Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perhutanan sosial menghijaukan kembali hutan gundul serta meningkatkan perekonomian petani.
Satu kelompok berhasil menghijaukan lereng gunung yang pernah terbakar.
Beberapa kelompok memohon izin sampai menggarap lahan perhutanan sosial secara mandiri.
PROGRAM hutan sosial menghijaukan kembali lereng Gunung Arjuno di Pasuruan, Jawa Timur. Lereng di ketinggian 1.250 meter dari permukaan laut di Desa Jatiarjo itu hangus terbakar pada 2015. Api dari puntung rokok seorang pemburu kijang menghanguskan perkebunan masyarakat. Tak kurang 200 hektare lahan terbakar.
Penduduk sekitar Kecamatan Prigen di Pasuruan merambah hutan produksi yang dikelola Perusahaan Umum Perhutani sejak 1998. Mereka mengubah hutan dengan aneka komoditas pertanian. Akibatnya, lereng gundul, pasokan air pun seret. Para pemburu liar yang memakai api untuk menjebak hewan buruan membuat hutan kian rentan.
Setelah api 2015 surut, penduduk menanaminya kembali. Kali itu mereka menanam pohon buah-buahan. Ada juga tanaman bawah seperti kopi. “Kami tanam pohon apa saja secara mandiri,” kata Nurhidayat, penduduk Jatiarjo, Jumat, 30 September lalu.
Apa yang dilakukan Nurhidayat bersama penduduk desa sebenarnya ilegal. Kekuasaan politik yang melemah setelah Reformasi 1998 membuat banyak kawasan hutan bisa diakses secara terbuka. Penduduk beramai-ramai menggarap kawasan hutan negara dengan menanam tanaman semusim. Karena tindakan itu ilegal, mereka acap kucing-kucingan dengan polisi hutan atau mandor Perhutani.
Setelah kejadian pada 2015 itu, penduduk desa lereng Arjuno mulai sadar akan kekeliruan mereka. Penduduk desa mendengar perambahan hutan akan dilegalkan melalui skema perhutanan sosial. Pada 2016, untuk pertama kalinya pemerintah menjadikan perhutanan sosial program prioritas nasional. Selain menyelesaikan konflik sosial perambahan hutan, perhutanan sosial digunakan Presiden Joko Widodo sebagai cara mengentaskan penduduk miskin di sekitar hutan.
Petani kopi dari Kelompok Tani Hutan Sumber Makmur Abadi di lereng Gunung Arjuno di Pasuruan, Jawa Timur.
Nurhidayat pun bersiap mengajukan lahan garapan mereka. Salah satu syarat mengikuti perhutanan sosial adalah memiliki kelompok tani. Ada 20 tetangganya yang bersedia bergabung. Mereka menggunakan nama Kelompok Tani Hutan (KTH) Sumber Makmur Abadi. Nurhidayat, 43 tahun, menjadi ketuanya.
Lahan garapan yang mereka ajukan seluas 34 hektare di petak 21 dan 30. Setelah dua tahun pengurusan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan izin pengelolaan hutan perhutanan sosial (IPHPS). Ini jenis perhutanan sosial di area Perhutani yang tutupan hutannya kurang dari 10 persen. Jika tutupan hutan masih bagus, biasanya skema yang digunakan pengakuan dan perlindungan kemitraan kehutanan (kulin KK) dengan Perhutani.
Sewaktu mereka mendapatkan IPHPS, ucap Nurhidayat, pohon di area garapan yang tak terbakar sudah tumbuh karena ditanam pada 2004. Karena itu, di bawahnya mereka menanam kopi, tanaman tropis yang tumbuh baik di bawah naungan kanopi pohon.
Ada 10 hektare tanaman kopi. Tiap hektare menampung 1.000 batang. Jenisnya arabika. “Tiap pohon menghasilkan 20 kilogram buah kopi basah,” tutur Nurhidayat. Harga jual green bean kopi lereng Arjuno Rp 100 ribu per kilogram di pasar lokal Jawa Timur. KTH Sumber Makmur bahkan mengekspor 1,2 ton kopi setahun ke Prancis, Swiss, dan Cina.
Pengurusan izin hingga upaya mendapatkan pasar kopi arabika, Nurhidayat mengungkapkan, mereka lakukan sendiri. Tak ada pendamping perhutanan sosial yang membantu mereka. Karena itu, ketika KLHK hendak menerapkan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK), Nurhidayat juga mengajukan lahan.
Lewat KHDPK, KLHK hendak menarik 1,1 juta dari 2,4 juta hektare area Perhutani. Lahan yang hendak diambil umumnya tidak produktif, hutan lindung yang rusak, ataupun sudah diberi IPHPS atau kulin KK. Nurhidayat mengajukan 1.000 hektare area baru untuk hutan desa. “Bagus untuk meredam konflik lahan antarmasyarakat di sini,” ujarnya.
Menurut Nurhidayat, perhutanan sosial membuat mereka tenang menggarap hutan negara. Dulu, sebelum beroleh IPHPS, mereka acap bentrok dengan mandor Perhutani. Dengan tenang menggarap lahan, petani menjadi lebih produktif. Kini penghasilan dari kopi saja Rp 4 juta per bulan per petani.
Di Cianjur, Jawa Barat, KTH Satria Mandiri dan KTH Rindu Alam juga membudidayakan kopi di 87 hektare area Perhutani. Bedanya, mereka mendapat pendampingan dari Yayasan Prakarsa Hijau Indonesia. Dua KTH itu memperoleh IPHPS pada 2018. Naungan kopi adalah pohon buah-buahan, seperti alpukat, aren, dan jengkol.
Menurut Santoso, pendamping Yayasan Prakarsa, dari kopi saja 65 petani di dua KTH itu mendapat penghasilan Rp 180 juta tiap panen—biasanya empat kali setahun. Mereka melabeli kopi Cianjur itu Kopi Sarongge, merujuk pada nama bukit setinggi 1.535 meter di batas Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tahun ini, panen alpukat menghasilkan Rp 14 juta dan jengkol Rp 8 juta. “Penghasilan sehari-hari petani menyadap pohon nira,” kata Santoso.
Meski lahan sudah menghasilkan, Santoso melanjutkan, petani Sarongge belum tergolong sejahtera karena panen masih musiman. Namun, dengan skema perhutanan sosial, penghasilan petani lebih stabil dan ada kepastian menggarap lahan karena masa pengelolaannya 35 tahun. Sebelum 2018, petani harus membagi hasil pertanian mereka dengan Perhutani. “Sekarang bagi hasil kalau untung saja,” tuturnya.
Kebakaran di lereng Gunung Arjuno di Pasuruan, Jawa Timur, pada 2015.
Sebagai pendamping, Santoso membantu petani membangun kelembagaan KTH hingga menemukan pasar komoditas petani. Kopi Sarongge bahkan diekspor ke Hamburg, Jerman, dengan pembeli tetap sebuah kafe terkenal. Selama membantu petani mengurus izin perhutanan sosial ataupun memasarkan komoditasnya, Santoso tak memungut biaya sepeser pun.
Cerita kopi yang menjadi primadona hutan sosial bukan hanya milik Jawa. Petani KTH Tanjung Lestari di Desa Tanjung Agung, Ogan Komering Ulu Selatan, Sumatera Selatan, juga membudidayakan kopi di lahan perhutanan sosial mereka. KTH ini mendapat izin hutan kemasyarakatan seluas 231 hektare. Selain membudidayakan kopi, petani menanam alpukat, pinang, cengkih, dan kayu manis.
Ahmad Zubaidi, Ketua KTH Tanjung Lestari, mengungkapkan, sejak izin perhutanan sosial diperoleh, pendapatan petani naik 20 persen. Mereka membantu mengolah, mengemas, dan memasarkan Kopi Ranau, merek dagang kopi Tanjung Agung. Ranau merujuk pada Danau Ranau yang terkenal di Ogan Komering Ulu Selatan. "Semua kami usahakan sendiri," kata Zubaidi.
Karena dekat dengan Danau Ranau, Zubaidi sempat mendiskusikan dengan petani lain mengembangkan ekowisata. Tapi kerepotan mengurus hutan sosial berbasis lahan membuat mereka menunda rencana itu.
Skema perhutanan sosial lain yang menghasilkan secara ekonomi adalah hutan tanaman rakyat di Desa Muara Burnai II, Ogan Komering Ilir. Di sini ada Gabungan Kelompok Tani Sialang Makmur yang mengelola 270 hektare hutan produksi sejak 2018. Petani menanam pohon karet. “Rata-rata pendapatan petani Rp 3,2 juta per bulan per hektare,” ujar Gunawan, ketua gabungan kelompok tani itu.
Setiap petani biasanya menggarap 2 hektare lahan. Penduduk Muara Burnai umumnya transmigran dari Jawa yang merambah lahan konsesi sawit PT Inhutani. Karena sawit terlarang dalam perhutanan sosial, penduduk menggantinya dengan karet.
Saat mulai merambah areal Inhutani pada 1997, penduduk mengkapling garapannya rata-rata 6 hektare. Setelah hutan sosial mereka bersedia menguranginya menjadi maksimal 2 hektare per keluarga. Kini getah karet petani dibeli oleh Shamrock Manufacturing Company Rp 29 ribu per kilogram. “Alhamdulillah, kehadiran offtaker membuat harga jadi stabil,” kata Gunawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo