Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Manifestasi Ketersinggungan ...

A. buyung nasution banding atas vonis ketua pn jakpus, soebandi, yang menuduhnya menghina pengadilan (contempt of court) ketika pembacaan vonis dharsono. soebandi menganggap bukan vonis, tapi laporan.(hk)

26 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGACARA tenar dan galak Adnan Buyuhg Nasution bagaikan keluar dari sarangnya. Setelah sebulan tidak memberikan reaksi atas vonis Ketua Pengadilan Negeri Pusat Soebandi, yang menganggapnya menghina pengadilan (contempt of court), tiba-tiba ia mengumumkan penolakannya atas putusan itu. Sehari kemudian, Jumat pekan lalu, Luhut Pangaribuan secara resmi menyampaikan permohonan banding Buyung atas putusan yang mengusulkan Menteri Kehakiman mencabut izin praktek advokat itu. Buyung menganggap bahwa vonis atas dirinya itu tidak berlandaskan hukum - bahkan dianggapnya melanggar prinsip-prinsip hukum. Sebab, kendati urusan menghina pengadilan sudah dimasukkan ke dalam Undang-Undang Mahkamah Agung dan Peradilan yang baru, sampai kini peraturan pelaksanaannya belum ada. "Ternyata, ketika permohonan banding itu disampaikan ke Soebandi, ia tidak tahu ke mana berkas itu harus diajukan, berapa lama tenggang waktu untuk menyusun memori banding, dan bagaimana prosesnya selanjutnya," kata Buyung berapi-api. Pembela perkara subversi H.R. Dharsono itu lebih menyesalkan jawaban Soebandi yang menganggap keputusannya yang bersifat administrasi, 17 Maret lalu itu, hanya sebagai laporan ke Menteri Kehakiman. "Kalau itu laporan untuk atasannya, kenapa harus disampaikan kepada saya" ujar Buyung. Pengacara yang berusia 52, dan bangga dengan uban di kepalanya, itu memang semula dituduh menghina pengadilan, ketika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Soedijono - kini hakim inggi di Medan - membacakan vonisnya terhadap Dharsono, Januari lalu. Buyung, yang duduk di kursi tim pembela, tiba-tiba nerasa tersinggung ketika hakim menyebutya ia tidak etis karena menganggap pemerintah mematangkan situasi sehingga peristiwa Tanjungpriok terjadi. Kontan ia menginterupsi pembacaan vonis hakim. "Siapa yang tidak etis?" tanyanya, sambil bertolak pinggang. Pembacaan vonis sampai terhenti beberapa saat karena suasana sidang, yang sejak semula memang hangat, bertambah gaduh oleh teriakan massa. Ketika itulah polisi memasuki ruang sidang. Tapi bukan Adnan Buyung Nasution bila ia tak bereaksi. Ia menyuruh dan menuding polisi itu, "Ruangan ini wewenang hakim, bukan polisi. Polisi keluar!" Polisi memang keluar dan hari itu Dharsono divonis 10 tahun penjara. Semula persoalan dianggap selesai. Tapi sebulan kemudian, entah kenapa, Soedijono mengirimkan surat pengaduannya ke Mahkamah Agung. Lalu ketua lembaga yudikatif itu, Ali Said, mendisposisikan pengaduan itu kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang baru, Soebandi, dengan perintah agar Buyung Nasution diperiksa. Hasilnya, sebuah kesimpulan. "Menurut saya, tingkah laku Buyung itu sudah keterlaluan. Masa hakim diperintahnya di depan umum. Walau peraturannya belum ada, orang tidak bisa berbuat seenaknya begitu di depan sidang," ujar Soebandi (TEMPO, 29 Maret). Tapi Buyung ternyata tidak menanggapi keputusan Soebandi itu. Bahkan pendiri LBH itu menyerahkan persoalannya ke Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) yang dianggapnya sebagai lembaga paling tepat untuk menangani kasusnya. Ikadin pun mengeluarkan pernyataan mengambil alih persoalan sesuai dengan tugas organisasi: mengawasi advokat. Komisi Ahli Hukum Internasional yang berkedudukan di Swiss juga menyampaikan rasa prihatin atas tindakan pengadilan terhadap Buyung. Tiba-tiba saja Buyung Nasution tampil dan menyatakan sikapnya sendiri menghadapi putusan Soebandi itu. Ia menyatakan kesediaannya untuk diadili dalam sebuah sidang yang terbuka untuk umum. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Soebandi, tetap menganggap bahwa keputusannya itu dulu hanya sebagai laporan. Sebab, pada rapat kerja Mahkamah Agung, Maret lalu, diputuskan bahwa yang berwenang mengambil tindakan terhadap pengacara adalah Menteri Kehakiman setelah mendapat laporan dari organisasi pengacara dan Ketua Mahkamah Agung. "Surat Keputusan Bersama antara Menteri Kehakiman dan Ketua Mahkamah Agung akan dikeluarkan untuk itu. Jadi, secara formal surat saya tentang Buyung itu memang keputusan, tapi sebenarnya hanya laporan ke Menteri Kehakiman," ujar Soebandi, yang beranggapan rancangan dari SKB itu sudah merupakan hukum tak tertulis yang harus dipatuhi. Sikap Soebandi itu pulalah yang membuat Buyung berang, bukan kepalang. ". . . (kasar untuk ditulis - Red.) atau apa namanya itu. Masa ia membuat keputusan hanya berdasarkan rancangan," ujar Buyung Nasution. Itu sebabnya, ia menuduh keputusan yang menimpa dirinya tidak hanya sekadar kemauan pengadilan tingkat bawahan. "Coba saja lihat: Soedijono baru mengajukan pengaduan dan merasa terhina setelah sebulan kejadian itu," katanya. Soedijono, yang beberapa waktu lalu dihubungi TEMPO di Medan, membantah hal itu. Ia mengaku merasa terhina ketika pembacaan vonisnya untuk Dharsono diganggu Buyung. Hanya saja, ia tidak mungkin mengungkapkan rasa tersinggungnya ketika itu, karena "Saya 'kan lagi membaca vonis." Pengaduan itu, "Saya sampaikan sebagai manifestasi dari rasa ketersinggungan ketika itu," ujar Soedijono lagi. Karni Ilyas, Laporan Eko Yuswanto (Jakarta) & Bersihar Lubis (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus