Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Terobosan Aljier

Kubu-kubu utama kelompok palestina rujuk di aljazair. hubungan yasser arafat-husni mubarak dikorbankan untuk persatuan plo. struktur kepemimpinan plo dirombak. plo mendapat dukungan uni soviet.

2 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA tepuk tangan meriah ketika Nayef Hawatmeh, Yasser Arafat, dan George Habash, memasuki ruang sidang klub Des Pins, 15 km timur Aljier, Aljazair, pekan lalu. Ketiganya saling menggenggam tangan dan mengacungkannya tinggi-tinggi. Inilah lambang rujuk kubu-kubu utama Palestina yang bertahun-tahun patah arang. Adakah ini berarti fajar baru daam perjuangan Front Pembebasan Palestina (PLO)? Tidak mudah untuk menjawabnya sekarang. Yang pasti, sidang Dewan Nasional Palestina (PNC) ke-18 yang dikenal sebagai parlemen Palestina dalam pembuangan, beranggotakan 440 orang - yang berakhir pekan lalu itu, memang punya arti penting. Selain kelompok Habash dan Hawatmeh, kelompok komunis dan Front Perjuangan Rakyat ikut pula bergabung. Tidak kurang penting adalah tindakan Habash "membubarkan" Front Pembebasan Nasional Palestina (Palestine National Salvation Front), kumpulan enam kelompok sempalan pro-Syria yang bermarkas di Damaskus sejak 1983. Tetapi Arafat dan PLO tampaknya harus membayar agak mahal untuk rujuk tersebut. Betapa tidak. Perjanjian PLO-Yordania, yang ditandatangani pada kongres ke-17 di Amman dua tahun lalu, dibatalkan. Bukan hanya itu. Hubungan PLO-Mesir dikembalikan pada posisi sidang ke-16, 1983: tergantung kesediaan negara tersebut meninggalkan Perjanjian Camp David, antara Mesir, Amerika, dan Israel. Karena itu, Kairo tersinggung. Maka, sebuah instruksi pun segera disampaikan kepada delegasi peninjau Mesir yang menghadiri sidang di Aljier itu, agar segera meninggalkan Al1azair dengan pesawat khusus. Dan sebagai tindakan balasan berikutnya, sejak awal pekan ini, Mesir menutup kantor perwakilan PLO di Kairo. Menurut Menlu Ahmed Esmat Abdel-Maguid, keputusan tersebut dikeluarkan setelah sidang kabinet terbatas yang dipimpin sendiri oleh Presiden Husni Mubarak. Pers Mesir ikut secara keras mengecam sikap PLO. Dalam kolom yang ditulis oleh pemimpin redaksinya, mingguan Akhbar el Youm menulis, "Apa pun keputusan PLO, Mesir sulit memaafkannya kali ini." Bahkan majalah tertua di Mesir, El Musawwar dengan sinis mempertanyakan, "Betapa mahalnya nilai persatuan jika harus merobek-robek mosaik yang hampir mendekati tujuan." Sementara itu, hubungan PLO-Maroko pun memburuk, tak lain karena PLO mengizinkan pimpinan kelompok gerilyawan separatis Polisario hadir dalam acara tersebut. Kembalinya kelompok garis keras ke pangkuan PLO bukan tidak membawa masalah lain. Konsesi yang diberikan Arafat kepada mereka mau tidak mau memperlemah gagasan Arafat. Menurut laporan pembantu TEMPO di Kairo yang memantau sidang PNC, sebagian besar agenda persidangan habis untuk membicarakan hubungan PLO-Mesir. Sebab, baik Habash dari kelompok Front Rakyat Pembebasan Palestina (PFLP) maupun Hawatmeh dari kelompok Front Demokratik untuk Pembebasan Palestina (DFLP) berkeinginan agar PLO menarik garis keras terhadap Mesir. Di pihak lain, kelompok moderat Fatah yang dipimpin Arafat, menginginkan sebaliknya. Setelah PLO ditendang dari Yordania (1970), Libanon (1982), kemudian Tunisia (1985), dan kini bermarkas di Baghdad, Arafat sungguh mengharapkan adanya persahabatan dengan Mesir - negara besar di kawasan Timur Tengah yang dianggapnya dapat memberikan tempat sandaran bagi cita-cita Tanah Air Palestina. Bukan mustahil pula persahabatan PLO-Mesir dapat dijadikan perisai untuk menghadapi Syria musuh bebuyutan Arafat -- yang selalu memberikan dukungan penuh terhadap kelompok-kelompok sempalan PLO. Juga terselip harapan agar Arafat dapat kembali ke Liga Arab dan berperan di sana. Tapi dalam posisi terpojok dengan kondisi tercerai-berai seperti sekarang, Arafat tampaknya tidak punya pilihan lain. Mungkin dalam upaya bersikap realistis, ia kini terpaksa menyisihkan Mesir, dengan imbalan berbagai kelompok radikal Palestina sebagian adalah konco-konco Syria - mengakhiri permusuhannya terhadap Arafat. Bergabungnya kembali mereka ke tubuh PLO juga mengakibatkan perombakan struktur kepemimpinan PLO. Pertama, roda kepemimpinan PLO akan dijalankan secara kolektif melalui "kabinet" yang beranggotakan 14 orang: tiga dari kelompok Fatah, lima dari kelompok-kelompok lainnya, dan enam mewakili kelompok independen. Tetapi rujuk PLO kali ini belum menjamin adanya persatuan kukuh yang tak tergoyahkan. Sebab, sedikitnya masih ada tiga kelompok radikal lainnya yang berada di luar PLo: Saiqa (pro-Syria), Komando Umum PFLP, dan kelompok Abu Nidal. Kendati anggotanya sedikit, ketiga kelompok tersebut tercatat sebagal dalang aksi-aksi teror di banyak tempat. Sementara itu, perlu dicatat bahwa penyelenaraan sidan kali ini diliputi suasana waswas. Apalagi setelah negara-negara Arab tidak bersedia menjamin keamanan sidang, terutama terhadap serangan Israel. Namun, jaminan keamanan akhirnya datang dari Moskow. Untuk itulah Soviet sekutu terpercaya Arafat -- mengirimkan armadanya di depan perairan Aljazair. Jasa Moskow rupanya tidak terbatas sampai di situ. Bahwa gembong-gembong radikal seperti Habash dan Hawatmeh bersedia menerima kepemimpinan Arafat, kabarnya, tak lain karena ada "tekanan" dari sana. Proses kristalisasi ini memang dimatangkan oleh Syadzly bin Jadid, yang konon diperlancar dari belakang layar oleh Muammar adhafi, Yaman Selatan, bahkan juga RRC. Sekalipun begitu, jalan menuju Tanah Air Palestina masih terentang panjang. Pertemuan kali ini seperti bisa diduga tidak menghasilkan terobosan baru untuk mengatasi kemacetan perjuangan Palestina. Namun, para pengamat beranggapan bahwa sesudahnya perjuangan PLO akan lebih mantap dengan leburnya beberapa kelompok sempalan. Ini menjadi penting, kata mereka, agar Palestina tidak menjadi Kurdistan kedua - daerah rebutan yang akhirnya terpecah di bawah Iran Irak, dan Turki. Karena itulah mereka menawarkan kartu baru: sebuah konperensi internasional yang diprakarsai oleh PBB dan dihadiri lima anggota tetap Dewan Keamanan. Dan PLO hadir bukan sebagai anggota delegasi Yordania. Tawaran ini ditolak mentah-mentah oleh PM Israel Yitzhak Shamir. Tetapi kantor berita Associated Press mengabarkan bahwa Menlu Shimon Peres malah mendukung gagasan tersebut. Tapi bagaimana sikap Israel nanti masih harus dijajaki. Yang pasti, sejak mula negara orang Yahudi itu tidak mengakui eksistensi PLO, dan tiap kali menandaskan tidak bersedia duduk satu meja dengan organisasi gerilyawan itu untuk membicarakan masalah Palestina. Sampai kini sikap Israel ini didukung penuh oleh AS. Karena itu pula masih tertutup jalan untuk satu penyelesaian secara damai. Prospek kian suram karena sidang di Aljir juga sudah menggariskan bahwa kalau maran konperensi internasional ditolak, alternatifnya cuma satu: perjuangan bersenja. James R. Lapian, Laporan Djafar Bushiri (Kairo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus