Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Paus Fransiskus segera tiba di Myanmar dalam kunjungan pertama pemimpin umat Katolik dunia di negara itu. Tidak hanya umat Katolik yang bersuka cita menyambut kedatangan pembawa pesan damai itu, umat berbagai agama dan kepercayaan di Myanmar juga turut melebur dalam kebahagiaan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, ada juga kelompok di Myanmar yang menolak kedatangan Paus Fransiskus seperti U Wirathu, yang termasuk salah satu tokoh Budha garis keras yang kontroversial. Wirathu dikenal dengan ceramah-ceramahnya yang menyebarkan kebencian dan kekerasan terutama terhadap etnis Rohingya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Myint Swe, seorang penganut Budha berusia 74 tahun, menantikan kunjungan Paus Fransiskus ke Myanmar dengan penuh keyakinan bahwa ini akan membantu memperbaiki kerukunan antar umat beragama dan menyembuhkan luka pada krisis Rakhine.
Baca: Paus Fransiskus Berkunjung ke Myanmar Temui Rohingya dan Suu Kyi
Presiden Agama untuk Perdamaian, sebuah kelompok kerukunan antar agama yang berbasis di Yangon, itu mengatakan bahwa kedatangan Paus akan mendapat sambutan hangat dari umat Budha setempat dalam kunjungannya pada 27-30 November.
Baca: Paus Fransiskus Kritik Pemakaian Telepon Seluler Saat Misa Kudus
"Kita tidak bisa membayangkan, lima tahun yang lalu memimpikan Paus akan mengunjungi Myanmar tapi sekarang, mimpinya menjadi kenyataan, tidak hanya bagi umat Katolik, tapi juga untuk restu dan keuntungan dari mayoritas umat Budha," kata Myint Swe.
"Pesan yang ingin kami sampaikan (selama kunjungan Paus) adalah bagaimana orang, dengan agama yang berbeda, berkolaborasi menuju perdamaian dan harmoni," kata Myint Swe, yang akan mengikuti misa publik pada 29 Nopember 2017.
Selain doa, sebagai persiapan spiritual untuk kunjungan kepausan, Gereja Katolik telah mengatur persyaratan logistik untuk para peziarah, bekerjasama dengan agama lain. Biara-biara Budha, gereja-gereja Protestan dan Katolik di Yangon akan menyediakan tempat berteduh bagi ratusan ribu umat Katolik di seluruh negeri.
Misa umum oleh Paus akan dilaksanakan di tempat Kyaikkasan di Yangon pada 29 November diperkirakan akan menarik lebih dari 150.000 umat Katolik dan orang-orang dari agama lain.
Pastor Joseph Mg Win, anggota panitia kunjungan Paus, mengatakan berbagai pemimpin agama siap memberikan pertolongan.
"Kami memiliki hubungan dekat dengan berbagai agama di Myanmar dan mereka sangat ingin berkontribusi dalam persiapan kunjungan Paus," katanya.
Sebagai contoh, Divisi Yangon Sangha (komunitas Buddhis) telah menawarkan ruang mereka untuk dijadikan tempat berlindung bagi umat Katolik, yang datang dari berbagai negara bagian Myanmar.
Pastor Mg Win juga mengatakan banyak umat Budha telah memberitahukan kepadanya mereka akan bergabung dalam Misa publik Paus pada tanggal 29 November.
Sebulan sebelum Paus tiba di Myanmar, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Aung San Suu Kyi, mengadakan sebuah doa bersama antaragama di seluruh negeri.
Pada 10 Oktober 2017, pastor Katolik, biarawan, biarawati dan umat awam termasuk di antara 30.000 peserta dari berbagai agama yang ikut serta dalam acara yang tidak pernah terjadi sebelumnya di Yangon selama kekuasaan junta militer Myanmar.
Zaw Min Latt, seorang warga Muslim di Yangon yang terlibat dalam kegiatan lintas agama, mengatakan kunjungan Paus Fransiskus memberi harapan untuk meningkatnya kebebasan beragama dan Hak Asasi Manusia di Myanmar bagi kaum minoritas.
Namun berita tentang kunjungan Paus ini telah memicu kemarahan kelompok Budha garis keras, yang telah mengipasi kekerasan dan protes sektarian, terutama terhadap minoritas muslim Rohingya dan lainnya selama lima tahun terakhir.
Banyak umat Budha garis keras telah menyuarakan penolakan mereka terhadap kunjungan Paus. "Mengapa Sri Paus akan berkunjung ke Myanmar? Jangan mencampuri politik karena Anda adalah pemimpin agama, "dan" Tidak ada istilah Rohingya," demikian tulis beberapa orang di media sosial Myanmar, seperti dilansir Herald Malaysia pada 25 November 2017.
Dalam sebuah tindakan yang dianggap tidak sopan, Aye Ne Win, cucu dari diktator Ne Win, berpakaian seperti paus untuk sebuah pesta Halloween. Foto-fotonya di kostumnya menjadi viral di media sosial, membuat marah komunitas Katolik dan juga beberapa umat Budha.
U Wirathu, seorang biksu ultra-nasionalis di Mandalay dan pemimpin gerakan Budha garis keras, Ma Ba Tha, mengatakan bahwa kunjungan Paus adalah "dorongan politik." Wirathu menyebut dirinya sebagai Bin Laden dari Myanmar.
Beberapa umat Katolik telah mengemukakan keprihatinan mereka atas keamanan Paus selama kunjungan itu. Sementara yang lain cemas terutama di kalangan pemimpin Katolik Myanmar bahwa apakah Paus akan menggunakan istilah Rohingya atau menghindarinya seperti yang mereka sarankan.
Penggunaan istilah Rohingya, nama kelompok etnis Muslim, adalah isu sensitif di Myanmar. Pemerintah dan militer, bersama dengan banyak warga Myanmar menamai jutaan orang Rohingya sebagai "orang Bengali," mengklaim mereka berasal dari negara tetangga Bangladesh.
Jika Paus menggunakan istilah Rohingya dalam pidatonya, orang awam Katolik prihatin bahwa Gereja mungkin menghadapi reaksi balasan dari kelompok Budha garis keras. Sebagai bagian dari upaya untuk mencegah hal ini terjadi, uskup Katolik telah menyarankan Paus Fransiskus untuk menghindari penggunaan istilah.
Tapi pemimpin Budha Myint Swe tidak mempedulikannya.
"Saya yakin Paus mengetahui kenyataan di negara ini. Bahkan jika dia menggunakan istilah Rohingya, itu adalah untuk mengidentifikasi kelompok tersebut dan tidak akan memiliki motif politik," kata Myint Swe.
Zaw Min Latt mengatakan Paus Fransiskus memiliki hak untuk mengatakan Rohingya dan untuk berbicara mengenai masalah apapun yang dia inginkan.
HERALD MALAYSIA