dari India, kami baru meninggalkan kantor itu pukul 16.00. Kami melewati tiga perkemahan kaum pengungsi. Dua di sekitar perbatasan, yang tampaknya baru saja dibangun, dan satu di Al Hila yang terbesar, sekitar 60 km dari Amman. Kami berhenti di perkemahan tersebut terakhir ini, untuk menunggu penjemputan dari rekan Tim Perdamaian Teluk dari Amman. Menurut seorang pejabat Bulan Sabit Merah (palang merahnya Yordania), diramalkan akan datang sekitar 70.000 pengungsi dalam bulan-bulan yang akan datang. Saat ini saja, telah terdapat 12.000 pengungsi. Dan, kabarnya, bersama kami saja masuk 7.300 pengungsi. Pejabat itu mengatakan bahwa mereka kekurangan obat-obatan, pangan, uang, dan selimut. Banyak negara yang telah menjanjikan bantuan, tetapi belum ada realisasinya. Sementara itu, keadaan memburuk. Ketika Irak mengirimkan rudalnya ke Israel, banyak rakyat Yordania yang menjadi panik, dan bahan makanan banyak yang menghilang dari pasaran. Seingat saya, perjalanan empat puluh jam ini sembilan kali paspor kami diperiksa di tempat berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini