TIDAK ada demonstrasi di Taipei, hanya mogok duduk, itu pun kecil-kecilan. Dan bukan ribuan mahasiswa seperti di Korea Selatan, tapi cuma 12 anggota parlemen yang memboikot jalannya sidang. Namun, aksi mereka telah mematangkan perkembangan politik di Taiwan, hingga 7 Juli laluyan (parlemen) dengan aklamasi menerima usul pembatalan Undang-Undang Darurat Perang yang sudah mencengkeram Taiwan selama 38 tahun. Peristiwa itu tentu saja merupakan tonggak sejarah, pertanda era politik baru di negara itu. Dengan undang-undang tersebut, pemerintah Kuomintang di bawah nama Republik Cina (Chunghua Minkuo) melarang adanya oposisl, demonstrasi, pemogokan buruh, dan hak-hak asasi lainnya. Semua itu dengan alasan keamanan nasional, ancaman komunis yang setiap saat bisa saja menyeberangi Selat Talwan, dan cita-cita untuk merebut kembali Daratan Cina dari tangan "bandit pemberontak komunis". Di bawah UU Darurat Perang itu, hukum militerlah yang berlaku. Tentara punya hak untuk menahan setiap orang, yang diduga terlibat kegiatan antipemerintah atau subversi komunis. Menurut catatan tak resmi, sekarang ini jumlah orang yang ditahan dan telah diadili secara militer ada sekitar 200 orang. Di samping itu, tentara masih punya hak-hak istimewa, seperti menyensor dan menyita penerbitan, meneliti mereka yang ingin bepergian ke luar negeri, dan menyanng orang yang ingln datang ke Taiwan. Pembatalan UU Darurat Perang itu dijalankan dalam rangka program pemerintah untuk reformasi politik dan ekonomi. Langkah itu diambil antara lain sebagai reaksi atas perkembangan serupa yang sedang berjalan di Daratan Cina, dan imbauan yang makin keras saja dari sana untuk "reunifikasi negeri". Singkatnya, Taiwan tidak boleh ketinggalan dalam menangkal propaganda RRC, satu hal yang bisa menempatkannya ke dalam posisi defensif. Dalam pada itu, kemakmuran di bidang materi yang makin tinggi dan makin merata telah memperkuat tuntutan akan hak-hak politik dan demokrasi. GNP tahun 1985 saja telah mencapai angka 60 milyar dolar Amerika, dengan pertumbuhan ekonomi sebanyak 4,7% dan pendapatan per kapita sebesar 3.142 dolar Amerika. Dalam program reformasi itulah, misalnya, pada tahun silam pemerintah untuk pertama kali mengizinkari oposisi. Maka, segera terbentuk Partai Demokrasi Progrcsif (PDP) yang menduduki 13 dari 220 kursi yan. Dan PDP inilah yang paling getol menuntut pembatalan UU Darurat Perang. Pembatalan UU itu baru satu kemenangan kecil untuk oposisi, karena masih banyak hal lain yang harus diperjuangkan mereka. Dalam yuan, Kuomintang tampil sebagai mayoritas, lantaran empat perlima dari para anggotanya diangkat seumur hidup. Mereka tulah yang menjadi wakil rakyat dari Daratan Cina. Bagaimana mungkin ? Soalnya, partai Kuomintang masih mengklaim dirinya sebagai pemegang kekuasaan yang sah atas seluruh Cina. Hubungan antara partai dan tentara merupakan hal yang paling rawan. Sudah sejak didirikannya Kuomintang oleh Almarhum Dr. Sun Yat Sen, tentara merupakan alat untuk memaksakan keinginan partai. Maka, militer selalu diindoktrinasi dengan asas-asas partai. Dengan adanya sistem multipartai, mekanisme semacam itu harus ditiadakan. Pertalian Kuomintan dengan bisnis adalah soal lain lagi. Golongan oposisi telah lama menganjurkan agar KMT menjual semua kepentingan bisnisnya. Dengan pencabutan UU Darurat Perang, bukan berarti demokrasi sudah memancarkan fajar baru di sana. Sebagai penggantinya akan diberlakukan Undang-Undang Keamanan Nasional yang pada dasarnya merupakan "anggur lama dalam botol baru". A. Dahana, Laporan Reuters
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini