Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ribuan orang di Ibu Kota Bangkok, Thailand, pada Sabtu, 19 September 2020, melakukan unjuk rasa menuntut adanya reformasi Kerajaan. Aksi protes tersebut juga bentuk perlawanan terhadap pemerintahan yang dipimpin Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, yang dulu pernah memimpin kudeta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Turun feudalisme, hidup rakyat,” demikian diteriakkan para demonstran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pengunjuk rasa mengangkat smartphone mereka dalam gerakan simbolis dengan menyinari Monumen Demokrasi di Bangkok pada Sabtu malam, 18 Juli 2020.[Foto @Ponlapatz/Bangkok Post]
Para demonstran menuntut penghapusan undang-undang lese majeste, yang melarang kritik kepada Kerajaan Thailand. Mereka juga meminta agar kekuasaan konstitusional Raja Thailand dikurangi, begitu pula kontrol pada kekayaan Istana dan unit-unit Angkatan Darat Thailand.
Unjuk rasa di Thailand meletup pertama kali pada pertengahan Juli 2020, yang menyerukan pemerintah berkuasa Thailand mundur, ada konstitusi baru dan dilakukannya pemilu. Para demonstran juga menerobos hal tabu dengan mengkritisi Kerajaan Thailand yang dipimpin Raja Maha Vajiralongkorn.
Kepolisian Thailand mengatakan setidaknya 5 ribu orang berkumpul di kampus Universitas Thammasat. Di bawah guyuran hujan, demonstran memenuhi Sanam Luang, sebuah area publik di seberang Istana Kerajaan Thailand tempat dilakukannya seremoni-seremoni tradisional Thailand.
“Hari ini rakyat akan menuntut kembali kekuasaan mereka,” kata Arnon Nampa, pengacara HAM, yang dipandang sebagai sosok penggerak dalam unjuk rasa ini.
Tanggal 19 September diperingati sebagai hari kudeta terhadap pemerintahan mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada 2006 silam. Di antara para demonstran banyak pengikuti kelompok kaos merah, yang 10 tahun silam bentrok dengan kelompok pro-kemapanan kaos kuning.
“Saya di sini untuk berjuang bagi masa depan anak-anak dan cucu saya. Saya harap ketika saya mati, mereka akan bebas,” kata Tasawan Suebthai, 68 tahun, yang ikut turun ke jalan.
Sejauh ini unjuk rasa berjalan damai. Unjuk rasa melawan Pemerintah Thailand terbesar terjadi pada bulan lalu, yang diikuti oleh lebih dari seribu orang. Akan tetapi, pengkoordinir unjuk rasa berharap kali ini jumlah orang yang mengikuti aksi protes bisa lebih banyak lagi.
Panggung politik Thailand selama bertahun-tahun diwarnai oleh tantangan politikus loyalis dan militer yang didukung oleh masyarakat miskin dan wilayah pinggir Thailand. Belakangan, unjuk rasa banyak dilakukan oleh mahasiswa.
Perdana Menteri Prayuth mengatakan pihaknya mengizinkan unjuk rasa karena itu sebagai bentuk kebebasan berbicara. Akan tetapi, tuntutan meminta adanya reformasi Kerajaan Thailand, tidak bisa diterima. Prayuth pun memperingatkan unjuk rasa hanya akan meningkat mereka pada risiko penyebaran virus corona.