Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Tergiur Segepok Imbalan

Setelah orang tua korban mencabut pengaduan, empat lelaki "pemangsa daun muda" dilepas. Padahal bukan delik aduan.

11 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LENGKAP sudah kegetiran yang dirasakan Asmuni. Lima bulan lalu ia amat terpukul saat mengetahui anak gadisnya yang baru berusia 15 tahun "dijual" kepada seorang lelaki. Kini, warga Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan, ini semakin pilu setelah tahu lelaki yang telah mencicipi tubuh anaknya dilepas polisi.

Itu sebabnya sang ayah mengadu ke Komisi Nasional Perlindungan Anak baru-baru ini. "Saya ingin pelaku diadili dan dihukum seberat-beratnya," ujarnya.

Putri Asmuni adalah satu dari sepuluh anak baru gede (ABG) korban perdagangan seks, yang dibongkar oleh Mabes Polri akhir Mei lalu. Tinggal di kawasan Menteng Atas, mereka hampir semuanya berusia di bawah 17 tahun. Mereka dijajakan oleh Nyonya Arum, 27 tahun, dan Nurlela, 21 tahun, kepada om-om yang berminat dengan bayaran yang menggiurkan. Kedua "germo" ini sekarang mendekam di Rumah Tahanan Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur, menunggu proses peradilan.

Empat lelaki yang mengencani para korban pernah dinyatakan sebagai tersangka. Malah tiga di antaranya sempat ditahan beberapa bulan. Tapi belakangan mereka dilepas. Alasannya? "Kami tidak bisa terus menahannya, karena orang tua sudah mencabut pengaduannya," ujar Komisaris Besar Polisi Trio Prio, yang menjabat Direktur I Urusan Keamanan dan Transnasional Mabes Polri.

Hampir semua orang tua korban, kecuali Asmuni, memang telah mencabut pengaduannya. Hal ini diakui pula oleh pasangan Ridwan dan Yanti, orang tua salah seorang korban. " Sudahlah. Kami sudah mau melupakan hal itu. Tak perlu diperpanjang lagi," kata Ridwan. Ia menuturkan bahwa anaknya, sebut saja Melati, sudah belajar di sebuah SMP swasta setelah dikeluarkan dari sekolahnya yang lama. "Melati sekarang sudah baik-baik saja, sudah melupakan masalah itu," ujarnya.

Sebagai imbalan, orang tua yang mencabut laporannya diduga mendapat duit Rp 5 juta sampai Rp 20 juta. ''Saya sendiri dapat komputer baru," kata seorang korban, sebut saja Tulip, 14 tahun. Menurut orang tua Tulip, bukan soal besarnya uang yang diterima. Dia berpendapat memperpanjang perkara ini percuma saja karena pengadilan kerap "bisa diatur".

Perdagangan seks anak-anak di bawah umur sebenarnya bukan delik aduan. Artinya, polisi bisa menjerat om-om yang doyan daun muda, kendati tidak ada laporan atau pengaduannya telah dicabut. Karena itu pula, Asmuni ngotot membawa masalah ini ke Komisi Nasional Perlindungan Anak.

Bukan cuma Asmuni yang kesal. Arto, ayah Nurlela, salah seorang penghubung yang menjadi tersangka, juga ingin agar para om tersebut ditahan. "Seharusnya mereka yang diseret. Anak saya sebenarnya hanya korban, diseret-seret saja," ujarnya. Menurut Arto, anaknya baru sekali membantu Arum menjajakan para siswi SMP. Sial bagi Nurlela, kebetulan saat itu pas diadakan penggerebekan oleh polisi.

Kendati perkara ini bukan delik aduan, para pelaku tampaknya akan dibiarkan lepas tanpa disentuh karena pemeriksaan perkara ini dianggap sudah beres. "Kasus ini sudah kami serahkan ke kejaksaan tinggi. Pekerjaan kami sudah selesai," kata Komisaris Besar Trio Prio. Menurut Prio, Nyonya Arum dan Nurlela dijaring dengan Pasal 287 dan 297 KUHP tentang pencabulan anak-anak di bawah umur. Ancaman hukumannya maksimum enam tahun penjara.

Itulah yang disayangkan Rahma Fitrianti dari Komisi Nasional Perlindungan Anak. Menurut dia, seharusnya polisi menjerat mereka dengan Undang-Undang No. 23/2003 tentang Perlindungan Anak, karena di situ ancaman hukumannya lebih berat, yakni 10 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.

Hanya, yang paling disesalkan oleh Rahma sama dengan yang dirasakan Asmuni: kenapa para lelaki yang telah merusak masa depan korban dibiarkan saja?

Ahmad Taufik, Rian Suryalibrata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus