Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tentara resah, benarkah ?

Demonstrasi pro marcos meningkat. pemerintah cory yang sibuk mengusut harta marcos bersikap lunak menghadapi mereka. juga terhadap mnlf yang mengadakan gencatan senjata, & npa. sikap tersebut. membuat resah militer.(ln)

26 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI antara 18 pejabat tinggi Filipina, Presiden Corazon Aquino ternyata hanya menduduki peringkat keenam terkaya. Hartanya dinilai 17,7 juta peso (US$ 850.000), jauh di bawah Menteri Pariwisata Jose Gonzales dengan kekayaan US$ 4 juta. Gonzales menjadi jutawan karena sukses sebagai pengusaha busana wanita, sedangkan Aquino menghimpun sepertiga hartanya dari saham perusahaan keluarga. Lebih dari sekadar formalitas, pengumuman kekayaan itu diwajibkan Presiden Aquino sebagai bagian integral dari upaya menegakkan pemerintah yang bersih, jujur, dan terbuka. Demi keterbukaan pula, Cory Aquino memerintahkan agar polisi bersikap toleran dalam menghadapi ribuan pendukung Marcos yang sejak minggu lalu melancarkan aksi unjuk rasa di Manila. Pers sampai berkomentar bahwa ia terlalu sabar menghadapi lawan-lawan politiknya, sementara Menhan Juan Ponce Enrile mengingatkan, kaum loyalis Marcos itu bisa merupakan faktor ketidakstabilan dalam politik Filipina. "Kami akan kembali," begitu pesan Marcos seolah menirukan janji Jenderal McArthur yang amat tersohor di masa Perang Dunia II. "Rakyat harus bersatu untuk melancarkan kepulangan kami," ujar bekas presiden ini dalam suatu wawancara dengan sebuah radio swasta di Manila. Usahanya mengobarkan sentimen massa - terutama rakyat dari kampung kelahirannya Ilocos Norte - tampak berhasil. Semula hanya ada 2.000 demonstran, kini meningkat menjadi 20.000 orang. Merasa mendapat angin, Marcos yang pernah mengaku "tidak berambisi lagi untuk berkuasa" sekarang menuduh pemerintahan "Aquino tidak sah, tidak berdaya, dan cacat sejak mula." Washington tidak menggubris ulah Marcos padahal Kedubes AS di Manila pekan lalu didatangi para demonstran. Dengan spanduk bertuliskan, "Amerika kembalikan presiden kami" dan "Hancurkan kediktatoran AS-Cory" mereka melakukan protes duduk di sana, hingga terjadi kemacetan lalu lintas. Semua letupan ini tampaknya dianggap bagaikan gonggongan anjing oleh "kafilah" Aquino yang sibuk menangani warisan kebobrokan Marcos. Upaya membenahi kesemrawutan ekonomi, misalnya, kini bisa sedikit dipacu dengan suntikan dana US$ 150 juta dari pemerintah AS. Jumlah yang tidak seberapa ini merupakan tambahan untuk US$ 400 juta yang sedang menunggu pengesahan Kongres. "Semoga negara-negara lain ikut tergerak membantu Filipina dan mau merogoh koceknya lebih dalam bersama-sama bank internasional lainnya," ujar Wakil Menlu Michael Armacost di Manila pekan silam. Dijelaskannya, bantuan ekstra US$ 150 juta itu terbagi atas bantuan ekonomi US$ 100 juta dan bantuan militer US$ 50 juta. Menjelang genap dua bulan berkuasa, Jumat pekan ini, pemerintahan Aquino telah mencatat beberapa kemajuan kecil. Pedro Yap sudah diutus ke Swiss untuk "memperjuangkan" sejumlah kekayaan Marcos yang tersimpan di sana. Sebuah daftar harta sepanjang 23 halaman baru-baru ini telah pula diserahkan pemerintah AS, memuat secara terinci barang-barang yang diboyong Marcos ke Hawaii Februari silam. Antara lain tercantum di situ 22 peti berisi 28 juta pesos (US$ 1,25 juta) dan emas permata senilai lebih dari US$ 4 juta. Juga ada surat-surat berharga dengan nilai 48 juta peso (US$ 2,5 juta). Sementara itu, di Manila petugas hukum sudah mulai memproses harta Marcos yang tersisa, yang diperkirakan sebanyak US$ 5 milyar. Orang-orang yang akan dijadikan tersagka adalah Marcos, Imelda, ketiga anak mereka, dan para menantu. Juga tentu saja Fabian Ver, pacarnya pengusaha wanita Edna Cam-cam, raja gula Roberto Benedicto, raja kelapa Eduardo Cojuangco, raja pisang Florendo serta, eks Dirut Philippines Airlines, Roman Cruz Jr. Di bidang hankamnas, pemerintah baru itu juga sedikit maju dengan adanya pengakuan dari tokoh pemberontak Islam MNLF, Macapantun Abbas. Sebuah perjanjian gencatan senjata telah ditandatangani Abbas dengan pihak militer pekan lalu. Masalah otonomi bagi umat Islam Filipina tampaknya tidak disinggung di situ, tapi Abbas memastikan pihaknya tetap berpegang pada Kesepakatan Tripoli, 1976. Dikatakannya, ia mewakili juga suara kelompok Hasim Salamat, kini dalam pengasingan di Qatar, dan Nur Misuari yang kabarnya berada di Libya. Dengan demikian, Aquino tinggal menghadapi gerilyawan komunis NPA yang sebagian besar belum mau menyerah. Walaupun 1.000 orang di Cebu sudah turun gunung dua pekan silam, bukan berarti yang lain segera mengikuti jejak mereka. Tidak heran kalau pekan lalu dilaporkan 17 tentara tewas karena ada ranjau yang meledak di Legaspi, Luzon, sedangkan di Malungon, Mindanao, terjadi bentrokan besar yang melibatkan 400 gerilyawan komunis. Tampaknya NPA masih sukar dijinakkan walaupun terakhir Cory masih menawarkan apa yang disebut perdamaian terhormat. Sikap lunak presiden ini menggelisahkan pihak militer, apalagi pada saat yang sama ia dianggap kurang bertimbang rasa terhadap tentara. Rasa waswas ini muncul, terutama setelah Jose Diokno, ketua komisi hak-hak asasi, menyatakan tentara yang sewenang-wenang terhadap rakyat tidak akan bebas dari pengusutan. Menhan Juan Ponce Enrile tersentak mendengar ucapan Diokno itu, sedangkan Kastaf Jenderal Fidel Ramos sudah lebih dulu memintakan amnesti khusus untuk militer. "Kita tidak hanya mesti bersikap adil terhadap mereka yang menentang republik," kata Enrile, "tapi juga harus bersikap sama terhadap mereka yang membela republik." Sikap ketat Presiden Corazon Aquino terhadap militer bukan tidak beralasan. Pembunuhan suaminya, Benigno Ninoy Aquino, tidak saja didalangi, tapi juga dilakukan, orang-orang militer. Sampai kini ia tidak melepaskan tekadnya untuk melaksanakan pengadilan ulangan terhadap para tersangka dan komplotan militer yang berada di belakang mereka. Nama Enrile memang tidak pernah disangkut-pautkan dengan pembunuhan itu, tapi sebagai tokoh reformis angkatan bersenjata Filipina, ia tampaknya tidak sudi kalau militer diperlakukan kurang bijaksana. Isma Sawitri, Laporan Reuter

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus