MUSIM dingin di Rusia kali ini merupakan masa paling sulit bagi Boris Yeltsin. Di tengah krisis ekonomi yang tak kunjung selesai, ia hampir saja kehilangan kekuasaannya sebagai Presiden Rusia, dalam pemungutan suara tujuh amandemen oleh Parlemen Rusia Sabtu pekan lalu. Untung saja suara yang mendukung perubahan beberapa pasal dalam UUD itu kurang empat suara dari 694 suara yang disyaratkan. Kalau tidak, "Yeltsin akan berperan mirip Ratu Inggris," kata Alexander Shokhin, wakil perdana menteri. Ketujuh amandemen yang urung itu antara lain menetapkan bahwa presiden tak lagi punya wewenang menunjuk para menterinya secara leluasa. Presiden Rusia diwajibkan mengusulkan nama-nama calonnya kepada parlemen terlebih dahulu. Dan, seluruh kebijaksanaan Yeltsin nantinya akan ditentukan pula oleh parlemen. Untung semua itu tak terjadi. Tapi tak berarti Yeltsin sudah menang 100%. Awal pekan ini ia harus menghadapi tantangan parlemen Rusia yang menyangsikan kemampuan Penjabat Perdana Menteri Yegor T. Gaidar. Ekonom muda berusia 36 tahun itu, yang arsitek ekonomi pasar bebas Rusia, adalah orang kepercayaan Yeltsin. Kalahnya suara yang mendukung Gaidar memang gampang diramalkan. Sejauh ini reformasi ekonominya tak juga dirasakan oleh kebanyakan orang Rusia. Ekonomi Rusia justru terasa makin sulit. Inflasi, misalnya, diramalkan bakal mencapai 2.000% akhir tahun ini. Lalu pengangguran meningkat tajam hingga mencapai angka 900.000. Itu semua makin diparahkan karena bantuan dana dari negara-negara Barat terhenti gara-gara Rusia tak berhasil memenuhi persyaratan Dana Moneter Internasional untuk menstabilkan mata uang rubel. Walhasil, janji negara-negara donor sebesar US$ 24 milyar April lalu tinggal angin semata. Memang tak semua orang Rusia mengeluh. Sistem ekonomi pasar bebas, yang diperkenalkan Yeltsin Januari silam, ternyata sangat dinikmati oleh sebagian kecil golongan menengah Rusia. Mereka lalu-lalang di seputar Kota Moskow sambil mengendarai mobil BMW atau Mercedes, atau menikmati makan malam dan dansa-dansi yang karcisnya seharga US$ 100 (sekitar 50.000 rubel). Tak jelas berapa penghasilan orang yang lalu-lalang dengan mobil mewah itu. Yang jelas, hanya dengan penghasilan seorang penata rambut macam Nadezhda Vaktin (3.000 rubel per bulan), segala kemewahan itu mustahil dicapai. Soalnya, akibat inflasi, tepatnya hiperinflasi, nilai rubel seperti air. November 1990, resmi satu rubel sama dengan US$ 0,56. November tahun ini, satu rubel hanya dihargai seperlima sen dolar, merosot lebih dari 250 kali. Padahal kenaikan gaji hanya rata-rata 10 kali. Seorang kepala departemen di sekolah teknik di Moskwa, yang dulunya adalah seorang insinyur antariksa di proyek angkasa luar Rusia, punya perbandingan yang menggambarkan akibat inflasi itu. "Dulu penghasilan saya lebih dari 500 rubel dan saya hidup bagaikan seorang pangeran," tuturnya kepada wartawan majalah Time. "Kini saya digaji 5.250 rubel dan tiap hari saya merasa bangkrut." Meski begitu, banyak pengamat ekonomi yang memperkirakan ekonomi Rusia dapat diperbaiki. Bukankah kenaikan harga tak menimbulkan gejolak sosial cukup besar selama ini? Dan tak semua kegagalan harus ditanggung Yeltsin bersama kelompoknya, mengingat Rusia belum sepenuhnya menjalankan reformasi ekonomi. Sistem perpajakan, misalnya, belum sepenuhnya dijalankan. Mungkin, dengan tetap duduknya sejumlah orang-orangnya, termasuk ekonom Yegor Gaidar, Yeltsin dapat meyakinkan kembali negara-negara donor untuk tetap membantunya. Seperti yang ditulis ekonom Rusia, Aleksei Izyumov, dalam majalah Newsweek pekan lalu, bahwa krisis yang sekarang ini merupakan "salah satu tahap dari langkah penyembuhan ekonomi, yang membutuhkan waktu lama". Banyak ramalan menunjukkan bahwa pada tahun 1994 ekonomi Rusia akan berbalik dan tumbuh pesat. Syarat untuk itu sudah tersedia, meski belum berjalan penuh: politik yang demokratis, program swastanisasi, pasar bebas, antara lain. Memang kemudian kuncinya adalah satu: sanggupkah Yeltsin meyakinkan negara-negara donor untuk tetap membantu program reformasi yang sudah telanjur dijalankannya itu? Soalnya, tanpa dana bantuan, dikhawatirkan rakyat Rusia, yang kini memikul kebangkrutan ekonominya dengan optimistis bahwa ada harapan kemajuan di masa depan, menjadi putus asa. Dan bila itu terjadi, suatu kekacauan bakal menghancurkan, setidaknya menghambat, kemajuan Rusia. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini