JANGAN-Jangan serbuan AS ke Libya cuma untuk menjajal senjata. Sebab, di luar segala retorik antiterorisme, serangan ini memang memberi kesempatan besar bagi AS untuk mencoba keunggulan teknologi militernya. Dan tanpa risiko pula. Dengan penduduk cuma 3,5 juta dan tenaga ahli yang sangat minimal, Libya tentu bukan tandingan negara adidaya macam AS. Sementara itu, segala senjata modern buatan Rusia yang dibeli Libya terasa sangat menggoda untuk dijajal kemampuannya. Dugaan ini bukan tanpa alasan. Pertempuran teknologi militer antara AS dan Libya, sebenarnya, sudah terjadi jauh sebelum serbuan 15 April silam itu. Adalah penyerahan 12 batere rudal SA-5 pada Libya, pertengahan 1985, yang mengawali perang elektronik ini. Sebab, rudal berjarak jangkau 250 km ini adalah andalan utama Rusia. Bagi AS, kehadiran rudal canggih ini memberikan tantangan baru. Sebab, dengan kemampuan mencapai ketinggian hampir 30 km, rudal berjulukan si "Gammon" ini menyebabkan AS tak dapat sembarangan mengirim pesawat untuk mengintip negara Qadhafi. Juga tak dapat mengirimkan pesawat tempur untuk menantang duel pilot Libya di daerah jangkauan Gammon seperti tahun 1981. Kesempatan bagi AS untuk mempelajari sistem penjejak Gammon: memancing dahulu peluncuran rudal itu, lalu merekam pulsa elektronik. Nah, tugas merekam sistem penjejak elektronik Gammon ini jatuh pada pesawat jenis EA-6B, yang memang dirancang khusus bagi pertempuran elektronik. Bila si EA-6B ini dapat merekam sinyal sang Gammon, berarti para ahli AS dapat merancang sistem elektronik untuk melumpuhkannya. Paling tidak akan memaksa pihak Rusia mengganti sistem penjejak SA-5-nya. Agaknya, dalam kerangka pemikiran seperti inilah para penyusun strategi AS mengatur siasat. Karena itu, pesawat AS lalu memancing agar rudal ini ditembakkan dengan terbang mondar-mandir di dalam wilayah tembak si Gammon. Taktik ini berhasil memancing Libya, 23 Maret lalu. Dalam tempo enam jam, lima buah Gammon dan beberapa SA-2 diluncurkan tanpa mengenai sasaran. Amerika lalu mempunyai alasan untuk membalas. Dua buah pesawat A-6 intruder dari kapal induk Amenca melepaskan rudal Harpoon ke arah kapal patroli cepat Libya yang mendekati armada VI AS di lepas pantai Teluk Sidra. Kapal Libya ini memang sial karena pesawat AS itu melepaskan Harpoon dari jarak di luar jangkauan meriamnya. Harpoon mempunyai jangkauan tembak 110 km, melesat 4 meter di atas permukaan laut dengan kecepatan sekitar 1.000 km per jam. Radar di hidung rudal ini akan mencari sasarannya secara otomatis tanpa perlu perintah dari pesawat peluncurnya. Alhasil, hulu ledak seberat 250 kg memporak-perandakan kapal itu, termasuk juga empat rudal Ottomat yang dibawanya - yang berjarak tembak 40 km dan tak sempat ditembakkan. Maklum, belum ada musuh yang berada dalam jangkauan. Memang salah satu ciri dari pertempuran modern adalah kemampuan menembak sasaran yang belum tampak di mata. Hal ini juga terjadi ketika dua buah pesawat jenis A-7 dari kapal induk Saratoga melesat dan meluncurkan rudal HARM ke arah radar penjejak SA-5 di Surt. Jangkauan rudal HARM (High Speed Anti-Radiation Missile) cuma 80 km sedangkan rudal Gammon dua kali lipatnya karena itu, kedua pesawat A-7 ini harus dibantu agar tak dijatuhkan musuh sebelum mampu menembakkan rudalnya. Tugas ini jatuh pada pesawat EA-6B yang mempunyai lima antena khusus di bagian bawah tubuhnya. Besar dugaan pesawat yang dijuluki proler ini mengirimkan sinyal palsu sementara rekannya - A-7 itu-menyerbu masuk. Sinyal palsu kiriman ini dapat membuat pemantau radar Libya menyangka pesawat EA-6B itu terdiri dari banyak pesawat atau bisa juga di layarnya malah terlihat gambar kacau seperti tv rusak. Kegiatan si prowler ini akan membuat operator radar Libya semakin memusatkan arah radarnya dan mengirim sinyal untuk mendapatkan informasi lebih baik. Sementara itu, A-7 yang menyerbu tadi agak diabaikan. Padahal, begitu jarak tembak sudah didapat, peswat A-7 inilah yang melepaskan rudal HARM. Dan rudal ini akan mencari sumber sinyal radar musuh lalu menjejaknya. Rudal berukuran 4,5 m dan berat 400 kg ini memang dirancang untuk menghancurkan instalasi radar penjejak rudal musuh. Hulu ledak seberat 23 kg yang dibawa HARM menjamin sasaran akan berantakan oleh ledakannya. Toh kenyataan tak selalu sebaik dalam teori. Pihak Rusia ternyata memasang tujuh buah jaringan radar. Karena itu, kerusakan sebuah radar segera dapat diatasi. Belakangan pihak AS mengakui, usaha mengacaukan jaringan radar Libya tak begitu berhasil. Namun, rudal HARM berhasil menghancurkan sebuah lagi radar SA-5 di Surt. Alhasil, selama penyerbuan 23 dan 24 Maret itu AS berhasil menenggelamkan dua kapal patroli Libya dan memancing peluncuran Gammon tanpa menderita kerugian. Kendati begitu, penyerbuan AS tak bisa dikatakan sukses 100 persen. Pasalnya, jaringan radar rudal antipesawat udara Libya kembali berfungsi penuh beberapa jam kemudian. Dan maksud menggertak Qadhafi pun tak kesampaian. Pemimpin Libya itu malah sesumbar untuk meningkatkan aksi teror terhadap AS sebagai pembalasan. Belakangan Reagan punya alasan baru untuk memberikan pukulan yang lebih telak: ledakan bom di disko La Belle, Berlin Barat, dua pekan lalu itu yang dituduhnya didalangi Libya. Pengalaman negeri adidaya ini di Vietnam menyebabkan para jenderal berpaling pada bom pintar (smart bomb). Masalahnya cuma: bom itu harus cukup kuat karena serangan hanya akan dilakukan sekali saja, sedangkan daya angkut pengebom yang ada di kapal induk armada VI AS dianggap kurang memadai. Pengebom terbesar di armada VI adalah pesawat A-6 yang daya angkutnya sekitar 8 ton saja, atau tiga buah bom pintar ukuran 900 kg, serta bahan bakar. Jadi, jika ingin menyerang lima sasaran sekaligus, diperlukan A-6 yang cukup banyak. Padahal, semakin banyak pesawat yang digunakan, semakin besar kemungkinan ditembak jatuh. Wajar kalau pilihan kemudian jatuh ke pengebom taktis F-111. Selain mempunyai daya angkut 14 ton, pesawat ini dikenal mempunyai kelebihan terbang rendah dalam kecepatan tinggi dan sangat akurat sistem navigasinya. Kemampuan ini, ditambah dengan kebolehannya untuk beroperasi dalam scgala cuaca, menyebabkan F- 111 sering dipilih sebagai penunjuk arah. Dan yang paling penting pesawat ini juga dilengkapi dengan bom pintar sebagai persenjataannya. Bom pintar adalah bom biasa yang dilengkapi dengan sistem pengendali. Berbeda dengan rudal, bom ini tidak mempunyai sistem penggerak sendiri. Secara sederhana bom ini bekerja seperti pesawat layang. Jadi, alat pengendali mengarahkan bom ini dengan mengatur posisi sirip-sirip bom. Oleh karena itu, pesawat peluncur dituntut melepaskan bom ini pada posisi tertentu agar sasaran dapat dicapai dengan tepat. Untuk mengarahkan bom pintar dapat digunakan tiga macam sensor: elektro optis (TV), sinar laser, ataupun sinar inframerah. Sensor ini diletakkan di moncong bom dan melalui komputer, memberi perintah untuk mengatur posisi sirip. Bila menggunakan sensol elektro optik, sebuah kamera TV mini diletakkan di moncong bom. Hasil peliputan kamera akan dipancarkan ke peralatan pengendali yang digantung di sayap dan dihubungkan ke kokpit kopilot. Dengan melihat gambar target di layar TV-nya, kopilot ini dapat mengarahkan bom tepat ke arah sasarannya. Prinsip yang sama juga berlaku jika yang digunakan adalah sensor inframerah. Bedanya hanya pada penggunaan. Elektro optik untuk cuaca terang, sedangkan inframerah untuk cuaca gelap. Jika sistem laser yang digunakan, prinsipnya agak berbeda. Sasaran yang dituju harus ditembak dahulu dengan sinar laser, lalu bom pintar akan mengarahkan dirinya ke sasaran itu secara otomatis. Penembak sinar laser itu dapat dilakukan oleh pesawat khusus, pesawat pengangkut bom pintar itu sendiri, atau dilakukan dari darat. Untuk menjamin sasaran tetap terkena laser hingga bom mengenainya, sistem penembak laser diatur secara elektronik. Artinya, bila penembakan laser itu dilakukan oleh sebuah pesawat, pengarahan dilakukan sedemikian rupa hingga berkas laser "terkunci" pada sasaran walau pesawatnya melakukan olah gerak. Tanpa kemampuan ini, pesawa penembak laser akan jadi sasaran empuk senjata pertahanan udara musuh. Kementerian Pertahanan AS menyatakan bom pintar yang dijatuhkan pekan lalu itu memakai sensor laser. Cuma belum jelas siapa penembak lasernya. Penyusup di darat atau kapal terbang itu sendiri. Alhasil, dengan dipersenjatai bom berharga 160 juta rupiah sebuah inilah 24 pesawat F-111 berangkat dari pangkalannya di Inggris, 14 April lalu. Lima buah F-111 lainnya, yang dirancang khusus untuk mengacaukan sistem elektronik musuh, bergabung dari pangkalan lain. Lalu, dalam perjalanan sejauh 5.000 km ke Tripoli kelompok pengebom ini melakukan pengisian bahan bakar di udara dari 28 pesawat tanker yang tinggal landas 23 menit sebelumnya. Untuk menghindari radar, pesawat terbang rendah, sekitar 100 meter di atas permukaan dengan kecepatan 925 km per jam. Sebelas di antaranya ternyata harus pulang kembali ke pangkalan karena peralatannya tidak berfungsi dengan sempurna. Enam setengah jam setelah tinggal landas, penyerangan pun dimulai. Mula-mula lima pesawat EF-111 beraksi melakukan pengacauan sistem elektronik Libya. Di tengah-tengah kerancuan pada sistem radar Libya ini, enam pesawat FA-18 dan enam pesawat A-7 dari kapal induk Coral Sea dan America menghamburkan sekitar 50 rudal HARM yang berharga 300 juta rupiah sebuahnya itu. Rudal-rudal ini pun melesat ke arah semua radar Libya yang sedang beroperasi. Dentuman dan kilat ledakan menyusul beberapa detik kemudian, membangunkan rakyat Libya yang lelap pada pukul 2 dinihari waktu setempat. Dua belas pesawat A-6 lalu menyerbu pangkalan udara Benina dan barak militer Benghazi yang letaknya berdekatan. Tapi pasukan pertahanan udra Libya - yang sudah beberapa bulan ini bersiaga terus-menerus - segera beraksi. Puluhan rudal buatan Rusia dan Prancis berdesingan di tengah rentetan meriam penangkis serangan udara. "Seperti kembang api di pasar malam saja," komentar seorang pilot AS yang ikut dalam penyerbuan itu. Sambutan serupa juga dialami delapan buah F-111 yang mengebom barak militer Al-Aziziya dan kamp latihan Sidi Bilal di Tripoli. Juga lima buah F-111 lainnya yang menghajar bandar udara militer ibu kota Libya itu. Sebuah F-111 mengalami nasib sial karena serentetan peluru merobek sayapnya. Pesawat itu pun berbalik 170 derajat dan seorang awaknya sempat berteriak "Kita terkena" sebelum meledak menjadi gumpalan api. Bom pintar yang dibawanya pun terlepas dan diduga jatuh meledak di sebuah permukiman. Pesawat lainnya, tampaknya, cukup beruntung. Selain bom pintar yang dilepas ke sasaran yang sudah ditetapkan, mereka juga menjatuhkan beberapa jenis bom khusus lainnya. Kekhususan itu, antara lain, berupa semacam payung di buntut bom yang memperlambat jatuhnya bom. Hal ini diperlukan karena serangan dilakukan dengan ketinggian di bawah 150 m. Jadi tanpa sistem perlambatan itu ada kekhawatiran ledakan bom mengenai pesawatnya sendiri. Apalagi ada di antara bom itu yang tidak meledak satu kali, melainkan memuntahkan ratusan granat kecil yang meledak kemudian. Sedangkan di daerah hanggar pesawat, bom yang dijatuhkan menebar lapisan bahan bakar dan gas yang kemudian meledak, membuat hanggar-hanggar yang terkena runtuh. Turut hancur beberapa pesawat MiG Libya dan helikopternya yang diparkir di sana. Tujuan serangan ke bandar udara itu memang untuk memastikan agar tak ada pesawat pemburu Libya yang mengejar para pengebom ini. Sebab, salah satu kelemahan F-111 adalah dalam duel udara. Pesawat ini mengandalkan F-14 dan FA-18 dari AL-AS untuk berlindung dari pemburu musuh. Dalam serangan yang memakan waktu kurang dari 15 menit ini tak satu pun pesawat Libya yang menyambut. Dan, kecuali sebuah F-111 yang jatuh itu, semua pesawat meninggalkan wilayah udara Libya dengan selamat. Berhasilkah mereka? Dari segi uji coba kecanggihan teknologi perang, mungkin perlu waktu untuk mengkajinya. Namun, cukup banyak pihak yang meragukan efektivitas serbuan ini. AS telah menggunakan dua kapal induk, 17 kapal perang, 15S pesawat tempur, dan 14.700 pasukan hanya untuk menghantam lima sasaran di Libya. "Itu menunjukkan ketidakmampuan AS untuk menggunakan operasi satuan khusus terbatas, atau sarana alternatif lain," kata Barry M. Blechman dari Pusat Pengkajian Masalah Strategis dan Internasional Georgetown. Selain itu banyaknya wanita dan anak-anak yang menjadi korban, tampaknya, juga memudarkan keberhasilan serbuan ini. Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini