Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI manakah Orfeus selama sekitar sejam pertunjukan? Ia ada di awal. Dengarkan seseorang membaca puisi: “Lima menit sebelum kere-ta berangkat, perempuan itu berkata kepada-nya, ‘Orfeus, aku tak akan kembali’.”
Kemudian, di Teater Salihara, Jakarta, itu, hanya ada lima pelaku yang bergerak dalam satu koreografi ciptaan Melati Sur-yodarmo. Sebuah koreografi yang lebih banyak menyajikan gerak lambat dengan posisi tubuh lebih dekat ke lantai. Kelima pelaku sudah ada di ruang pertunjukan sebelum pembaca puisi hadir. Mereka duduk diam di kursi dalam posisi masing-masing: sebuah tablo yang mengesankan orang-orang yang terkulai, merunduk, ter-sandar sehabis sebuah keramaian yang melelahkan. Mereka mulai bergerak ketika pembaca puisi undur ke samping: menjatuhkan diri ke lantai beserta kursi. Suara kursi jatuh, tidak serentak, adalah awal mula gerak lambat itu.
Dan Orfeus? Mungkin ia ada dalam benak penonton yang mengetahui kisah salah satu tokoh mitologi Yunani yang memi-liki kemampuan mempengaruhi siapa saja dengan musiknya itu, termasuk mempe-ngaruhi Hades, penguasa alam kematian, agar mengizinkannya membawa kembali Euridisi (Eurydice), istrinya, yang tewas, konon, digigit ular beberapa lama setelah mereka menjadi suami-istri yang bahagia.
Namun tahu atau tidak tentang Orfeus dalam dongeng Yunani itu tak lagi pen-ting amat untuk menyaksikan gerak lam-bat kelima pelaku dan mendengarkan komposisi musik piano yang dimainkan Sri Hanuraga yang, direncanakan atau tidak, serasa seiring sejalan dengan gerak lambat tersebut. Semua berlangsung dalam ruang pertunjukan teater kotak hitam yang bersuasana hitam dengan sebidang putih vertikal di sisi kanan dari arah penonton. Warna hitam itu membuat gambar yang disajikan lewat video karya Tri Doso Novrianto tidak jelas. Tapi, sebagaimana halnya dengan Orfeus, tak penting benar gambar yang jelas.
Yang kemudian tersaji dalam pertun-jukan sekitar sejam itu adalah gerak lambat kelima pelaku mengalir mengembuskan tenaga tanpa kekuatan: gerak kosong yang mengandung energi, seperti pukulan te--naga dalam. Hitam latar, cokelat dan abu-abu kostum, serta gambar-gambar yang tak jelas menyatu dengan gerak kelima pelaku menciptakan waktu yang lambat. Nada-nada dari piano menyusup dalam paduan, melebur. Ke mana perpaduan ini mengarah? Tak ada Orfeus, tak ada Euridisi.
Koreografi memang tak berkisah. Gerak lambat pun tidak menggantikan kata-kata dalam puisi “Orfeus” Goenawan Mohamad. Melati Suryodarmo memadukan semua unsur pertunjukan untuk menciptakan puisinya sendiri. Ia tidak mengalihkan kata menjadi gerak. Ia menelan Orfeus dan kemudian menyajikannya kembali dengan segala daya kreasi yang ia miliki.
Daya kreasi itu, pada hemat saya, yang membuat Melati menghentikan gerak lambat, mungkin di sekitar tengah waktu pertunjukan, menggantikannya dengan beberapa tablo oleh para penari. Tablo mengingatkan saya pada lukisan-lukisan klasik Eropa, terasa seolah-olah sebuah intermeso. Yang muram, yang lambat, yang menyedot perhatian, berhenti. Ruang pertunjukan rileks sejenak.
Dan selanjutnya suasana sebelum tablo (tablo ternyata terilhami oleh lukisan-lukisan Caravaggio dan patung-patung Auguste Rodin) tersaji lagi, tak persis memang. Babak ini (Melati rupanya mem-bagi koreografinya menjadi lima babak) terasa menyuguhkan “potret”: sebuah ke--nangan. Ada tablo yang menyiratkan kegem-biraan. Yang lain, kelima pelaku mem-bentuk adegan seperti menyambut kematian. Di ujung babak ini, Orfeus kembali hadir lewat pembaca puisi yang sama dengan yang di awal. “Aku meng-helamu dari gelap bawah sadar.…” Siapa yang menghela, siapa yang dihela? Satu dari lima pelaku, seorang lelaki, melepaskan sebuah baris: “Aku menghelamu dari dingin, Euridice.”
Lalu sebuah gerak langkah simpang-siur kelima penari, dan kali ini pembaca puisi pun terseret masuk. Mereka mengambil baskom yang sedari awal berada di kursi di sisi kiri ruang pertunjukan dari arah penonton. Di sisi ini pula piano tersebut berada.
Para pembawa baskom mengambil posisi masing-masing. Suara piano su--dah beberapa lama berhenti. Ruangan sunyi. Pemain piano berdiri, melangkah meng-ambil baskom. Kemudian semua pembawa baskom bersimpuh, memasukkan kepala ke dalam baskom yang ternyata berisi air. Sebelum napas habis, mereka mengangkat kepala, lalu memasukkannya kembali ke air. Demikian beberapa kali, seperti orang-orang yang membasuh muka sehabis mimpi buruk. Dan lampu pun pelan-pelan mengurangi cahayanya untuk kemudian gelap.
BAMBANG BUJONO, PENULIS, PENGULAS SENI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo