DI daftar tamu Hotel Indonesia Sheraton, penghuni kamar suite
No. 691/693 hanya tercantum nama Ebia. Padahal lengkapnya
semustinya Niwea Ebia Olewale, Menteri Luar Negeri Papua Niugini
(PNG). Selama di Jakarta sampai pertengahan minggu ini, dia tak
banyak memberikan keterangan pers. Komunike bersama RI-PNG,
menurut rencana baru akan dikeluarkan di Jayapura setelah Menlu
PNG meninjau Timor Timur, dan pulang lewat "pintu belakang."
Seluruh suasana kunjungannya serba bernada rendah. Berbeda
dengan nada keras yang dikeluarkannya di Port Moresby 1 Mei
lalu, ketika Olewale mengumumkan permintaan pemerintahnya agar
seorang diplomat Indonesia, Siregar, ditarik dari sana, di
Jakarta soal itu hampir tak terdengar lagi. Bahkan selama
percakapannya selama sejam dengan Presiden Suharto, "soal itu
tak disinggung sama sekali," ujar Menlu Mochtar Kusumaatmadja.
"Kami sudah mencabut kembali soal itu ketika berjumpa dengan
Menlu anda," kata Olewale kepada wartawan TEMPO G.Y. Adicondro
di H.I. Senin lalu.
Menlu PNG itu juga membawa kabar baik bahwa sikap abstain PNG
dalam soal Timor Timur akan ditinggalkan. Kepada pers Olewale
mengulangi sikap pemerintahnya, bahwa "masalah Timor Timur
adalah masalah dalam negeri Indonesia." Berbeda dengan Australia
yang secara resmi sudah mengakui integrasi Tim-Tim, PNG memang
belum pernah menyatakan opini mereka. Tapi Menlu PNG itu
menjelaskan, negaranya berprinsip harus melihat dulu daerah yang
dipermasalahkan sebelum menyatakan sikap. Dalam hubungan itulah
ia akan menunjungi Timor Timur Jumat akhir pekan ini. Dengan
demikian, Ebia Olewale adalah Menlu negara tetangga RI pertama
yang akan berkunjung ke daerah itu.
Basis Gerilya
Sesudah semalam di Dili, Olewale akan meneruskan penerbangan
dengan pesawat carteran Hankam ke Jayapura. Dengan demikian,
juga dialah pejabat tinggi PNG pertama yang akan mengunjungi
daerah tetangganya yang terdekat -- setelah Papua Niugini
merdeka dari Australia. Irian Jaya, selama tahun-tahun terakhir
ini banyak mendapat sorotan di Port Moresby. Antara lain karena
arus pengungsian dari Irian Jaya ke PNG pertengahan tahun lalu.
Juga kampanye 'OPM', yang menurut pemberitaan pers Australia dan
PNG ada menggunakan wilayah PNG -- khususnya di propinsi Sepik
Barat yang bertetangga dengan kabupaten Jayapura -- sebagai
basis gerilya menghadapi Indonesia.
Sementara itu, pelarian Irian Jaya yang sudah jadi warga negara
PNG melalui proses naturalisasi, ada juga diberitakan duduk
dalam 'pemerintah pengasingan OPM' di sana. Ini sesuai dengan
sumber intelijen pemerintah RI, yang mensinyalir bahwa otak di
balik pemberontakan itu ada yang berdiam disebelah timur batas
sana. Kiranya hal itulah yang menggugah KBRI di Port Moresby 28
Mei lalu untuk meminta ketegasan pemerintah PNG agar tak
menampung orang-orang dengan "loyalitas ganda" di sana (TEMPO
13 Mei).
Penanganan anggota 'OPM' yang menyeberang ke PNG. "hanyalah
masalah pengganggu kecil dalam hubungan antara RI dan PNG,"
begitu Menlu Mochtar dikutip wartawan selepas pembicaraan
Olewale dengan Presiden Soeharto di Bina Graha. Apakah itu
berarti, Port Moresby akan memulangkan pelarian Irian Jaya yang
ada di sana ke Indonesia? "Bukan yang sudah warga negara PNG,
tapi hanya mereka yang tergolong permissive resident (penghuni
yang diizinkan)," sahut Menlu Olewale kepada TEMPO Mereka itu,
kabarnya ada 500 orang di sana. Kalau terbukti ikut merusak
hubungan PNG dengan RI, "mereka bisa dipulangkan ke Indonesia."
Soal kamp 'OPM' yang menurut pers Australia ada di wilayah PNG,
menurut Olewale "tak betul". "Para pemimpin OPM pun sudah kami
beri ultimatum jangan beroperasi dari wilayah kami," tambahnya
lagi. Tapi untuk menyelenggarakan patroli perbatasan bersama
secara intensif, seperti Indonesia dan Malaysia di batas
Kal-Bar/Sarawak, PNG agaknya tak berminat. Alasan Olewale:
"Angkatan bersenjata kami terlalu sedikit, dan tenaga mereka
diperlukan untuk keperluan lain yang lebih vital bagi kami."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini