Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEKUMPULAN orang pemberani dari unit Pasukan Khusus Zerevani perlahan mendekati Kota Mosul. Hari itu, Rabu awal bulan ini, mereka mematahkan mitos bahwa ISIS-organisasi brutal yang mengklaim telah mendirikan kekhalifahan di sepanjang Sungai Tigris di Irak, juga di Suriah, pada 2014-tak terkalahkan.
Mereka berbagi tugas. Di biru langit, pesawat-pesawat Amerika yang terbang rendah menembakkan mortir dan menerjunkan bom ke kantong pertahanan ISIS. Di jalan menuju Mosul, 5.500 anggota pasukan elite Peshmerga menghadapi tentara yang senang mendemonstrasikan aneka tindakan sadistis di depan kamera itu.
"ISIS melihat, mengamati kita, tapi kita tak dapat melihat mereka karena mereka bersembunyi di rumah-rumah penduduk dan di terowongan yang sudah disiapkan," kata juru bicara Zerevani, Dilshad Mawlood, dari arena pertempuran.
Serangan roket dan mortir serta senapan otomatis menyambut kedatangan unit Peshmerga itu. Hari itu pasukan ISIS memutuskan sebagian besar anggotanya meninggalkan kota yang direbutnya pada Agustus 2014 tersebut, sedangkan segelintir sisanya tetap mengganggu penguasa baru di kota itu dengan bom bunuh diri dan penembak jitu.
Orang-orang Kurdi, kaum minoritas yang disia-siakan di Irak, Iran, Turki, dan Suriah, kini memiliki Peshmerga, yang sanggup menjebol tembok pertahanan pasukan yang selama ini tak terkalahkan.
Pada minggu terakhir Maret, Bagdad memang mengumumkan dimulainya operasi untuk merebut kembali Mosul. Tentara pemerintah yang berkekuatan 5.000 orang itu pun mulai menguasai beberapa desa di sekitar Mosul. Namun kemajuan ini berhenti total tatkala 200 anggota ISIS tiba-tiba melancarkan serangan balik yang banyak makan korban.
Tercatat 20 tentara pemerintah dan seorang marinir Amerika Serikat tewas dalam bentrokan memperebutkan Desa Al-Nasr itu. Desa itu kembali beralih tangan. Tewasnya sang marinir adalah isyarat pertama keterlibatan pasukan Amerika dalam pertempuran darat.
Dua tahun berjaya di medan tempur, menghadapi serangan Peshmerga, ISIS mengalami kemunduran. Di empat kantong kekuatannya-dua di Suriah, dua lagi di Irak-pasukan ini sibuk menangkis pukulan yang terorganisasi dan terencana. Sejak April lalu, kombinasi gempuran udara Amerika dan pasukan pendobrak Peshmerga mulai membuahkan hasil, baik di medan timur Suriah maupun di barat Irak.
Di Falluja, Irak, sudah tiga pekan berlangsung pertempuran memperebutkan kota itu. Di Suriah sejauh ini belum ada serangan besar yang ditujukan ke ibu kota ISIS, Raqqa. Namun, melihat gelombang pengungsi yang berbondong keluar dari kota itu, tampaklah bahwa kota pusat pemerintahan kekhalifahan tersebut tengah terkepung. Melihat ISIS yang semakin lemah, kini banyak yang justru khawatir. Jika sang musuh bersama itu terkalahkan, apalagi yang akan dilakukan kelompok-kelompok bersenjata kalau bukan memulai pertempuran baru di antara mereka.
Di medan timur laut Suriah, di Manbij, para kepala suku setempat menampik Tentara Demokratik Suriah (SDF) yang hendak membebaskan mereka dari pasukan ISIS lantaran sebagian anggota SDF orang-orang Kurdi. Mereka menilai pembebasan dari ISIS urusan orang Arab semata, dan keberadaan orang Kurdi merupakan intervensi yang tidak bisa dibiarkan.
SAAT ini diperkirakan tentara Peshmerga berjumlah sekitar 190 ribu orang. Pasukan ini lahir sebagai tentara penjaga perbatasan pada akhir 1800-an. Peshmerga secara resmi terbentuk sebagai angkatan bersenjata Kurdi setelah runtuhnya Kesultanan Ottoman di Turki pada awal Perang Dunia I. Seiring dengan berkembangnya pergerakan nasionalis Kurdi, Peshmerga berevolusi dari gerilyawan menjadi tentara nasional bagi negara Kurdi merdeka. Banyak tentara Peshmerga juga merupakan bekas tentara Saddam Hussein yang membelot dan membantu perjuangan kemerdekaan Kurdistan di Irak.
Pada 1988, Saddam menghancurkan kekuatan Kurdi. Salah satunya dengan menembakkan senjata kimia di Halabja, yang menewaskan banyak wanita dan anak-anak.
Hari itu, 16 Maret 1988. Alkisah, dari Bagdad, ibu kota Irak, datanglah Ali Hassan al-Majid bersama pasukannya. Dia adalah sepupu Saddam, presiden yang ketika itu berkuasa menggenggam setiap jiwa di Irak. Ali-di kemudian hari dia dijuluki Ali Kimia-tiba di Halabja dengan selembar "surat perintah" dari saudaranya. Perintah membumihanguskan Halabja.
Ali pun beraksi. Tanpa banyak kata, ditembakannya segala senjata kimia ke desa yang terletak di lereng Pegunungan Halgurd itu. Disemprotkannya gas-gas beracun yang ampuh memetik nyawa manusia dalam sekejap. Hasilnya, 5.000 orang, dari bayi hingga kakek-nenek, terkapar. Dua hari lewat, 12 ribu warga Halabja meninggal.
Halabja bukan tragedi terakhir yang menimpa kaum Kurdi. Tapi inilah simbol deraan paling buruk yang pernah diterima bangsa itu di Irak. Bahkan, setelah ditangkap pasukan koalisi, Saddam tetap menganggap tindakan itu sah-sah saja. "Orang Kurdi kan mencuri tanah kami," jawab bekas pemimpin Irak itu saat diinterogasi.
KINI menjadi diskusi hangat siapa yang bakal membebaskan Raqqa, ibu kota sekaligus jantung kehidupan ISIS, dari kelompok yang dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi itu. Di kalangan SDF, yang terdiri atas orang-orang Kurdi dan Arab, pertanyaan itu memiliki konsekuensi besar. Pasukan Arab yang belum siap seratus persen untuk menaklukkan Raqqa atau orang-orang Kurdi yang lebih siap menaklukkan lawan, tapi menghadapi penolakan dari penduduk setempat.
Raqqa adalah wilayah Arab dengan mayoritas penduduk orang Arab, sedangkan SDF didominasi pasukan dari suku Kurdi. Memasuki momentum yang menentukan, tatkala kemenangan sudah hampir di tangan, pasukan pemberontak yang kuat ini memang terbelah secara etnis.
Tak seperti di negara lain, di Irak pasca-Saddam Hussein pada 2014, kaum Kurdi menikmati perlakuan khusus. Mereka bernaung di bawah KRG atau Pemerintah Regional Kurdi, yang berstatus daerah istimewa atau dengan otonomi khusus.
Sama halnya dengan ISIS, Irak yang tak stabil dan centang-perenang membuka kesempatan bagi bangsa Kurdi untuk diakui dunia internasional sekaligus menambah luas wilayahnya. Sesuatu yang mustahil terjadi jika tentara Irak tak selemah sekarang ini.
Idrus F. Shahab (BBC, The Telegraph, The Guardian, CNN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo