Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Debussy, Sari Oneng, dan Impresionisme

Pertemuan komposer Debussy dengan gamelan lebih dari seabad lalu dirayakan di Aula Simfonia Jakarta. Menghadirkan pertunjukan gamelan Sari Oneng, yang pernah disaksikan Debussy di Paris.

18 Mei 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUNYI gamelan Sunda tua itu masih jernih. Para penabuh kelompok Dangiang Kutamaya dari Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang, Jawa Barat, memainkan lagu Wani Wani karya Pangeran Koesoema Dinata dari Sumedang (1834-1882) di Aula Simfonia Jakarta, Kemayoran. Imajinasi penonton yang memadati aula konser yang biasanya mementaskan orkestra musik klasik barat tersebut seperti digiring ke masa lampau.

Seratus tiga puluh tahun silam, berte-pat-an dengan upacara peresmian Menara Eiffel, gamelan itu dimainkan dalam Expo-sition Universelle di Paris. Dalam acara pada 5 Mei-31 Oktober 1889 itu, Hindia Belanda menghadirkan paviliun Le Village Javanais atau Kampung Jawa. Belanda mem-promosikan teh dari perkebunan Para-kansalak, Sukabumi, Jawa Barat. Para petani turut diboyong ke Paris. Mere-ka memainkan gamelan Sunda milik perke-bunan yang diberi nama Sari Oneng. Pertunjukan diiringi empat penari perem-puan remaja dari Wonogiri, Jawa Tengah.

“Saat itu, setiap sore Debussy, yang baru berumur 27 tahun, bertandang ke stan Jawa. Dia terkesima karena belum pernah mendengarkan jenis musik yang mengalir seperti gamelan. Dia sampai berulang kali datang ke paviliun Kampung Jawa. Pada saat itu juga, Maurice Ravel, yang baru berumur 13 tahun, juga menonton pentas gamelan Sari Oneng. Keduanya kemudian dikenal sebagai tokoh impresionisme da-lam musik klasik Barat,” kata Stephen Tong, konduktor dan pendiri Aula Simfonia.

Istilah impresionisme diambil dari gerak-an seni rupa. Pelukis di Prancis seperti Paul Cezanne, Edgar Degas, Claude Monet, dan Auguste Renoir pada 1874 menentang aliran realisme dan naturalisme, yang cenderung memotret atau memfotokopi realitas. Me-reka kemudian menampilkan lukisan-lu-kis-an yang lebih menonjolkan kesan atas realitas. Impresi sugestif ditekankan.

Akan halnya Claude Debussy sangat ter-pukau oleh resonansi, warna nada, ketuk-an, serta melodi dalam gamelan yang menya-tu dan mengalir utuh. Keseluruhan harmoni permainan gamelan adalah inti dari musik itu, bukan permainan individual yang menonjolkan kekuatan melodi-melodi tertentu. Meski amat mengagumi gamelan, Debussy tak lantas menirunya. Ia hanya menyerap intisarinya.

Musikolog Dieter Mack, yang juga peneliti musik Indonesia, pernah menyatakan bah-wa sesungguhnya pengaruh gamelan pada Debussy hanyalah mitos. Memang benar Debussy sangat mengagumi gamelan, tapi kekaguman itu harus diartikan lain. Menurut Mack, sejatinya tangga nada pen-tatonik sebagaimana tata laras gamelan juga dikenal dalam sejarah musik Barat. Hanya, memang interval pentatonik dalam khazanah musik Gregorian, misalnya, sa-ngat distandardisasi. Sedangkan nada ga-melan sangat variatif, jauh lebih kaya dan rinci.

Sabtu malam, 11 Mei lalu, itu, terlepas dari apakah pengaruh gamelan pada Debussy mitos atau tidak, silih berganti disajikan komposisi Sunda tradisional dan komposisi Debussy. Mula-mula Dedy Hernawan mem-bawakan solo lagu seruling bambu Kentar Cisaat dengan takzim. Awalnya lirih, lagu perlahan bergegas kencang. Sesekali leng-kingnya seperti menyimpan kalut yang tak sudah-sudah. Nomor ini kemudian “dibandingkan” dengan permainan flute solo Marini Widyastari, yang selama tiga menit menerjemahkan komposisi Syrinx Debussy. Syrinx satu-satunya karya flute solo komposer Prancis tersebut. Aranse-men lagu itu digarap Debussy pada 1913 untuk mengisi salah satu babak dalam drama Psyché karya Gabriel Mourey.

Selanjutnya, Tembang Jemplang Cida-dap, Muara Beres, dan Kaleran dengan instru-men seruling, rebab, siter, dan kecapi “didampingkan” dengan karya De-bussy,  Sonate Pour Trio, yang dimainkan menggunakan flute, biola, dan harpa. Lalu lagu Sunda Bolebat dengan sinden, kecapi, dan rebab disusul karya Debussy, Beau Soir.

Dan, yang ditunggu-tunggu, para niyaga Sari Oneng menyuguhkan Wani Wani dan pianis Vincent Wiguna memainkan Pagodas milik Debussy. Mendengarkan suara Sari Oneng malam itu, kita bisa mem-bayangkan bagaimana Debussy menyimak bunyi kenong serta dengung bonang yang ditingkapi kendang bergerak lambat bagaikan aliran air sungai yang tenang. Ingatan tentang musik mengalir pelan se-perti tak diburu waktu itu yang mungkin menancap dalam perasaan Debussy saat menyusun Pagodas.

Kendati uzur, set gamelan Sari Oneng masih sanggup memunculkan aura. Ga-melan berbahan perunggu itu dibuat oleh perajin di Sumedang pada 1825 atas pesanan Adriaan Walrafen Holle, adminis-trator perkebunan teh Parakan-salak. Tapi ancak besi atau tatakan gamelan diper-kira-kan buatan perajin Thailand. Pada per-tengahan tembang, empat penari belia muncul. Keempatnya mengenakan kain jarit cokelat keemasan, hiasan kepala, dan sampur merah-kuning yang mencolok. Kostum ini, sebagaimana bisa kita saksikan pada foto-foto lama pentas 130 tahun silam, mirip dengan yang dikenakan penari aslinya.

Puncaknya adalah penampilan Jakarta Simfonia Orchestra dan Jakarta Oratorio Society yang dikonduktori dirigen asal Belgia, Gabriel Laufer, membawakan no-mor terkenal Debussy, Nocturnes, dan karya Maurice Ravel, Laideronnette, im-peratrice des Pagodes. Bagian pertama dan ketiga, Nocturene: Nuages (Arak-arakan Awan) dan Sirénes (Paduan-Suara Putri-putri Duyung), bergerak lambat bagaikan tari bedaya yang bebas dari tekanan waktu. Komposisi Nocturnes disebut pengamat sebagai karya Debussy yang mampu melepaskan diri dari  cengkeraman dan kung-kungan wawasan estetik Richard Wagner, komposer musik romantik Jerman yang karyanya “memonopoli” kuping Eropa pada abad ke-19.

Jakarta Simfonia Orchestra di bawah arahan konduktor Gabriel Laufer, dalam Impressions Universelles, di Aula Simfonia, Jakart, 11 Mei 2019. Dokumentas Aula Simfonia

Perkebunan Parakansalak 130 tahun silam sering mementaskan pertunjukan ga-melan di luar negeri untuk mengiringi stan promosinya. Peneliti Dangiang Kuta-maya, M. Ikhsan, menyebutkan saat itu perkebunan memiliki enam set gamelan. Oleh Adriaan W. Holle, semuanya dinamai Sari Oneng dan pernah dikirim ke luar nege-ri. Misalnya ke pameran teh, kopi, dan kakao World Columbian Exposition di Chicago, Amerika Serikat, pada 1893. Dari pengembaraan enam set Sari Oneng itu, hanya satu yang kembali ke Sukabumi, yaitu yang permainannya didengarkan De--bussy.

Sesungguhnya, saat peresmian Menara Eiffel di Paris itu, ada dua set Sari Oneng yang dikirim perkebunan. Satu set diberi-kan kepada museum musik Prancis, Con-ser-vatoire de Musique (kemudian men-jadi Musée de l’Homme). Adapun Sari Oneng yang dijumpai Debussy kemudian berkelana selama dua tahun di Eropa sebe-lum bisa pulang kampung. Gong besarnya sempat tertinggal di Belanda, yang ke-mudian dikembalikan kepada keluarga Soeria Danoe Ningrat pada April 1989.

Kini sehari-hari Sari Oneng itu disimpan di Gedung Gamelan, Museum Prabu Geusan Ulun. Namun, dari 18 instrumen game-lan, hanya 12 yang bisa diangkut ke Aula Simfonia. “Yang lain sudah tidak prima,” kata M. Ikhsan. Meski tidak leng-kap, toh, saat ditabuh, gamelan itu tetap me-mancarkan auranya. “Dilihat dari umur-nya, suara Sari Oneng ini masih sangat eksotis,” begitu komentar Gabriel Laufer.

Sari Oneng berarti kasih sayang atau sari cinta. Meski bukan maestro atau empu keraton yang memainkannya, melainkan para petani sederhana perkebunan Suka-bumi—dan pementasannya hanya bertu-juan memberikan suasana dalam acara promosi teh hasil perkebunan jajahan Belanda—Debussy kepincut 130 tahun silam. Pertunjukan Sari Oneng malam itu mengingatkan pada “sindiran” Debussy terhadap musik Barat dalam sebuah suratnya setelah mendengarkan gamelan tersebut: “Jika mendengarkan musik itu tanpa prasangka telinga Eropa kita, kita akan mendengarkan alunan musik tabuhan yang lembut menawan yang membuat kita mengakui bahwa musik kita tak lebih dari jenis hiruk-pikuk musik yang hanya cocok untuk sirkus pengelana.”

SENO JOKO SUYONO, ISMA SAVITRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus