MENTERI Penertiban Aparatur Negara (PAN)/Wakil Ketua Bappenas
Prof. Dr. Soemarlin selama minggu terakhir ini sibuk rapat
dengan tim Keppres 14 A. Senin lalu, Ketua Tim Keppres 14 A itu
menunda rapat tim sampai malam hari. Siangnya, ia menghadiri
rapat kordinasi bidang Kesejahteraan Rakyat yang diketuai Menko
Kesra Surons di Departemen P dan K. Selama makan siang di lantai
bawah Departemen P dan K, duduk berjajar di kursi lipat bersama
menteri lainnya, ia sempat menjawab pertanyaan A. Margana dari
TEMPO. Beberapa petikan dari wawancara itu:
Apa sebenarnya tujuan politik Keppres 14 A?
Tujuan pokok Keppres 14 A, sebenarnya ialah mengatur pelaksanaan
APBN. Maksudnya, bagaimana APBN itu bisa dilaksanakan secara
efektif dan efisien. Sambil melaksanakan APBN itu, sekaligus
pelaksanaan harus diarahkan untuk mencapai sasaran pemerataan.
Tujuan pemerataan ini terutama pemerauan di bidang:
þ Kesempatan berusaha khususnya bagi golongan ekonomi lemah.
þ Kegiatan pembangunan di daerah-daerah. Artinya pengeluaran
anggaran belanja pemerintah supaya benar-benar dapat
meningkatkan kegiatan-kegiatan daerah dan sekaligus dapat
meningkatkan potensi kegiatan di daerah itu.
þ Pemerataan pendapatan yang erat hubungannya dengan nomor 1 dan
2. Maksudnya, dengan adanya pengeluaran anggaran negara
tersebut, maka sekaligus dapat diciptakan lapangan kerja di
daerah.
Sejauh mana tujuan politik Keppres 14 A ini sudah tercapai?
Hasilnya, misalnya, dalam pemerataan kesempatan berusaha. Banyak
golongan ekonomi lemah yang memperoleh pekerjaan dari proyek
yang besar atau kecil. Karena menurut keputusan itu,
proyek-proyek besar, misalnya pengeluaran tertentu sampai Rp 100
juta atau jumlah tertentu, itu harus diutamakan bagi pengusaha
ekonomi lemah setempat.
Dalam hal penyebaran kegiatan, proyek sampai dengan Rp 200 juta
harus ditender di lokasi proyek, atau paling jauh di kabupaten.
Dengan demikian, pengusaha yang domisilinya di kabupaten, dapat
ikut serta dalam kesempatan ini.
Proyek di atas Rp 200 juta samllai Rp 500 juta, pedomannya harus
dilakukan tender di kabupaten. Kalau ha rus di provinsi, baru
dibicarakan dngan gubernur bersama pimpinan proyek dan bupati.
Proyek-proyek demikian ini, sejauh mungkin dilaksanakan
tendernya di daerah.
Sedang proyek di atas Rp 500 juta ke atas, kalau dilaksanakan,
tendernya di pusat harus diputuskan oleh Keppres 10 setelah
mendengar pertimbangan pemerintah daerah setempat. Ini merupakan
sistem untuk mengamankan bahwa benar-benar proyek-proyek itu
dilaksanakan di daerah guna memberi kesempatan pada pengusaha di
daerah.
Di samping itu dalam ketentuan tender, siapa pun yang menang
tender, terutama yang tidak lemah, harus mencantumkan dalam
kontraknya akan menggunakan golongan ekonomi lemah sebagai sub
kontraktor. Ini berlalu baik untuk proyek besar maupun yang
tidak.
Dalam Keppres 14 A disebutkan adanya golongan ekonomi lemah dan
kuat dan kelompok pribumi serta nonpribumi. Apakah pembedaan ini
memang berkaitan langsung?
Begini. Dalam Keppres 14 A itu secara implisit dibedakan antara
golongan ekonomi lemah dan tidak lemah. Yang lemah ada 3 ciri
pokok, yaitu pemilikan modal perusahaan. 50% oleh golongan
pribumi dan selebihnya golongan lain. Kepengurusannya mayoritas
harus pribumi.
Modal perusahaan, sepanjang di bidang perdagangan atau jasa,
harus Rp 25 juta besarnya (modal netto). Sedang di bidang
konstruksi dan industri Rp 100 juta. Tiga ciri pokok ini yang
membedakan yang lemah dan tidak lemah. Pengertian ini adalah
pengertian ekonomis, bukan pengertian etnis-sosiologis.
Sepanjang perusahaan itu masuk golongan ekonomi lemah, ia dapat
memperoleh kemudahan di dalam pelaksanaan APBN, APBD maupun
anggaran perusahaan negara. Termasuk perusahaan negara dalam
rangka menjual barang-barang yang mereka kuasai. Jadi perusahaan
negara itu juga diperintahkan untuk mengutamakan golongan
ekonomi lemah sebagai distributor barang-barang mereka. Sebagai
contoh Pabrik Semen Gresik dan beberapa perusahaan negara
lainnya.
Jadi tidak secara langsung mengkaitkan golongan ekonomi lemah
dengan pribumi?
Pengertian di dalam Keppres 14 A yang dinamakan golongan ekonomi
lemah itu sama sekali tidak identik dengan pribumi. Di dalam
GBHN dikatakan, golongan ekonomi lemah itu sebagian terbesar
adalah pribumi.
Bagaimana dengan keturunan Arab, misalnya? Di beberapa daerah
kabarnya mereka juga mendapat kesulitan karena dikaitkan dengan
nonpribumi?
Ini yang harus dimengerti para pimpinan proyek atau pelaksana
lainnya. Keturunan Arab misalnya, praktis sudah membaur. Arab
sejak dulu sudah membaur. Jadi, kalau tidak mengidentikkan yang
lemah dengan pribumi, saya kira tidak ada masalah mengenai itu,
tidak perlu menimbulkan hal-hal yang menyulitkan.
Justru dengan Keppres 14 A itu, dimaksudkan untuk membaurkan
modal-modal yang pribumi dan "nonpribumi". Ini merupakan sarana
pembauran modal. Kalau pembauran dibidang modal ini berhasil,
sangat pnting dan diharapkan dapat memperlancar pembauran di
bidang-bidang lain, seperti bidang sosial dan lain-lain.
Dalam perkembangannya, pengusaha tidak lemah mulai memberikan
kesempatan pemilikan modal mereka pada golongan pribumi. Ada
kecenderungan ke sana. Ini suatu proses dan suatu kemajuan.
Mengenai persyaratan menjadi rekanan golongan ekonomi lemah,
golongan pribumi diwajibkan memiliki modal 509. Apakah ini
tidak memberatkan mereka?
Itu syarat. Tapi kita lihat dalam perkembangannya bagaimana.
Tentunya ada penyelesaiannya. Tapi yang jelas, perusahaan harus
mempunyai modalnya. Nyatanya, banyak yang tidak mengalami
kesulitan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini