Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Melangkah bersama sayekti-hanafi

Tvri mulai memacu kreativitas. lewat sayekti-hanafi pemirsa disuguhi hiburan menarik. eksperimen berani penuh sentilan diangkat oleh irwinsyah. anggaran naik, pekan sinetron tiga kali setahun.

7 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPEKAN sinetron (sinema elektronik) yang ditayangkan TVRI menjelang tutup tahun 1988 membuktikan bahwa di media milik pemerintah itu ada beberapa tenaga kreatif. Singkatnya, ada kemajuan. Selama tujuh malam berturut-turut, TVRI bukan saja menghidangkan film yang jauh dari pesan-pesan vulgar, yang acap kali kita lihat pada drama-drama biasa, tapi juga menyuguhkan tontonan dengan mutu yang tak kalah dibanding mutu film nasional karya para sineas Ibu Kota. Padahal, misalnya, ongkos produksi Sayekti dan Hanafi, yang disiarkan 28 Desember, hanya Rp 18 juta -- sedangkan film layar lebar rata-rata di atas Rp 200 juta. Kritik menggebu yang dialamatkan ke TVRI agaknya berpengaruh. "Kita mesti melangkah. Masa, selamanya jadi bahan maki-makian," kata Irwin Syah, pengarah acara alias sutradara yang melahirkan Sayekti itu. Namun, selain kritik, angin segar yang diembuskan pimpinan TVRI juga besar peranannya. "Dulu, kita itu terpaku pada pola. Mau begini, kita khawatir nggak boleh. Mau begitu, takut dilarang," ujar Irwin Syah lagi. Pekan sinetron ini diawali dengan pemutaran Ibu dan ditutup dengan Selamat Tahun Baru Bung Thomas. Terlepas dari berhasil tidaknya, awal dan penutup itu kebetulan merupakan eksperimen yang rasanya patut diacungi jempol. Skenario Ibu dikerjakan Satmowi Atmowiloto -- ini skenario pertamanya untuk televisi. Ceritanya biasa saja, berkisah tentang seorang ibu yang jadi pengayom dalam keluarga. Namun, penyajiannya justru tidak biasa, karena di situ dimunculkan "suara-suara hati". Jika penonton tak tekun, penuturan seperti ini bisa luput dari perhatian mereka. Eksperimen yang berani memang mengingat biasanya TV ditonton orang sambil ngobrol atau mengerakan sesuatu. Skenario Selamat Tahun Baru Bung Thomas, yang ditulis Tatiek Malyati, bercerita tentang kegelisahan seorang Thomas yang kaya dan kariernya menanjak. Thomas gelisah karena ia tak percaya lagi pada orang-orang di sekelilingnya, yang ia katakan penuh kepalsuan. Kekayaan dan kariernya menjerat, tapi ia tak ingin melepaskan keduanya, yang ia raih dengan susah payah. Skenario Tatiek ini di akhir tahun 1986 sudah dikerjakan untuk menyambut tahun 1987. Tapi macet, karena ada perbedaan pendapat di kalangan pembuatnya. Sayekti dan Hanafi, yang banyak dibicarakan orang, menampilkan kisah yang pengolahannya biasa dan tak "berpandai-pandai". Kalau akhirnya jadi bintang, keseriusan kerjalah masalahnya. Sinetron ini menceritakan kehidupan kalangan bawah. Sayekti buruh pasar. Suaminya, Hanafi, tukang becak. Ketika melahirkan, Sayekti dibawa ke rumah bersalin dan ia kemudian tak mampu menebus anaknya. Bayi Sayekti disandera sampai keluarga itu bisa membayar biaya persalinan dan perawatan, yang tiap hari semakin membengkak. Cerita ini diilhami kisah nyata Nyonya Nurganti di Medan yang pernah ramai diberitakan media massa. Pengarah acara Irwin Syah meminta kepada para pemainnya agar benar-benar larut dalam tokoh-tokoh itu. Neno Warisman, yang memerankan Sayekti, sempat dua hari menjadi buruh di Pasar Bringhardjo, Yogyakarta, tanpa diketahui oleh buruh-buruh yang lain, kecuali Kepala Pasar. Pemeran Hanafi, Wawan Wanisar, bahkan sepuluh hari menjadi tukang becak, sehingga tubuhnya lusuh dan kurus. Sebelum syuting di Yogya, Neno malah menemui Nyonya Nurganti di Medan, untuk lebih memahami penderitaan ibu muda itu. Alex Suprapto, yang menulis skenarionya, memindahkan setting cerita ke Yogya, dengan tetap dijiwai semangat Nyonya Nurganti untuk bekerja dan menebus bayinya. Tapi mengapa Irwin Syah menjadikan Sayekti itu buruh pasar? "Kalau tetap petani, segi visualisasi kurang dramatis," jawab sang sutradara. Irwin -- ia pernah menghasilkan sebuah film layar lebar: Sebening Kaca -- berhasil memotret kehidupan kelas bawah, lalu mempertentangkannya dengan kehidupan kelas atas. Ia pun dengan jeli menyentil organisasi wanita, yang bergerak dalam bidang sosial hanya dengan motivasi agar kegiatan mereka selalu diberitakan. Ibu-ibu gedongan ini sebenarnya tidak bermaksud menyumbang, tetapi ingin dipublikasikan, lebih-lebih jika diliput televsi. Sentilan yang termasuk berani, plus kamera yang menyorot kampung-kampung kumuh di pinggir rel -- juga tempat pelacuran gelap -- membuktikan kesungguhan kerja awak televisi saat ini. Dan lebih merekam realita yang ada, tak cuma larut dalam kemajuan pembangunan atau pameran kekayaan, seperti biasanya. Sayekti dan Hanafi, yang memperoleh Piala Vidia sebagai sinetron terbaik FFI 1988 -- mengalahkan sinetron Pulang karya Teguh Karya -- oleh Direktur Televisi bahkan dikirim untuk mengikuti festival film di Berlin Barat, Maret depan. Kepala Seksi Drama TVRI, Sandy Tyas, mengakui bahwa angin segar untuk meningkatkan mutu sinetron tak lepas dari perhatian besar yang ditumpahkan Direktur Televisi Drs. Ishadi. Katanya, masalah dana kini mulai terpecahkan, tak lagi semata-mata tergantung sponsor. Pekan sinetron akhirnya dijadikan acara tetap, dengan tiga pekan sinetron, pada bulan Mei, Agustus dan menjelang akhir tahun. Untuk ini, TVRI selain menjaring naskah lewat sayembara, juga mengikat kontrak dengan 8 penulis dari luar TVRI. Mereka adalah Asrul Sani, Arifin C. Noer N. Riantiarno, Putu Wijaya, Fredy Kastam, Emil Sanosa, Teguh Karya, dan Tatiek Malyati. Dari naskah yang masuk nanti, tiga naskah dipilih untuk digarap secara khusus, dalam arti sutradaranya bebas menentukan kru dan pemain-pemainnya. Anggaran yang disediakan sepuluh kali lipat dari anggaran sinetron sekarang, yang rata-rata Rp 25 juta. "Biaya setting, honor pemain juga dinaikkan," kata Sandy Tyas. Yang lain di luar itu tetap diproduksi, tanpa keistimewaan apa-apa. 'Kan yang penting dana ditingkatkan dulu, terutama honor artis. Memang, TVRI mesti melangkah. Putu Setia, Tri Budianto Soekarno

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus