PERANG Teluk bukan perang agama, tapi tampaknya sulit bagi banyak kaum muslimin untuk tak memandangnya demikian. Apalagi pihak yang bermusuhan siap menggunakan bendera Islam dalam konflik ini. Saddam Hussein menyatakan perangnya melawan Sekutu juga sebagai "jihad" -- seraya mendoakan agar Raja Fahd dari Saudi "membusuk di neraka". Saddam bukan ulama. Orang kepercayaannya, Tareq Aziz, adalah seorang Kristen. Partai Baath bukan partai Islam. Bahkan, sewaktu masih hidup, Ayatullah Khomeini -- pemimpin spiritual Iran itu, negeri yang dahulu disergapnya -- menghendaki perang melawan Irak tak akan berhenti sebelum Saddam dimakzulkan. Namun, tampaknya, kini sejumlah besar kaum muslimin di dunia, termasuk di Indonesia, mendukung Saddam. Tampaknya lebih banyak ini disebabkan oleh perasaan anti-Amerika, atau anti-Barat, yang kini menyala di kalangan muslimin. Tak diketahui persis mengapa ini terjadi, suatu hal yang kurang kuat 30 tahun yang lalu, ketika AS jadi musuh Soviet yang "komunis". Tak kurang berpengaruh adalah sikap Saddam sendiri. Ia memerintahkan agar kata "Allahu Akbar" disematkan di bendera Irak kini. Dan harus diakui: Irak juga negeri tempat-tempat bersejarah dalam Islam. Malah tempat itu termasuk dianggap suci: Najaf, Karbala, dan Kufah. Karbala adalah tempat syahidnya imam Syiah yang ketiga, Husein bin Ali, cucu Nabi. Ia terbunuh dalam perang dengan kepala terpenggal. Wafatnya diperingati setiap tahun oleh kaum Syiah dengan derai air mata. Sedangkan Najaf, kota tua yang berdekatan dengan Kufah, merupakan pusat spiritual Syiah. Di sini, ada masjid tempat imam pertama oleh kaum Syiah, Ali bin Abi Thalib, dimakamkan. Di sini, pernah bermukim Ayatullah Khomeini sebelum ia pindah ke Prancis. Di Kufah ada masjid, tempat dahulu Ali bin Abi Thalib terbunuh. Dan tempat ini pula pernah bermukim Imam Abu Hanifah, salah seorang imam mazhab yang empat. Di depan parlemen, Perdana Menteri Inggris John Major, dua pekan lalu, menyatakan bahwa ada perintah jelas kepada tentara Sekutu yang mengebom Irak agar tak menyentuh kota-kota suci itu. Ini sama dengan perintah Sekutu waktu menyerang Jepang dalam Perang Dunia II: tak ada bom yang boleh jatuh ke kota tua Kyoto. Jelas, Sekutu sadar bahwa kalau ketiga kota suci itu dibom, muslimin di dunia akan bangkit berjihad melawan. Bisa tambah merepotkan. Juga opini dunia akan mengutuk bila peninggalan bersejarah di sana cedera. Paling tidak, tentara Sekutu akan menghadapi Iran, yang mayoritas penduduknya menganut Syiah. Meskipun Iran netral, Saddam ternyata didukung hangat oleh kalangan pemuda di beberapa negara Islam, di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan. Di Indonesia, negeri muslimin terbesar di dunia ini, Menteri Agama berpendapat lain. Menteri Munawir Sjadzali menyatakan Perang Teluk tak ada hubungannya dengan agama. Namun, banyak pemuda Islam yang pro-Saddam. Yang agak khusus para penganut tarekat Kadariah, yang ada di Jawa Timur. Mereka menawarkan diri untuk berjihad menjaga makam Syekh Abdulkadir Jailani, sufi besar yang oleh pengikut Kadariah disebut wali segala wali, yang dimakamkan di Baghdad. Melihat gelagat, Rabithah Alam Al Islami (yang dekat dengan Arab Saudi) segera menyelenggarakan Muktamar Islam pertengahan Januari 1991 lalu. Pertemuan itu dihadiri antara lain oleh Syaikh Al Azhar dan Ketua Lembaga Dewan Tertinggi Dewan Fatwa Arab Saudi, Syaikh Abdulaziz ibn Baz. Dalam pertemuan itu, para ulama memutuskan agar Irak mundur dari Kuwait. Menurut para ulama ini, tindakan Irak itu tindakan pendurhaka. Itu sebabnya, Syaikh Al Azhar membolehkan memerangi Irak meskipun itu berlangsung pada bulan Rajab, salah satu dari bulan yang oleh Quran diharamkan untuk dipakai berperang. Gaadel Haq Aly Gaad El Haq mengeluarkan fatwa bahwa soalnya sangat darurat. Sementara itu, para ulama Irak dan banyak muslimin lain tetap melihat bahwa Irak yang muslim itu diserang oleh Amerika yang bukan muslim itu. Tentu saja adanya tentara Kuwait, Arab Saudi, Mesir, dan negeri Islam lainnya tak dianggap penting. Penggunaan agama dalam suasana krisis ini, kata Dr. Kemal Abu Jaber, pengamat politik di Timur Tengah, bukanlah hal yang baru. Itu tak cuma berlangsung dalam Islam: sejarah Kristen - juga penuh dengan contoh serupa. Yuli Ismartono (Amman), Dja'far Bushiri (Kairo), dan Julizar Kasiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini