Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Utang mata, bayar mata ...

Dipastikan, pesawat pan am boeing 747 meledak akibat bom plastik, semtex. diduga pelakunya organisasi teroris pro iran, libya, namibia. ronald reagan menjanjikan hadiah bagi pemberi informasi.

7 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GENDERANG perang akhirnya ditabuh untuk menuntaskan teka-teki di balik musibah Pan Am di langit Lockerbie. Rabu pekan lalu, surat perintah dilayangkan kepada Skuadron Anti-Teroris (ATS) dari kepolisian Inggris dan Biro Penyidikan Federal (FBI) dari AS. Isinya: Tebar jaring ke seluruh dunia untuk menangkap pelaku peledakan pesawat Boeing 747 itu. Tak tanggung-tanggung, Presiden Ronald Reagan menyediakan hadiah US$ 500 ribu bagi pemberi informasi yang bisa dijadikan bukti untuk menyeret terdakwa ke penjara. Sedangkan presiden terpilih George Bush bereaksi tak kalah galak. "Pelaku harus dikejar sampai tertangkap dan diberi hukuman berat." Dari upacara pemakaman juru mesin pesawat nahas itu, Jerry Avritt, di Orange County, AS, proklamasi perang gaya Yahudi terdengar. "Utang mata bayar mata. Utang gigi bayar gigi," ujar abang ipar Avritt, yang berasal dari keluarga Yahudi. Perburuan itu bermula dari pengumuman resmi Cabang Penyidikan Kecelakaan Udara (AAIB) di Kementerian Transportasi Inggris. Dari hasil penelitian laboratorium, lembaga itu berkeyakinan, musibah yang menelan lebih dari 270 jiwa itu disebabkan oleh ledakan bom plastik. Serpihan-serpihan logam yang terdapat di tubuh sebagian korban membuktikan itu. Menurut dugaan sementara, berat bom itu paling tidak 15 kg, sesuai dengan kebutuhan untuk menghancurkan sebuah Boeing 747. Posisi bom diperkirakan di bagian depan dan belakang ruang bagasi. Sebab, sebagian sekat plastik di kedua bagian itu hancur kena sengatan panas. Yang jelas, bom yang di bagian depan yang mengakibatkan ledakan fatal: ruang pilot copot dari tubuhnya, sebelum tubuh pesawat tercabik-cabik oleh ledakan bahan bakar dan terempas ke bumi. Yang masih sangat memuyengkan para penyelidik, dari mana bom dinaikkan ke pesawat yang menampung penumpang dari Frankfurt hendak ke New York, dan penumpang dari Heathrow itu sendiri. Pihak kemanan bandar udara Frankfurt memastikan, bom diselundupkan di Heathrow. Sebaliknya, pihak Heathrow lebih yakin musibah itu disebabkan keteledoran pihak Fankfurt. Sejumlah ahli bom plastik menyatakan bom itu merk Semtex buatan Cekoslowakia yang nyaris tak berbau dan sangat lunak, sehingga tak akan tercium oleh anjing pelacak atau sinar X. "Nyaris selunak daging manusia," ujar Ian Geldard, dari Lembaga Pengkajian Terorisme yang bermarkas di London. Keistimewaan lainnya, bom itu tak akan meledak meski tersambar api. Tapi bisa menjadi senjata mematikan bila dipicu oleh sebuah detonator yang sangat sederhana sekalipun. Karena itu, pemerintah Inggris meminta Cekoslowakia agar menambahkan zat-zat tertentu pada Semtex, supaya lebih gampang dideteksi. Bom dari Cekoslowakia itu dicurigai karena gampang diperoleh di pasar bebas. Tapi juga tak mustahil, bom itu dibuat sendiri oleh pelaku menurut resep Semtex. Ini membebaskan Cekoslowakia dari tuduhan. Negeri yang kemudian dituduh adalah Libya. Soalnya, negeri ini telanjur dikenal sebagai biangnya teroris. Menurut Gerdald, kepolisian Inggris punya bukti kuat bahwa Libya pemasok Semtex bagi kaum separatis Tentara Republik Irlandia (IRA). Bahkan dua pekan lalu, polisi Inggris menemukan 68 kg Semtex di pabrik bom milik IRA di sebuah apartemen di Kota London. Tapi perlu dicatat, bom semacam itu juga diproduksi oleh negara lain, termasuk anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan AS. Bukan rahasia lagi, bom itu adalah salah satu senjata favorit pasukan komando dan petugas intelijen militer blok Barat dan Timur. Upaya untuk memasang label yang tahan ledakan pada setiap produk bom plastik, hingga bisa dikenali asal-usulnya seumpama bom diledakkan, pernah dilakukan. Tapi lantaran sebagian teroris sudah mampu membuat sendiri, upaya itu dibatalkan. Sayang, berbagai teori soal bom itu belum mampu menguak identitas orang yang tega menghancurkan pesawat sipil dua pekan lalu itu. Kata Paul Bremer, ketua departemen antiteror FBI, "Kami belum mengetahui motivasi pelaku." Karena itu, Bremer bahkan belum berani memastikan apakah pelakunya teroris yang punya tujuan politik tertentu atau sekadar sabotase oleh penjahat kriminal yang mengidap sakit jiwa. Memang, ada tiga pengakuan dalam musibah kah ini. Satu, yang mengaku anggota Pengawal Revolusi pro-Iran, dan dua lainnya tak menyebut nama. Dalam hal kasus Pan Am kini, pihak intelijen AS sepakat, tiga kelompok itu diduga tak punya kemampuan membuat bom yang canggih serta belum punya pengalaman meledakkan pesawat komersial. Memang, spesialis masalah terorisme dari Pusat Pengkajian Strategis dan Masalah Internasional (CSIS), AS, Robert Kupperman, menganggap kelompok-kelompok radikal pro-Iran punya motifasi kuat meneror AS. Mereka frustrasi lantaran Iran makin akrab dengan negara-negara Barat, termasuk dengan Inggris dan AS, yang mereka anggap musuh nomor satu. Sementara selama ini Iran-lah pemasok dana dan senjata untuk melawan "imperialisme" Barat buat mereka. Sementara itu, bagi Iran, membuka hubungan dengan Barat memang tiada pilihan. Tanpa memulihkan kembali hubungan diplomatik dengan Masyarakat Ekonomi Eropa, misalnya, akan kelewat berat untuk menyembuhkan diri dari luka-luka perang melawan Irak. Ratusan ribu sukarelawan yang harus meletakkan senjata kini menanti untuk mendapatkan pekerjaan. Dan itu cuma bisa dipecahkan dengan mengundang penanam modal dari mancanegara. Tapi analisa Kupperman disisihkan oleh pihak intelijen. Sebab dalam riwayat terorisme, cuma ada dua kelompok radikal Palestina yang pernah punya pengalaman memakai bom plastik. Yaitu kelompok 15 Mei, yang bertanggung jawab atas pengeboman pesawat Pan Am penerbangan Tokyo-Honolulu pada 1982, dan Komando Umum-Front Popular Pembebasan Palestina (PELF-GC) pimpinan Ahmad Jibril, yang bermarkas di Syria. Untuk sementara, tudingan kepada kedua kelompok radikal itu beralasan. Apalagi sejak Arafat mengakui keberadaan Israel, kedua kelompok itu semakin garang dan berniat mematahkan dialog PLO-AS. Dua pekan lalu sejumlah orang Palestina menyerang para penjaga perbatasan Israel dari arah Libanon Selatan dan Mesir. Dan akhir bulan Oktober lalu, polisi Jerman Barat menangkap 16 orang Palestina yang dicurigai sebagai anggota kelompok PFLP-GC. Dari tangan PFLP-GC disita sejumlah bom plastik yang disembunyikan dalam sebuah radio jinjingan. Bom itu dihubungkan dengan sebuah detonator bertekanan udara rendah, sehingga akan bekerja secara otomatis pada ketinggian tertentu. Menurut para penyidik, detonator canggih itu bisa dirangkaikan dengan detonator lain yang bekerja seperti stop watch. Pemasang bisa menentukan bom akan meledak setelah sekian lama pesawat berada pada ketinggian tertentu. Usut punya usut, pihak FBI lalu mendatangi rumah Khalid Jafar di Michigan, AS. Anak imigran keturunan Libanon itu, Nazir Jafar, diduga pembawa bom maut itu, meski dia sendiri mungkin tak tahu -- persis seperti pesan telepon gelap ke Kedubes AS di Helsinski, 5 Desember lalu. Penitip "barang" konon teman Nazir yang juga berasal dari Libanon. Hasil pengusutan masih dirahasiakan oleh FBI. Ilmu teror canggih ini kabarnya mereka peroleh dari Abu Nidal. Cuma, kenapa pemimpin Dewan Revolusi Fatah yang tak pernah muncul di depan umum itu menyatakan ikut berduka cita kepada keluarga korban bencana Lockerbie? Abu Nidal memang sudah tak angker lagi. Sebaliknya, kini dia malah menunjukkan sikap lunak. Pekan lalu, misalnya, berkat kerja sama dengan Presiden Libya Muammar Qadhafi, dia setuju melepaskan dua gadis cilik Prancis yang sudah 13 bulan disekapnya. Itu sebabnya bila Phyllis Oakley, juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, yakin, "Tak ada hubungan antara telepon gelap dan peledakan Pan Am." Dan inilah tuduhan lain yang bukannya mustahil kebenarannya. "Kemungkinan, pelakunya adalah dinas rahasia Israel," tulis rajuk rencana Al-Akbar, koran setengah resmi pemerintah Mesir, Sabtu dua pekan lalu. Sebab, PM Israel Yitzhak Shamir termasuk orang yang paling dirugikan oleh manufer politil Arafat, yang berhasil menarik simpati dunia. Shamir-lah tokoh Yahudi nomor satu yang tak mau melihat kelahiran negara Palestina. Masih ada kemungkinan pelaku lain, yakni kelompok radikal kulit putih Afrika Selatan. Alasannya, salah seorang penumpang pesawat adalah utusan khusus PBB untuk menyelesaikan masalah pendudukan Namibia. Berkat kerja kerasnyalah beberapa pekan lalu pemerintah Afrika Selatan menandatangani perjanjian untuk memerdekakan Namibia pada 1989 ini. Itu jelas ancaman bagi sebagian perusahaan negeri rasialis itu, karena Namibia adalah salah satu sumber pertambangan mineral terbesar di dunia. Siapa pun pelakunya, yang pasti pemerintah AS dan Pan Am kini harus kerja keras untuk menangkis gugatan para keluarga korban. Mereka geram, karena para penumpang tak diberi peringatan tentang adanya ancaman bom. Kalau mereka kalah, sesuai dengan Konvensi Warsawa 1919, Pan Am wajib memberi ganti rugi USS 75 ribu per kepala. Kalau menang, ganti rugi itu tergantung keputusan pengadilan. Praginanto & Yusril Djalinus (AS)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus