Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Caty, bocah berusia enam tahun mengatakan kepada ibunya bahwa dia tidak ingin mati oleh awan tebal dan gelap menyelimuti desa mereka El Porvenir satu minggu yang lalu, ketika gunung Fuego di Guatemala meletus.
Caty, orang tua dan adik lelaki berusia empat tahun, Anthony, termasuk di antara 12.000 lebih warga Guatemala yang dievakuasi setelah letusan gunung berapi Fuego, yang menyebabkan sedikitnya 110 orang tewas.
Baca: Situasi Gunung Fuego Guatemala sangat Kritis, Bisa Meletus lagi
"Dia menangis dan memeluk sepupunya sementara Anthony hanya menatap saya," Mirza Toma, ibu Caty, seperti dilaporkan Aljazeera, 11 Juni 2018.
"Dia terlalu muda untuk mengerti apa yang sedang terjadi," kata Toma yang berusia 28 tahun.
Toma dan anak-anaknya sekarang tidur di kasur busa di tempat penampungan yang sempit di kota San Juan Alotenango, di mana mereka harus menunggu dalam antrean panjang untuk menerima makanan dan menggunakan toilet.
Baca: Gunung Fuego di Guatemala: Kisah memilukan desa yang terhapus dari peta
Deretan kantung mayat yang berisikan jenazah korban letusan gunung berapi Fuego, di gudang cinderblock yang diubah menjadi kamar mayat sementara, di Escuintla, Guatemala, Jumat, 8 Juni 2018. Bencana ini dianggap sebagai letusan gunung berapi paling kejam di Guatemala dalam lebih dari satu abad. (AP Photo/Sonia Perez)
Sementara itu, saudara perempuannya mondar-mandir di kamar mayat mencari anak perempuan mereka yang hilang, yang berusia 6 dan 14 tahun. Mereka terakhir terlihat berlari di jalan dan di antara 197 orang yang masih hilang.
"Ketika dia melihat saya menangis, saya mencoba untuk menenangkan diri dan menjadi kuat untuknya," kata Toma, matanya berkaca-kaca. "'Sepupumu ada di surga,' kataku padanya."
Baca: Gunung Fuego di Guatemala meletus lagi, evakuasi digencarkan
Sementara Caty bermain dengan stetoskop mainan, dia mengatakan kucingnya ditinggalkan saat menyelamatkan diri dan dia takut para penjarah akan mencurinya.
Psikolog dan tim kesehatan lainnya memperingatkan bahwa anak-anak, seperti Caty, adalah korban yang paling rentan dari letusan gunung Fuego, Guatemala.
Petugas penyelamat mencari warga yang hilang di bawah puing-puing rumah yang hancur akibat tertimbun abu vulkanik dari letusan Gunung Fuego, di Escuintla, Guatemala, Selasa, 5 Juni 2018. (AP Photo/Rodrigo Abd)
Sehari setelah letusan, para petugas SAR merasa getir ketika menemukan tubuh enam bocah yang hangus terbakar di atas tempat tidur, di desa San Miguel Los Lotes, yang sepenuhnya terkubur oleh materi vulkanik.
Operasi penyelamatan Rabu 6 Juni lalu memberi harapan petugas setelah Esmeralda Lopez yang berusia 6 bulan, yang dijuluki oleh media lokal sebagai "anak ajaib", ditarik keluar dari reruntuhan, hidup dan sehat, tanpa goresan.
Pada hari yang sama, enam anak dengan luka bakar parah, berusia satu setengah hingga 16 tahun, dibawa ke Rumah Sakit Anak Shriners, di Galveston, Texas, Amerika Serikat, sebagai bagian dari upaya bantuan pemerintah Amerika Serikat.
Petugas penyelamat berhasil menemukan jenazah warga yang tertimbun abu vulkanik dari letusan Gunung Fuego, di Escuintla, Guatemala, Selasa, 5 Juni 2018. Gunung Fuego di wilayah Escuintla meletus pada Minggu, 3 Juni 2018. (AP Photo/Rodrigo Abd)
Edwin Bravo yang berusia delapan tahun, meninggal akibat luka parah di Rumah Sakit San Juan de Dios, di Kota Guatemala, malam sebelumnya.
Psikolog anak Leonel Dubon, menjelaskan bahwa anak-anak telah mengalami trauma karena kehilangan orang tua dan saudara kandung, hewan peliharaan dan harta benda mereka, serta lingkungan mereka, termasuk rumah dan sekolah mereka.
Baca: Gunung Api Guatemala Meletus, 200 Hilang dan 75 Tewas
Dubon adalah direktur Refugio de la Ninez, sebuah LSM perlindungan anak yang telah menempatkan 32 psikolog anak spesialisasi dalam trauma, untuk memberikan layanan konseling bagi korban muda dari tragedi itu, di 21 tempat penampungan di mana 4.175 orang yang selamat ditampung.
Beberapa anak menderita mimpi buruk, sementara yang lain diam dan menyendiri. Relawan telah mendorong mereka untuk menggambar untuk membantu mereka menghilangkan trauma. Ada yang menggambar lava dan batu, sementara yang lain menggambar pohon mati.
"Kami perlu membantu mereka sekarang untuk mencegah timbulnya gangguan stres pasca-trauma (PTSD)," kata Dubon.
Tujuh korban letusan Gunung Fuego, diantarkan ke peristirahatan yang terakhir di San Juan Alotenango, Guatemala, Senin, 4 Juni 2018. Letusan gunung ini memuntahkan asap besar hitam ke udara dan lahar panas sepanjang 8 kilometer pada Ahad, 3 Juni 2018. AP/Luis Soto
Joseline Xeron adalah ibu muda lainnya yang juga dievakuasi dari El Porvenir dan tinggal di penampungan lain di San Juan Alotenango, Guatemala. Suaminya kehilangan sembilan anggota keluarganya selama letusan.
Dia khawatir karena bayinya yang berusia tiga bulan sakit dan putrinya yang berusia lima tahun menolak untuk makan.
Foto: Aksi Petugas Penyelamat saat Erupsi Gunung Fuego di Guatemala
"Yang kami dapatkan hanyalah protemas (suplemen berbahan kedelai) dan dia tidak suka itu. Saya juga sakit diare," kata Xeron.
Xeron mengeluh bahwa pengungsi hanya diperbolehkan meninggalkan tempat penampungan antara jam 10 dan 11 pagi waktu setempat dan tidak diizinkan untuk membeli makanan mereka sendiri. "Jika kami belum kembali pukul 11, kami tidak diizinkan masuk. Kami datang ke sini mencari bantuan dan berakhir seperti di penjara," katanya.
Petugas penyelamat membawa seorang anak kecil saat erupsi Gunung Fuego di El Rodeo, Guatemala, 3 Juni 2018. REUTERS/Fabricio Alonzo
Sekelompok mahasiswa juga menghibur anak-anak dengan membantu mereka memecahkan pinata yang berbentuk seperti burung ungu dengan kaki oranye. Mereka bersorak gembira ketika sebuah lubang muncul di sisinya dan manisan mengalir keluar.
"Mereka tersenyum sekarang, tetapi begitu kita meninggalkan mereka, mereka kembali ke kenyataan. Mereka merindukan rumah mereka, mainan mereka, mereka berada dalam ruang sempit dan melihat begitu banyak wajah baru yang membuat mereka sedih," kata Joseline Perez, salah satu relawan.
Ketika Caty meletakkan stetoskop merah mudanya, dia berkata dengan sedih, "Kami lebih bahagia di El Porvenir, Guatemala. Saya dulu suka ayunan. Sekarang, hilang," ujar Caty, anak Guatemala dari sekian yang selamat dalam letusan gunung Fuego.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini