Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Deforestasi Terencana di Papua  

Deforestasi terencana di Papua menyimpan banyak pelanggaran manajemen hutan lestari. Mematahkan klaim Presiden Joko Widodo dalam COP26 Glasgow tentang penurunan laju deforestasi.

6 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hutan primer di Papua menyusut 19 ribu hektare karena deforestasi yang dilegalkan pemerintah

  • Ada banyak pelanggaran dalam praktik manajemen hutan lestari.

  • Pemerintah tak memberikan sanksi dan mengabaikan praktik umum di HPH Papua ini.

Presiden Joko Widodo mengklaim laju deforestasi Indonesia turun ke titik terendah dalam 20 tahun terakhir. Laporan penurunan emisi atau Nationally Determined Contribution Indonesia kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menyebutkan area deforestasi terencana selama 2013-2020 hanya seluas 39.285 hektare. Penelusuran Tempo di Papua menemukan sebaliknya: area deforestasi selama 2019-2020 saja seluas 19.807 hektare. Perusahaan kayu melanggar sejumlah ketentuan manajemen hutan lestari dan produksi kayu legal.


TIBA-TIBA saja, seorang laki-laki gempal masuk ke ruang pertemuan kantor PT Prabu Alaska di Kaimana, Papua Barat, pada akhir April lalu. “Kamu tahu kita keluarga?” katanya kepada Samuel Farisa, wakil suku Tanggarofa. Samuel tak sempat menjawab pertanyaan itu karena tangan laki-laki gempal ini mendarat di pipinya. Plak!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Samuel, 42 tahun, meringis menahan sakit. Tujuh wakil suku Tanggarofa dan Wanusanda di ruangan itu hanya bengong. Juru bicara PT Prabu Alaska, Dirgan Laberis, juga tak berkata-kata, sampai laki-laki gempal itu ke luar ruangan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia adalah Kapten Frans Aboda, Komandan Komando Rayon Militer (Koramil) Buruway. Wartawan Tempo yang berada di ruangan itu melihat pembicaraan antara juru bicara Prabu Alaska dan wakil-wakil masyarakat adat menjadi canggung. Obrolan tentang kompensasi kayu di lahan adat itu pun bubar seiring muazin di masjid Prabu Alaska mengumandangkan ikamah salat Jumat.

Tumpukan Kayu di Pelabuhan PT Prabu Alaska, di Kabupaten Kaimana, Papua Barat, April 2021. TEMPO/Erwan Hermawan

Menurut Samuel, Frans Aboda menamparnya karena tak terima atas berita di media lokal yang menyebutnya menerima kayu Prabu Alaska secara ilegal. Sebulan sebelumnya, Samuel bersama Sulfianto Alis, Direktur Eksekutif Perkumpulan Panah Papua, lembaga swadaya masyarakat pemantau hutan, mengecek operasi Prabu Alaska yang menebang pohon di lahan ulayat. Ketika mengontrol ke dalam hutan itu, mereka menemukan tempat penimbunan kayu olahan.

Dari tentara yang menjaganya, Samuel mendapat informasi kayu itu diperuntukkan bagi Komandan Koramil. Sulfianto memberikan temuan tersebut kepada sejumlah wartawan media lokal Papua Barat sehingga beritanya lumayan menghebohkan. “Saya tak tahu kayu itu untuk siapa,” kata Aboda pada Juli lalu, ketika sudah tak menjabat Komandan Koramil.

Mengolah dan menimbun kayu di area konsesi amat terlarang. Perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) harus mengirimkan kayu bulat tebangan mereka ke tempat pengolahan kayu agar pajak mereka tercatat. Rupanya, setelah berita itu beredar, Aboda mencari Samuel hingga ia mendapat kabar manajemen Prabu Alaska mengundang wakil dua suku ke kantor perusahaan untuk membicarakan urusan kayu di lahan adat.

Konsesi milik PT Prabu Alaska di Kabupaten Kaimana, Papua Barat, pada April 2021. Forest Watch Indonesia

Keterangan Aboda bertolak belakang dengan penjelasan Budi Nugraha, konsultan Prabu Alaska yang menjadi penanggung jawab perusahaan di Kaimana. “Kayu itu untuk pagar Koramil,” tutur Budi. “Saya kira tidak melanggar karena pajaknya sudah dibayar, yang menggergaji juga bukan karyawan, tapi penduduk yang kami sewa.”

Tempo mengecek tempat penimbunan kayu itu beberapa hari setelah insiden penggamparan Samuel. Sudah tak ada aktivitas pengolahan kayu di sana. Namun serbuk gergaji berceceran. Para pekerja mengatakan tak tahu siapa yang menggergaji kayu di wilayah adat itu.

Tuntutan wakil dua suku di Papua Barat itu punya dasar hukum, yakni Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 62 Tahun 2020 tentang Pedoman Penilaian Kinerja PHPL dan Verifikasi Legalitas Kayu. Aturan ini mewajibkan perusahaan pemegang HPH meminta izin kepada masyarakat adat yang tinggal di area konsesi sebelum menebang pohon.

Suasana Pelabuhan PT Prabu Alaska di Kampung Mandewa, Buruway, Kaimana, April 2021. TEMPO/Erwan Hermawan

Keputusan ini diperkuat Peraturan Gubernur Papua Barat Nomor 4 Tahun 2014 tentang kewajiban perusahaan membayar Rp 10-150 ribu per meter kubik kayu yang mereka tebang di lahan adat. Dirgan Laberis mengatakan kompensasi sudah mereka bayarkan kepada suku Tanggarofa di Fruata. Samuel Risa menolak penjelasan ini karena kayu yang ditebang itu berada di wilayah adat Tanggarofa di Rauna, tiga jam dengan kapal cepat dari Kaimana. 

Persetujuan masyarakat adat adalah salah satu syarat bagi perusahaan pemilik HPH seperti Prabu Alaska untuk mendapatkan sertifikat PHPL. Sertifikat ini menjadi syarat perusahaan bisa menjual kayu hingga ke luar negeri. “Prabu Alaska tidak pernah sosialisasi menebang kayu kepada kami,” ujar Samuel.

Masalahnya, kendati belum ada izin masyarakat adat, PT Lambodja Sertifikasi tetap menerbitkan sertifikat PHPL Prabu Alaska untuk masa tebang enam bulan ke depan pada Maret lalu. PT Lambodja memberikan sertifikat “baik” untuk manajemen kayu perusahaan ini. “Kami punya bukti-bukti sosialisasi penebangan kayu kepada masyarakat,” ucap Isbat, Direktur Utama Lambodja.

Dirgan justru mengakui ada persoalan dengan dua suku adat saat perusahaannya melakukan penebangan pada awal 2021. Dirgan beralasan operator tebang tak tahu batas wilayah adat antarmarga di area konsesi perusahaannya. “Kami hanya tahu batas antarkonsesi,” ujar Dirgan. “Karena masalah belum clear, meski sudah ada sertifikat, kayu belum kami jual.”

Untuk menyelesaikan persoalan itu, Dirgan mengundang dua suku yang lahannya masuk area konsesi. Namun pembicaraan buyar karena insiden penggamparan Samuel Farisa. Di ujung pembicaraan sebelum salat Jumat, Dirgan mengatakan perusahaannya setuju membayar tiap meter kubik kayu yang mereka tebang di lahan adat. “Soal siapa yang berhak, silakan dirundingkan di marga,” katanya.

 

•••

AREA konsesi PT Prabu Alaska Unit I paling luas di Papua Barat dibanding 36 perusahaan lain di pulau paling timur Indonesia itu. Dari 5,5 juta hektare hutan primer Papua Barat yang sudah dibagi-bagi ke 37 perusahaan, wilayah konsesi perusahaan milik pengusaha Kim Johanes Mulia ini seluas 322.780 hektare, yang izinnya terbit pada 2016. Luas ini setara dengan lima kali wilayah Jakarta, membentang dari Fakfak hingga Kaimana di Papua Barat. Area konsesi lain perusahaan ini di Papua seluas 6.435 hektare. 

Perusahaan kayu tertua di Papua Barat yang masih beroperasi adalah PT Hanurata. “Kami beroperasi sejak 1996,” tutur manajer Hanurata, Untung Karyadi. Saham perusahaan ini dimiliki Yayasan Harapan Kita dan Yayasan Trikora, yang terafiliasi dengan keluarga mantan Presiden Soeharto. Sama seperti Prabu Alaska, perusahaan ini punya dua area konsesi: 234.470 hektare di Papua Barat dan 56.235 hektare di Jayapura, Papua. 

Di Papua, wilayah konsesi hutan terluas dipegang Korindo Group, korporasi milik taipan Korea Selatan, Robert Seung. Melalui PT Inocin Abadi dan PT Tunas Timber Lestari, perusahaan ini mengelola 314 ribu hektare lahan. Ada juga PT Bade Makmur Orissa, anak usaha PT Pelayaran Korindo, yang menguasai lahan konsesi hutan tanaman industri seluas 99.750 hektare.

Global Land Analysis and Discovery University of Maryland, Amerika Serikat, mencatat deforestasi oleh perusahaan-perusahaan kayu di Pulau Papua pada 2019-2020 seluas 19.807 hektare. Menurut hitungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), setiap hektare hutan Papua yang hilang akan melepaskan karbon sebanyak 412,4 ton setara CO2. Artinya, karbon yang terlepas akibat aktivitas perusahaan sebanyak 8,2 juta ton dalam dua tahun itu setara dengan emisi karbon 3 juta mobil yang berjalan 19 ribu kilometer setahun.

Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Sarwono Kusumaatmadja tak mempersoalkan deforestasi terencana dan legal ini. Asal sesuai dengan aturan, kata mantan Menteri Lingkungan Hidup ini, “Mereka bisa diajak mengelola hutan secara lestari.”

Masalahnya, tak semua perusahaan beroperasi sesuai dengan harapan Sarwono. Ketentuan manajemen hutan lestari diatur secara rigid dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P21 Tahun 2020 serta Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Nomor 62 Tahun 2020. Dua aturan ini terus diperbarui dengan ditambahi pelbagai ketentuan pencegahan perusakan lingkungan.

Temuan Tempo selama April-Mei 2021 di Papua dan Papua Barat menunjukkan banyak pelanggaran terhadap dua aturan tersebut. Selain berkonflik dengan masyarakat adat, seperti yang dialami dua suku di Kaimana, beberapa perusahaan menebang kayu di luar rencana kerja tahunan (RKT) mereka, menebang kayu dengan menyeberang ke lahan konsesi perusahaan lain, juga kurang membayar pajak.

Paiman, operator tebang PT Widjaja Putra Jaya, yang menjadi kontraktor PT Prabu Alaska, misalnya, mengaku menebang pohon di wilayah PT Hanurata pada 2020. “Saya kira masih di Prabu Alaska, ternyata sudah masuk Hanurata,” ujarnya.

Untung Karyadi membenarkan adanya penyerobotan penebangan oleh operator Prabu Alaska di wilayah konsesinya. Menurut dia, persoalan itu sudah selesai secara baik-baik. “Kami ambil kayunya, mereka bayar operator tebangnya,” ucap Untung.

Namun masalah tak selesai begitu saja. Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor P.54 Tahun 2019 mengenai audit kepatuhan terhadap pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, seharusnya Prabu Alaska membayar denda 15 kali tarif provisi sumber daya hutan (PSDH) karena menebang di luar area konsesi mereka. PSDH adalah semacam pajak kayu yang dihitung dari volume pohon yang ditebang. Pada 2020, perusahaan ini hanya melaporkan pembayaran PSDH Rp 12,2 miliar.

Pantauan satelit citra planet basemaps dengan resolusi 5 meter persegi menunjukkan Prabu Alaska juga menebang kayu di blok tebangan yang masuk RKT 2021 pada 2020. Tiga mantan operator alat berat yang mengangkut kayu Prabu Alaska mengkonfirmasinya. Salah satunya Efron—demikian eks operator pria asal Maluku itu biasa dipanggil. “Soalnya di area 2021 kayunya lebih banyak,” katanya. Efron mencatat sekitar 3.000 meter kubik kayu merbau yang ia tebang di blok 2021. Di pasar, harga kayu endemis Papua ini dijual Rp 13,5 juta per kubik.

Dari area Prabu Alaska, Tempo bergerak ke wilayah konsesi PT Inocin Abadi, anak usaha Korindo Group di Papua. Para tentara berseliweran di sepanjang jalan masuk area konsesi. Menurut citra satelit, blok tebangan di koordinat 06.89211° Lintang Selatan dan 140.64296° Bujur Timur itu telah ditebang pada 2020. Tapi, di lapangan, petugas memasang plang bertulisan “RKT 2021”.

Mikael Omba, penduduk adat Kampung Naga yang wilayah ulayatnya berada di wilayah konsesi Inocin, mengatakan setiap tahun perusahaan ini menebang kayu di luar rencana kerja mereka. “Biasanya mereka tebang dulu baru minta izin,” ucapnya.  

Yulian Mohammad Riza, Manajer Hubungan Masyarakat Korindo Group, membantah kabar bahwa Inocin menebang kayu di luar area kerjanya. “Kami tegaskan, perusahaan tidak pernah menebang di luar RKT,” katanya. “Kami telah memberikan tanda yang jelas di tiap blok tebangan yang bisa dilihat siapa pun di lapangan.”

Samuel Farisa. TEMPO/Erwan Hermawan

Direktur Prabu Alaska Adi Gunawan, lewat Santi, sekretarisnya, menolak memberi penjelasan tentang pelanggaran serius perusahaannya dalam penebangan kayu. Menurut Santi, Adi sedang sibuk menyelesaikan masalah di perusahaan. Saeful Ichwan Suryawan, Direktur PT Intishar Sadira Ehsan yang menerbitkan sertifikat legal kayu Prabu Alaska, juga tak mau berkomentar dengan alasan masa kontrak sertifikasinya habis pada Oktober 2020. “Terima kasih informasinya. Kami harus belajar lagi,” tuturnya.

Dari area penebangan, Tempo mengecek kayu dari lahan konsesi tiga perusahaan itu ke pelabuhan angkut. Pelabuhan kayu Prabu Alaska berada di sempadan Sungai Mandewa, dua jam dari Kaimana memakai kapal cepat. Pada sore akhir April itu, hujan mengguyur pelabuhan, membasahi kertas-kertas kuning kode bar (barcode) di tumpukan kayu merbau sepanjang 5 meter berdiameter 60-170 sentimeter. 

Ketika kode bar itu dipindai dengan telepon seluler, muncul pranala ke sebuah situs web. Namun situs itu macet, tak bisa dibuka. Pemindaian di Kaimana, yang koneksi Internet-nya cukup, sama saja. Dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK, kode bar seharusnya terkoneksi ke situs yang merekam informasi kayu. Kode bar berfungsi sebagai alat pelacakan sejak penebangan hingga pengolahan oleh industri kayu, bahkan sampai ke toko akhir di luar negeri.

Di kertas kuning kode bar berlogo Indonesian Legal Wood itu tertera sertifikat nomor 107-VLK-ISE-X/2017. Sertifikat legalitas kayu yang dikeluarkan PT Intishar Sadira Ehsan itu berlaku pada 18 Oktober 2017-17 Oktober 2020. “Kok, masih dipakai? Kami sudah mencabut dan meminta Prabu Alaska tak memakainya lagi,” kata Saeful Ichwan Suryawan, Direktur Intishar.

Setelah Oktober 2020, sertifikat kayu Prabu Alaska diterbitkan oleh PT Lambodja Sertifikasi. Isbat, Direktur Utama Lambodja, mengatakan perusahaannya menerbitkan sertifikat pada Maret 2021. Artinya, ketika pengecekan pada April 2021, seharusnya kode bar kayu di pelabuhan Mandewa sudah memakai sertifikat Lambodja. Isbat tak mau berkomentar tentang hal ini dengan alasan masa kontrak auditnya berakhir pada September 2021.

Meski tak mengantongi sertifikat legalitas kayu, Prabu Alaska terus menebang pohon pada November-Desember 2020. Dalam dua bulan itu, menurut laporan yang dicatat KLHK, sebanyak 24.944,74 meter kubik kayu mereka hasilkan. Perusahaan telah membayar PSDH untuk kayu sebanyak itu Rp 4,5 miliar. Ketiadaan sertifikat kayu itu juga terekam di area tebangan.

Di koordinat 03008°19.71°° Lintang Selatan dan 133008°59.59°° Bujur Timur, operator tebang Prabu Alaska tak memasang label di tunggak pohon yang baru ditebang, bahkan di pohon yang akan dipotong. “Seharusnya diberi label, tapi hajar saja,” ujar Efron.

Kayu Merbau yang ditempeli Sertifikat Legalitas Kayu. TEMPO/Erwan Hermawan

Dengan segala centang-perenang manajemen kayu itu, deforestasi legal yang sesuai dengan aturan seperti keinginan Sarwono Kusumaatmadja tak terbukti di lapangan. Padahal Presiden Joko Widodo mengklaim dalam pidato di konferensi iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, bahwa Indonesia sudah bisa menekan laju deforestasi hingga titik terendah dalam 20 tahun terakhir yang menunjukkan komitmen pencegahan krisis iklim.


Liputan ini didukung oleh Rainforest Investigations Network of Pulitzer Center dengan kerja sama Forest Watch Indonesia, Yayasan Auriga Nusantara, Greenpeace Indonesia, Yayasan Pusaka, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, dan Perkumpulan Panah Papua.


TIM INVESTIGASI

Penanggung jawab: Bagja Hidayat
Kepala proyek: Erwan Hermawan 
Penulis: Erwan Hermawan, Dini Pramita, Agung Sedayu
Penyunting bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian
Periset foto: Ratih Purnama
Desainer: Rio Ari Seno

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Erwan Hermawan

Erwan Hermawan

Menjadi jurnalis di Tempo sejak 2013. Kini bertugas di Desk investigasi majalah Tempo dan meliput isu korupsi lingkungan, pangan, hingga tambang. Fellow beberapa program liputan, termasuk Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Lulusan IPB University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus