Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

"Jumlah Korban Bisa Bertambah"

Romo Sandyawan Sumardi rupanya sedang puasa bicara kepada pers. Apalagi jika ditanya soal kasus pemerkosaan medio Mei. "Agar suasana mendingin dulu," katanya. Padahal, gelombang kontroversi memang berpusar kencang di sekeliling sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan ini. Romolah yang pertama kali berani bicara lantang: jumlah korban pemerkosaan mencapai 168 orang--dan reaksi internasional pun memojokkan pemerintah. Bagaimana Romo sampai pada kesimpulan itu? Berikut penuturannya kepada Iwan Setiawan dari TEMPO, akhir September lalu.

3 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semula Tim Relawan menyebut 168 orang yang diperkosa pada kerusuhan Mei lalu. Setelah diselidiki, berapa jumlahnya?

Saat ini saya tidak mau menyebutkannya. Sudah menjadi kesepakatan dari Tim Relawan, kami baru akan memberi tahu angka pasti korban setelah TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) mengumumkan hasil temuannya. Orang sering berasumsi bahwa setelah verifikasi, jumlahnya berkurang. Bisa jadi justru meningkat karena ada korban yang baru melapor.

Tapi, menurut Sidney Jones dari Asia Watch, metode pengumpulan data Anda lemah.…

Tidak benar pengambilan data Tim Relawan dilakukan asal-asalan, misalnya hanya lewat telepon atau internet. Kami hanya memasukkan data yang diperoleh langsung dari sumber primer: korban atau keluarganya. Sehingga, kami punya data lengkap korban, mulai dari nama, umur, alamat, kapan korban diperkosa, dan tempat kejadiannya.

Sebelum kasus ini, hubungan Sidney dengan LSM di Indonesia baik. Termasuk dengan saya. Selama ini ia dikenal sebagai pembuat laporan yang baik. Tapi, kali ini Sidney berlaku naif. Ia melakukan investigasi dengan mencari korban langsung di rumah-rumah sakit. Tentu saja para dokter menutupinya. Kesalahan ini seperti kesalahan polisi. Seharusnya ia tahu, dokter tidak berhak memberikan data tanpa persetujuan pasien.

Sampai ada seorang dokter yang merawat korban protes. Ternyata, Sidney mendatanginya dan mengaku-aku mendapat izin saya untuk menemui korban. Kasus semacam ini sering terjadi. Selain itu, ia mengumpulkan data hanya dalam waktu satu setengah minggu. Jadi, datanya sangat lemah. Dasar penilaiannya atas data tim relawan juga lemah karena ia tidak pernah mempelajari data yang kami buat. Ia cuma melihatnya sekilas di Kalyanamitra (LSM yang menangani persoalan perempuan).

Jadi, benar terjadi pemerkosaan massal?

Ya, benar. Buktinya, dalam waktu singkat, pada 13-14 Mei, terjadi banyak pemerkosaan di wilayah yang amat luas dan waktunya hampir bersamaan. Dan jelas, itu terorganisasi. Pemerkosaan berlangsung sistematik. Dengan pola dan modus operandi yang seragam. Pelakunya dua atau tiga orang dan dilaksanakan secara cepat.

Adakah korban yang berani bersaksi?

Ya. Tapi kapan mereka akan bersaksi, saya tidak tahu. Untuk membuat mereka berani bersaksi, butuh waktu lama untuk menyembuhkan traumanya lebih dulu. Apalagi jika keluarga korban terus diteror seperti sekarang. Kami para pendamping juga diteror lewat telepon, walau sejauh ini belum terjadi penganiayaan fisik. Saya sendiri pernah didatangi tiga orang. Mereka bilang, membunuh saya adalah perkara mudah. Tapi yang membuat saya khawatir, takut, dan marah, adalah pengakuan mereka sendiri yang merekrut para pemerkosa pada kerusuhan Mei lalu. Mereka juga mengancam memerkosa empat gadis keturunan Tionghoa yang sedang bersama saya saat itu.

Bagaimana ciri-cirinya?

Ketiganya berbadan kekar, berambut pendek, gaya bicaranya tegas dan tidak suka dibantah. Melihat caranya mengintimidasi, mereka terlihat sangat profesional.

Ada indikasi keterlibatan militer?

Dari bukti-bukti yang kami dapat di lapangan, agak sulit untuk langsung mengatakan militer terlibat.

Anda menemui langsung korban?

Ya. Saya menemui lebih dari 15 korban. Sebagian besar kondisinya amat memprihatinkan. Rata-rata stres berat, bahkan ada yang gila.

Yang Anda bawa ke Kongres AS dan Jenewa bukan korban pemerkosaan Mei.…

Benar. Di depan Kongres saya jelaskan bahwa ia adalah korban pemerkosaan bulan Juni di Jakarta. Tetapi, menurut pengakuannya kepada saya, ketiga pemerkosanya itu bilang ikut memerkosa pada bulan Mei. Jadi, jelas, peristiwa setelah Mei berhubungan erat dengan pemerkosaan Mei.

Bagaimana cara menyelesaikan kasus ini? Diajukan ke meja hijau?

Hukum di Indonesia terlalu sempit untuk mengusut pemerkosaan massal. Kasus ini juga berbeda dengan yang terjadi di Bosnia dan Rwanda. Di sana suasananya kan peperangan. Di sini tidak. Pemerkosaan dipilih sebagai satu bentuk teror karena dampaknya yang demikian buruk. Jadi, pendekatan dari segi hukum saja tidak mencukupi. Bisa jadi, korban malah dianggap tidak ada karena bukti dan saksi yang ada dinilai tidak mencukupi.

Maka, perlu ada pendekatan ekstralegal. Harus ada usaha simultan dari pemerintah dan masyarakat untuk membongkar jaringan pelaku kekerasan itu. Saya yakin, pemerkosaan ini terkait dengan peristiwa penjarahan dan pembunuhan. Rakyat kecil kan cuma jadi tumbal. Sesulit apa pun, kami akan berupaya membawanya ke pengadilan. Kita harus mencoba semua jalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus