DI satu pelosok yang jauh dari keramaian, terlihat tiga truk militer berderet rapi. Sejumlah tentara sibuk mengisi ketiga truk itu dengan bilah-bilah kayu. Di keheningan hutan Gunung Tujuh ini, aktivitas prajurit itu sungguh mencolok. Setelah kayu dan atap rumbia tersusun rapi di atas truk, pasukan baju loreng itu langsung meninggalkan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), kembali ke markasnya. Ada apa?
Peristiwa yang terjadi dua minggu lalu itu ternyata merupakan antiklimaks terhadap inisiatif Komando Distrik Militer (Kodim) 0417 Kerinci, yang berniat mengelola kawasan wisata Gunung Tujuh. Seperti diketahui, kawasan hutan dan danau air tawar ini adalah yang tertinggi di Asia Tenggara, dengan luas lebih dari 1.000 hektare dan terletak 1.996 meter di atas permukaan laut.
Keinginan ini terungkap akhir Oktober lalu, saat Kolonel Yustin Dino—sang komandan kodim—mengutus anak buahnya menemui pejabat TNKS seraya menitipkan sepucuk surat. Menurut Kepala Bagian Tata Usaha TNKS, Donal Hutasoit, melalui surat ini, pihak kodim meminta izin TNKS agar dibolehkan meminjam kawasan Gunung Tujuh. Tujuannya untuk pengembangan wisata. "Selebihnya untuk kegiatan tentara," ujar Donal.
Permintaan ini ditampik secara halus. Kepala TNKS, Listya Kusumawardhani, menjelaskan panjang-lebar pemanfaatan kawasan konservasi. Tak lupa ditegaskan bahwa kawasan konservasi hanya boleh dijadikan area untuk konservasi, penelitian, dan wisata. "Bukan untuk kegiatan ingar-bingar, apalagi latihan militer," demikian kata Listya.
Namun, kalau tentara mau berpartisipasi mengelola TNKS, Listya tidak mencegah, malah menganjurkan, tapi dengan syarat aturan peruntukannya dipatuhi, juga mesti ada rekomendasi dari Menteri Kehutanan, Direktorat Jenderal Pelestarian dan Konservasi Alam (PKA), dan gubernur. Mendengar keterangan yang tegas tapi lembut ini, petugas kodim undur diri sambil membawa seberkas peraturan dari pihak TNKS.
Namun, awal November lalu, seorang petugas lapangan TNKS melihat tentara berada di lokasi bekas wisma yang terbakar. Mereka membersihkan area parkir dari rumput yang mulai berjejalan. Di lokasi seluas 15 x 25 meter persegi ini juga terlihat tiga buah truk. Dan dari situ diturunkan kayu, atap rumbia, dan bahan bangunan lainnya.
Ternyata pasukan itu diperintah atasannya membangun pondok-pondok dan rumah panggung. Tujuannya sebagai tempat pertemuan antara kodim dan pengusaha Jambi yang akan membahas usaha pengelolaan dan pengembangan wisata Gunung Tujuh.
Pengelola TNKS terperanjat mendengarnya. Mereka segera menghubungi pihak kodim dan menanyakan kewenangan instansi itu dalam hal pengembangan wisata. Untuk mengumpulkan bukti, pihak TNKS juga memotret aksi bersih-bersih serta gundukan kayu dan bahan bangunan hasil kerja tentara. Tak cuma pihak TNKS yang kaget. Direktur Konservasi Kawasan Direktorat Jenderal PKA Widodo juga langsung mengirimkan surat kepada komando daerah militer setempat. Tujuannya tak lain untuk meminta kejelasan seputar aktivitas di Gunung Tujuh.
Rikuh karena terus ditanyai, barisan topi baja akhirnya mundur. Pertemuan dengan pengusaha dibatalkan. Kayu-kayu dan bahan bangunan segera dibawa kembali ke markas kodim. Menurut Kepala Staf Kodim 0417, Mayor Ahmad Basar, pembangunan dihentikan karena ia tidak memperoleh izin.
"Katanya harus izin ini, izin itu, panjang bangetlah. Sudah, saya bilang hentikan saja," ujarnya. Ia mengaku sebelumnya sudah mengantongi izin dari pemerintah daerah setempat. Niatnya baik, yakni membantu pengembangan pariwisata di Kerinci. "Biar bisa meningkatkan pendapatan daerah. Tapi tak diizinkan, ya sudah, tidak jadi," katanya mendongkol.
Namun, menurut sumber TEMPO, niat mengelola kawasan tersebut tak lain disebabkan oleh adanya perintah dari Komando Resor Militer (Korem) Garuda Putih 042 Jambi. Tujuannya untuk menyediakan area hiking bagi para anggota klub pendaki Rajawali. Ini sebuah klub lintas alam yang bernaung di bawah korem setempat. Anggotanya adalah pengusaha keturunan di Jambi, yang berjumlah sekitar 100 orang. Mereka pula yang akan menghadiri pertemuan di Gunung Tujuh yang batal itu.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Longgena Ginting menyatakan, terlepas dari persoalan apakah tentara boleh berbisnis atau tidak, yang terjadi di Gunung Tujuh merupakan sebuah potret dari konservasi hutan di Indonesia. Gambaran ini, menurut Longgena, sarat dengan konflik kepentingan yang antara lain terjadi karena ketidakjelasan kebijakan pelestarian hutan di negeri ini. Juga akibat tidak terintegrasinya pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. "Wajar saja kalau kemudian ada pihak tertentu yang berusaha mengambil keuntungan dari kawasan konservasi," ujarnya prihatin.
Agus Hidayat, Arif Ardiansyah (Kerinci)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini