YORDANIA adalah negeri yang terjepit. Raja Hussein memang mengecam pencaplokan Kuwait oleh Irak, tapi juga mengatakan bahwa serbuan Amerika dan sekutunya ke Baghdad adalah agresi. Itulah upaya negeri yang berada antara Irak dan Israel ini untuk tetap netral. Repotnya, 70% dari 3,1 juta warga Yordania adalah orang Palestina, yang tiap hari mendesak pemerintah agar mendukung Saddam Hussein. Dengan kata lain, negeri yang kebanjiran pengungsi ini, posisi netralnya terguncang pada hari-hari terakhir ini. Berikut wawancara wartawan TEMPO Yuli Ismartono dengan Putra Mahkota Pangeran Hassan bin Talal, tentang perang di Teluk kini. Jika Israel menyerang Irak, apakah sikap Yordania akan berubah? Kami tidak terlibat dalam perang, tidak ada alasan untuk itu. Perang teknologi tinggi ini di luar kemampuan Yordania, dan kami tidak punya fasilitas untuk menembak rudal. Dari semula kami jelaskan, kami tidak punya sikap agresif. Namun, kami akan membela diri jika wilayah kami dilanggar, baik di darat maupun di udara oleh negeri mana pun. Menurut Anda, mungkinkah negara-negara Arab seperti Mesir dan Arab Saudi berbalik jika Israel menyerang Irak? Ini hanya bisa dijawab oleh juru bicara negara masing-masing. Namun, jelas, serangan Israel terhadap Irak akan ditanggapi oleh warga Arab dan muslim di mana-mana. Semula cuma ada krisis Teluk kemudian menjadi perang Teluk lama-lama akan membesar menjadi perang Timur Tengah. Perang kini menjadi semacam perang jihad. Bagaimana pendapat Anda? Inilah tragedi terbesar dalam perang ini: politisasi agama. Ini masalah yang sangat emosional, dan ini dimanfaatkan oleh kedua pihak. Jika Arab membunuh Arab, muslimin membunuh muslimin, adakah masa depan untuk agama? Bagaimana kedudukan Liga Arab sekarang? Suatu perkumpulan multilateral yang tidak mendasarkan diri pada suatu keinsafan kolektif tidak mungkin bisa hidup lama. Perbedaan di antara kami semakin melebar dan mendalam. Setelah perang, konon, akan terbentuk "tatanan internasional baru". Apakah ini berarti kami harus membuat pakta-pakta militer, atau mendukung persetujuan militer yang membolehkan kekuatan-kekuatan asing tinggal di kawasan ini? Kami terancam oleh kemungkinan ini. Bagi warga Arab, jika ini terjadi, berarti lonceng diputar ke belakang, ke masa lalu. Tetapi, andai kata terbentuk suatu tatanan regional atas dasar pemikiran dan kesadaran Arab, situasi kami bisa mirip Eropa Timur. Namun, saya setuju dengan Anda. Kini tak mungkin lagi keadaan bisa sama seperti dulu. Di dunia Islam, umumnya pemerintahnya bersikap netral, tetapi rakyatnya menuntut agar negerinya memihak Irak. Bagi warga-warga Arab, kedudukan Irak dengan pemimpinnya melambangkan banyak masalah. Misalnya, itu melambangkan satu negara ketiga yang berani melawan superkuat. Lalu, tindakan Irak akan berjasa mencegah negara produsen minyak kembali pada sistem produksi minyak yang lama. Padahal, selama 10 tahun ini, Gulf Cooperative Commission (GCC) berusaha keras mendamaikan para konsumen dengan produsen, dan tak berhasil. Kemudian soal "legalitas internasional". Sungguh sulit bagi Saddam Hussein untuk menjelaskan kepada rakyat Yordania dan Palestina mengapa Israel selama 23 tahun ini justru dihadiahi makanan dan senjata setelah menduduki tanah Arab. Seharusnya, masalah Palestina diselesaikan puluhan tahun yang lalu. Jelas, terdapat perbedaan dan diskriminasi terhadap warga Arab. Maksud Anda perang di Teluk ini sebenarnya antara Utara dan Selatan? Boleh dikatakan antara Utara dan Selatan, tetapi juga antara Selatan dan Selatan. Sebab, jelas bahwa ada negara-negara ketiga yang ternyata lebih dekat pada dunia pertama daripada kawan-kawannya sendiri. Bagaimana nasib Yordania setelah perang ini? Kami yakin bisa berdiri kembali. Dalam perang ini korban terbesar Yordania. Kami menghormati embargo terhadap Irak meski ini berarti kamni sendiri ikut dirugikan. Toh, kami masih juga dihukum karena tidak ikut dalam koalisi melawan Irak. Mengapa kami diperlakukan demikian? Bukankah bisa dimengerti bila kami menjawab dengan keras kepala. Mungkinkah Irak menarik pasukannya dari Kuwait? Saya kira ini mungkin sekali jika persoalannya ditangani oleh orang-orang Arab sendiri. Bisakah Irak menang dalam perang ini? Pertama, tidak ada perang yang adil. Saya kira dalam suatu perang tidak ada yang menang, melainkan banyak yang kalah. Mungkin Anda berpendapat tindakan nekat Saddam Hussein tidak rasional. Apalagi seruannya untuk berjihad. Namun, sejarah dan generasi mendatang akan melihat bahwa Irak tidak punya pilihan lain dalam menghadapi serangan yang begitu masif. Ini sangat menyedihkan. Mendengar nama-nama seperti Karbala, Mejr, dan Baghdad dibom terus-menerus, saya kecewa sekali. Tempat-tempat itu bagi kami suci sekali. Saya ti&ak bisa menerima bahwa untuk menghukum Saddam Hussein, tempat-tempat itu juga harus dihancurkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini