Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Trio Penantang Beijing

Sembilan aktivis prodemokrasi yang memimpin unjuk rasa Gerakan Payung dijatuhi hukuman penjara hingga kerja sosial. Digawangi dua dosen dan seorang pendeta.

18 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih dari seribu orang memadati halaman luar Rumah Tahanan Lai Chi Kok setelah pengadilan distrik menjatuhkan vonis kepada sembilan aktivis Revolusi Payung 2014, Kamis, 16 Mei lalu. Sambil menyalakan lilin, mereka memberikan dukungan kepada empat aktivis yang malam itu langsung dipenjara. Hukuman terhadap lima aktivis lain ditangguhkan atau berupa kerja sosial.

Joshua Wong Chi-fung, remaja yang menjadi bintang Revolusi Payung, juga masuk bui lagi meski sempat dibebaskan dengan uang jaminan karena meminta banding atas vonis tiga bulan penjara yang dijatuhkan hakim. Pengadilan banding meringankan hukumannya menjadi dua bulan penjara.

Peristiwa bersejarah terjadi sembilan hari sebelumnya, ketika tiga pemimpin Gerakan Payung divonis penjara hing-ga 16 bulan setelah bertahun-ta-hun men-jalani sidang. Mereka adalah Chan Kin-man, Benny Tai Yiu-ting, dan pen-deta Chu Yiu-ming. Mereka dihukum setelah dinyatakan ber-salah atas tu-duhan mengganggu ke-ter-tiban publik, meng-hasut masyarakat, dan melakukan konspirasi. Tapi ketiganya menolak vonis itu dan meminta banding.

Trio pembangkang itu adalah bagian dari sembilan aktivis prodemokrasi yang dituntut karena peran mereka dalam unjuk rasa besar pada 2014, yang dikenal sebagai Revolusi Payung. Saat itu, puluhan ribu orang turun ke jalan untuk menyerukan pemilihan umum bebas di Hong Kong dan menentang intervensi Beijing.

Daisy Chan, peserta aksi yang telah lama mendukung Revolusi Payung, ter-lihat di antara kerumunan massa yang ke--banyakan berkaus kuning dan mem-bawa payung kuning di depan Lai Chi Kok. “Tidak ada makan siang gratis untuk de-mokrasi. Pemerintah Hong Kong dan Partai Komunis Cina tidak akan berhenti menindas gerakan demokrasi,” katanya.

Pendeta Chu, 75 tahun, yang hu-ku-man-nya ditangguhkan selama dua tahun, me--nya-takan tuduhan yang dialamatkan ke-pa-danya tidak masuk akal. Vonis terhadap Chu dan aktivis lain turut dikecam oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian Hong Kong. “Ini kemunduran besar bagi ge-rak-an demokrasi di Hong Kong,” begitu per-nyataan Komisi.

Hakim Johnny Chan mengungkapkan, ia memberi Chu keringanan hukuman ka-rena pendeta itu telah sepuh serta men-derita penyakit jantung. Selain itu, hakim menimbang kontribusi pria berambut putih tersebut kepada ma-syarakat Hong Kong selama tiga dasawarsa menjadi pendeta.

Chu salah satu figur penting dalam Re-volusi Payung. Dia bersama Chan dan Tai menggagas gerakan “Duduki Central de-ngan Cinta dan Damai” pada 2013. Ge-rakan ini memobilisasi pengunjuk rasa me-lakukan aksi duduk massal untuk mem-blo-kade Distrik Central, pusat ekonomi dan bisnis Hong Kong, sebagai protes terhadap Beijing.

Gerakan “Duduki Central” merupakan cikal bakal Revolusi Payung, yang men-dunia berkat payung kuning dan aktivis pelajar Joshua Wong sebagai simbolnya. Aksi protes yang melibatkan ratusan ribu orang itu berlangsung selama 79 hari sejak akhir September 2014. Akibat “pen-dudukan” tersebut, nyaris separuh bagian kota berpenduduk 7 juta jiwa itu lumpuh.

Gerakan sipil yang damai ini buah pikiran Tai, 54 tahun, profesor hukum da-ri University of Hong Kong. Dosen dan ak-tivis prodemokrasi ini menulis artikel Pem-bang-kangan sipil adalah senjata paling ampuh bagi gerakan demokrasi Hong Kong di sebuah koran pada Januari 2013.

Sebulan kemudian, Tai mengajak pendeta Chu dan Chan Kin-man, profesor sosiologi dari Chinese University of Hong Kong, menggawangi kampanye pembangkangan sipil. “Saya ketika itu terkejut. Saya telah berusia lanjut dan tubuh saya sakit, ba-gaimana saya bisa membantunya,” ujar Chu seperti diberitakan Hong Kong Free Press.

Mendapat ajakan Tai, Chu segera me-nelepon sahabatnya, Chan, yang tengah berada di Paris, Prancis, untuk meminta nasihat. Chu makin tercengang saat te-man baiknya itu malah menyambut antusias. “Anda teruskan dan katakan ‘ya’. Kita akan membicarakannya ketika saya kembali ke Hong Kong,” kata Chu menirukan jawaban Chan. Pada 27 Maret 2013, di bawah kayu salib di sebuah ge-reja, mereka mendeklarasikan gerakan pem-bangkangan sipil tanpa kekerasan.

Tai menjelaskan, gerakan itu lahir karena pemerintah Cina telah menindas dan menyensor politik di Hong Kong. Saat itu Beijing mencampuri urusan pemilihan kepala eksekutif Hong Kong dengan meng-usulkan seleksi ketat yang akan membatasi jumlah kandidat menjadi dua atau tiga yang disetujui komite pencalonan yang beranggotakan 1.200 orang.

Menurut Tai, Beijing telah melanggar janjinya. Dulu, ketika menerima pe-nye-rahan kembali Hong Kong dari Inggris, Cina setuju memerintah negeri itu dengan prinsip “Satu Negara Dua Sistem”. Hong Kong bakal memiliki kebebasan ekonomi dan politik yang luas selama 50 tahun, kecuali dalam urusan luar negeri dan per-tahanan. Namun, 22 tahun kemudian, war-ga Hong Kong tidak punya banyak suara dalam memilih para pejabat publik dan Beijing terus membatasi kebebasan sipil lain.

Situasi sosial-politik di Hong Kong juga membuat Chan kehilangan harapan. Dia meng-habiskan lebih dari 15 tahun mem-perkuat masyarakat sipil di Cina da--ratan, terutama dengan organisasi nonpemerintah yang membantu para korban dan pekerja yang mengidap AIDS. Dari pengalamannya itu, Chan pernah ber-harap Hong Kong dan Cina kelak bisa mengembangkan masyarakat sipil ber-sama. “Sekarang kita membicarakan satu negara dengan satu setengah sistem. Tidak ada lagi dua sistem,” tutur pria 60 tahun ini seperti dikutip LA Times.

Perjalanan hidup pendeta Chu tak kalah berliku. Pria yang pernah memimpin Gereja Baptis Chai Wan ini punya rekam jejak panjang dalam gerakan prodemokrasi. Dia tidak asing dengan politik oposisi. Dalam 45 tahun terakhir, Chu telah mengadvokasi kaum miskin dan memperjuangkan de-mokrasi di Hong Kong baik sebagai pen-deta maupun petugas layanan sosial di gerejanya setelah pensiun.

Kedua orang tua Chu meninggal saat dia belia. Sejak kecil neneknya mengasuhnya di Taishan, Provinsi Guangdong, Cina. Chu muda menyaksikan kebrutalan kam--panye reformasi agraria, ketika para pe-jabat Cina mempermalukan dan bah-kan mengeksekusi pemilik tanah di de-pan publik. Saat reformasi itu memicu ke-kurangan pangan, Chu terpaksa memakan daun dan mencuri sayuran dari ladang tetangga.

Saat berusia 12 tahun, Chu kembali ke tempat kelahirannya di Hong Kong setelah neneknya meninggal. Dia bekerja serabutan, menjadi pembantu penjahit sampai tukang semir sepatu. Kemiskinan mem-buatnya hidup menggelandang di jalan dan pernah menjadi korban pe-mu-kul-an anggota geng Triad.

Nasibnya berubah saat seorang pe-rem-puan tua menawarinya pekerjaan di sekolah lokal. Seorang guru Kristen yang di-temuinya di sana menuntunnya un-tuk melayani di Gereja Baptis Chai Wan. Per-sing-gungan dengan gereja, ditambah ha-sratnya terhadap perubahan hidup, mem-buat Chu menganut Kristen. Sejak itu, dia mengabdikan hidupnya untuk masyarakat sampai menjadi pendeta.

Selama memimpin Gereja Baptis Chai Wan, Chu tidak hanya membimbing ke-hi-dupan rohani umatnya, tapi juga mem-bantu kehidupan sosial masyarakat umum. Dia bahkan mendukung para pem-bangkang Cina setelah tragedi pem-ban-taian di Lapangan Tiananmen di Beijing dengan membantu membawa sejumlah mahasiswa pengunjuk rasa ke tempat yang aman di Hong Kong pada 1989. “Kebebasan politik lebih penting daripada loyalitas kepada negara,” ucap Chu. “Hal itu meng-akui martabat manusia.”

Upaya Chu, Chan, dan Tai mem-per-juang-kan demokrasi boleh jadi gagal pada 2014. Tapi, sejak meletus Revolusi Payung, mereka telah memupuk sikap kritis war-ga Hong Kong. Masyarakat di sana, mi-sal-nya, tak lagi gentar memprotes saat pe-merintah mengusulkan undang-undang lagu kebangsaan baru yang mengancam siapa saja yang menghina lagu kebangsaan Cina hingga tiga tahun penjara. Puluhan ribu pemrotes juga kembali turun ke jalan setelah pemerintah mengusulkan un-dang-undang ekstradisi yang akan me-mungkinkan Beijing mengekstradisi warga Hong Kong ke Cina daratan untuk diadili.

MAHARDIKA SATRIA HADI (HONG KONG FREE PRESS, LA TIMES, AL JAZEERA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus