Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Pungutan Liar Perhutanan Sosial

Pemimpin petani dan aktivis LSM melakukan pungutan liar kepada petani hutan sosial. Jumlah pungutan diperkirakan Rp 300 miliar.

2 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lokasi perhutanan sosial di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, 7 September 2022. Dok. TEMPO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pendamping dan perusahaan menunggangi perhutanan sosial demi keuntungan mereka.

  • Kelompok tani yang didampingi Gema dan Semut Ireng memungut uang dari petani penggarap di Jawa.

  • Perusahaan memutihkan pelanggaran mereka lewat perhutanan sosial.

Hutan sosial menjadi program prioritas nasional sejak 2016 seluas 12,7 juta hektare. Masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan negara bisa meminta izin pemerintah mengelola hutan maksimal 2 hektare per keluarga. Syaratnya: membentuk kelompok tani dan mendapat pendampingan dari penyuluh kehutanan, aktivis lembaga swadaya masyarakat, atau profesional kehutanan. Program ini gratis. Tapi, di Jawa, petani pendamping melakukan pungutan liar. Di Sumatera, perusahaan hutan tanaman industri memutihkan perambahan memakai izin perhutanan sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH empat tahun berlalu, tapi Sumila masih ingat bagaimana ia pontang-panting mencari Rp 500 ribu yang diminta pengurus Kelompok Tani Hutan (KTH) Sukobubuk Rejo. Uang itu adalah syarat bagi perempuan 65 tahun ini tetap menjadi anggota KTH agar terus bisa mendapatkan akses mengelola hutan negara yang jaraknya 4 kilometer dari rumahnya di Desa Bermi, Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, melalui program hutan sosial.

Pengurus KTH Sukobubuk berdalih pungutan tersebut untuk membiayai operasi dan administrasi pengurus. Sumila tak punya uang sama sekali. Ia cemas tak bisa membayar pungutan sehingga tak bisa lagi menggarap hutan seluas 2.500 meter persegi yang selama ini menjadi andalan hidup keluarganya. “Anak saya sampai berutang ke tempat kerjanya di Indomaret,” kata Sumila, terisak, pada Jumat, 9 September lalu.

Lahan yang dikelola Sumila adalah area Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau Perum Perhutani. Penduduk di Kecamatan Gembong sudah lama menggarap lahan tersebut untuk hidup sehari-hari. Namun, karena lahan itu milik negara, kegiatan Sumila menanam singkong dan jagung di area itu tergolong ilegal. Ia dicap sebagai perambah hutan. Perhutani tak dapat mengusir mereka karena bisa timbul konflik sosial.

Lokasi perhutanan sosial di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, 7 September 2022. Dok.TEMPO

Pada 2016, perambahan hutan oleh penduduk desa seperti Sumila dilegalkan melalui program perhutanan sosial. Pemerintah menyediakan 12,7 juta hektare hutan negara untuk dikelola masyarakat, baik yang sudah telanjur menjadi perambah maupun penggarap lahan baru. Hingga pertengahan 2022, alokasi hutan sosial bertambah menjadi 14,7 juta hektare.

Biasanya area hutan sosial adalah bekas lahan konsesi hak pengusahaan hutan dan hutan tanaman industri. Pada 2018, ada juga bentuk perhutanan sosial berupa kemitraan konservasi melalui kesepakatan petani dengan balai taman nasional. Pengelolaan hutan sosial berdurasi 35 tahun, maksimal 2 hektare per keluarga, dan bisa diwariskan tapi tak dapat dipindahtangankan kepada orang selain anggota keluarga atau dijadikan agunan kredit ke bank.

Status lahan Perhutani yang digarap Sumila di Desa Bermi adalah hutan produksi. Sebagai resolusi konflik tenurial, perhutanan sosial akan melegalkan perambahan Sumila dan penduduk lain di desanya. Syaratnya: tergabung dalam KTH. Ada 150 petani yang tergabung dalam KTH Sukobubuk yang dipimpin Saman, yang juga menjabat Ketua Yayasan Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial (Gema PS) Indonesia di Jawa Tengah.

Warga menunjukkan tanda patok rencana penanaman tebu oleh Perhutani di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, 7 September 2022. TEMPO/Erwan Hermawan

Gema PS Indonesia adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menjadi pendamping perhutanan sosial di Jawa. Pemerintah mewajibkan KTH mendapat pendampingan. Jika tak ada penyuluh kehutanan pemerintah, pendamping petani bisa datang dari LSM, perguruan tinggi, atau profesional kehutanan. 

Dipimpin Siti Fikriyah Khuriyati, calon anggota legislatif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada 2019, Gema PS mengklaim mendampingi 100 ribu petani di Jawa yang tergabung dalam 250 KTH. San Afri Awang, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Lingkungan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup 2015-2017, menjadi pembina.

Siti Fikriyah mengklaim organisasinya sudah mengajukan permohonan izin perhutanan sosial seluas 60 ribu hektare, terutama di area Perhutani karena fokus kerja Gema PS berada di Jawa. Berbeda dengan di luar Jawa, ada dua skema hutan sosial di area Perhutani: izin pengelolaan hutan perhutanan sosial (IPHPS) dan pengakuan perlindungan kemitraan kehutanan (kulin KK). 

Petani di area perhutanan sosial yang dikelola Kelompok Tani Hutan Sukobubuk Rejo, di Pati, Jawa Tengah, pada 2020. Dok. KTH Sukobubuk Rejo

Perbedaan IPHPS dengan kulin KK ada pada skema kerja sama dan tingkat deforestasi. Dalam skema IPHPS, biasanya tutupan hutannya tinggal 10 persen dan izinnya diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sedangkan hutan dalam kulin KK masih bagus dan skemanya berbentuk kerja sama bagi hasil komoditas antara petani dan Perhutani.

KTH Sukobubuk, yang beranggotakan 1.400 petani, mendapatkan IPHPS pada Juli 2018. Sebulan kemudian, lewat surat edaran Saman meminta tiap anggota KTH menyetor Rp 500 ribu. Dengan penghasilan tak menentu dari panen jagung dan ketela Rp 1 juta per panen, Sumila tak punya uang sebanyak itu. “Kalau panen jelek hanya bisa dapat Rp 100 ribu sekali panen,” ucapnya, tak henti terisak. Lewat surat itu, Saman mengancam petani yang tak membayar iuran otomatis keluar dari KTH.

Berbeda dengan Sumila, Trishadi memilih tak membayar meski ditagih serta ditakuti pengurus KTH tak memperoleh area hutan sosial. Ia mengaku tak takut lahan garapannya seluas 5.000 meter persegi diambil petani lain. Tapi tahun lalu petani 67 tahun ini membayar juga kepada pengurus KTH. Nilainya empat kali lipat atau sebesar Rp 2 juta. “Hanya ini lahan yang saya punyai,” tuturnya.

Fathurrahman juga membayar Rp 2 juta. Laki-laki 47 tahun ini membenarkan kuitansi pembayaran yang ditunjukkan Tempo. “Saya telat bayar, jadi ada semacam denda,” katanya. Begitu juga Muhammad Solihin, yang membayar Rp 1 juta pada 2018. Tapi ia diharuskan membayar penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 104 ribu pada tahun berikutnya. “Padahal waktu itu tanaman saya gagal panen karena hama tikus,” ujar Solihin.

Saman menyangkal ada pungutan liar atas nama perhutanan sosial kepada anggota KTH Sukobubuk. Menurut dia, uang yang disetor anggotanya sebesar Rp 500-700 ribu adalah iuran koperasi yang dibayarkan sekali seumur hidup. “Nanti dikembalikan melalui pinjaman bibit jagung dan pohon buah,” ucapnya. Ia juga menyangkal ada intimidasi kepada petani yang tak membayar. “Sampai sekarang masih ada yang belum bayar.”

Ihwal PNBP, Saman mengatakan yang benar adalah pajak bumi dan bangunan (PBB). Nilainya Rp 100-200 ribu per tahun. Ia mengaku masih menyimpan uang PBB dari petani anggota KTH karena belum diambil petugas pajak. Adapun para pengurus KTH Patiayam Rejo, yang berada di desa sebelah, mengaku sudah menyetor PBB Rp 72 juta.

Di Rembang, kabupaten sebelah Pati, Gema PS juga mendampingi KTH Gemah Ripah di Desa Pasedan, Kecamatan Bulu. Di sini nilai nominal pungutan dihitung per meter persegi lahan garapan petani sebesar Rp 200. Menurut Muhammad Mustain, 39 tahun, uang itu dipakai untuk membiayai pengukuran lahan garapan oleh pengurus KTH. Mantan juru ukur KTH Gemah Ripah ini mengatakan petani hendak mengajukan area garapan mereka di lahan Perhutani itu menjadi perhutanan sosial seluas 150 hektare.

Lain cerita di Madiun, Jawa Timur. Asmadi, Ketua Kelompok Tani Hutan Batur Wono Joyo di Kecamatan Pajaran, menolak tawaran pendampingan oleh Gema PS lagi. Soalnya, meski pelbagai syarat telah diurus, surat keputusan IPHPS tak kunjung terbit hingga sekarang. “Katanya bakal terbit dalam setahun,” tuturnya.

Asmadi mengatakan selama tiga tahun tiap petani paling tidak mengeluarkan Rp 5 juta buat mengurus izin perhutanan sosial. “Belum patungan tasyakuran, cendera mata untuk pengurus Gema seperti bonsai atau balok kayu setiap kali mereka datang ke sini,” ujarnya.

Sama seperti Saman, Siti Fikriyah Khuriyati mengatakan iuran petani diperuntukkan bagi kepentingan petani. “Bukan untuk membayar kementerian, tapi ongkos transportasi petani, makan, fotokopi, pemberkasan syarat pengajuan hutan sosial. Mereka bayar orang lain karena banyak petani yang buta huruf,” katanya.

Fikriyah mengatakan tak sepeser pun uang setoran petani yang didampingi organisasinya masuk ke rekening Gema PS. Semua iuran, termasuk biaya pemetaan Rp 200 per meter, menurut Fikriyah, ditetapkan berdasarkan kesepakatan dengan petani. Bahkan, Fikriyah menambahkan, pendamping lebih banyak keluar uang sendiri saat mengurus izin perhutanan sosial. “Kalau boleh jujur, pendamping yang berjibaku. Taruhannya rasa malu kalau izin enggak terbit,” ucapnya.

Selain Gema, LSM pendamping perhutanan sosial di Jawa yang cukup besar adalah Semut Ireng. Suyanto, aktivis Semut Ireng, juga mengakui kelompok tani yang ia dampingi memungut iuran dari petani. Ia mendampingi Kelompok Tani Hutan Mulyo Silayang di Randublatung, Blora. Setiap petani menyetor Rp 300 ribu. “Semua setoran untuk kepentingan KTH berdasarkan kesepakatan,” ujarnya.

KTH Mulyo Silayang sedang mengajukan permohonan izin perhutanan sosial seluas 350 hektare. Menurut Suyanto, iuran anggota itu termasuk Rp 100 ribu per bidang untuk membayar PT Mitra Geo Survey Indonesia yang mengukur luas area lahan perhutanan sosial. “Waktu pengukuran sebulan lebih,” tutur Lasdiono, Bendahara KTH Silayang. “Belum fotokopi berkas-berkas.” 

Koordinator Perhutanan Sosial Semut Ireng, Jundi Wasono, membenarkan ada iuran petani di KTH yang didampingi organisasinya. “Tapi saya melarang semua pendamping Semut Ireng menikmati iuran itu,” katanya.  

Jundi juga blakblakan mengatakan beberapa KTH yang ia dampingi sudah memungut PBB dan PNBP dari petani. Contohnya KTH Patiayam Rejo di Pati serta KTH Mbah Sariman Jaya di Blora. Kedua kelompok tani itu sudah membayar PBB kepada kantor pajak masing-masing Rp 72,6 juta dan Rp 34,9 juta pada 2021.

Menurut Jundi, kedua kelompok itu membayar PBB karena ada tagihan dari kantor pajak. Lagi pula, dia menambahkan, pembayaran PBB dan PNBP tertulis dalam surat keputusan IPHPS sebagai kewajiban petani pengelola hutan negara. “Uang PNBP masih ada di kelompok, belum kami bayarkan ke kantor pajak,” ujar Jundi.

Belakangan, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyanto menerbitkan surat edaran yang melarang pelbagai macam pungutan, termasuk PNBP. Jundi mengaku bingung atas surat itu. Menurut dia, perintah memungut PBB dan PNBP amanat dari IPHPS yang ditandatangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Larangan yang dimaksud Jundi adalah surat edaran Bambang Supriyanto pada Juni dan Agustus 2022. Dalam surat itu, Bambang melarang pendamping atau ketua KTH mengambil pungutan dari anggotanya, termasuk PNBP. Penerbitan edaran itu, kata Bambang, adalah upaya pemerintah memutus pemungutan di lapangan. “Pungutan seperti itu tidak benar dan tanpa dasar,” ucapnya. “Bisa masuk pidana umum karena pungutan liar.”

Meski tindakan itu masuk ranah pidana, KLHK tak kunjung menindak KTH atau pendamping yang memungut iuran. Bambang beralasan tak ada petani atau masyarakat serta pemerintah daerah yang membuat laporan resmi kepada KLHK. “Aturannya jelas: permohonan perhutanan sosial, verifikasi, sampai terbit izin gratis,” tuturnya.

Masalahnya, kata Siti Fikriyah, KLHK tak punya anggaran sosialisasi perhutanan sosial. Peran pemberi sosialisasi diambil alih oleh pendamping mandiri sehingga mereka memerlukan biaya dari iuran petani. Bambang Supriyanto mengatakan pendamping mandiri bisa mengakses dana lembaga donor untuk membiayai pendampingan. “Bisa kami endorse,” ujarnya.

Siti Fikriyah dan Jundi Wasono dulu adalah kolega yang menghela Sekretariat Bersama Hutan Jawa. Kumpulan LSM ini berisi pegiat perhutanan sosial. Ada Semut Ireng, Omah Tani, juga Yayasan Kehutanan Indonesia. Mereka adalah relawan pendukung Presiden Joko Widodo dalam Pemilihan Umum 2014 dan 2019. Mereka acap bentrok dengan kebijakan-kebijakan Perhutani.

Pada 2018, semua organisasi dalam sekretariat itu sepakat membentuk wadah baru bernama Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial. Gerakan itu pecah setahun kemudian. Pendirinya membangun organisasi sendiri-sendiri. Fikriyah membentuk Yayasan Gema Perhutanan Sosial Indonesia, sementara Jundi tetap di Semut Ireng. “Visi dan misi kami sudah tidak sejalan,” kata Fikriyah.

Jundi mengatakan gerakan pecah bukan karena perbedaan visi dan misi para pendirinya, melainkan lantaran urusan uang terkait dengan maraknya pungutan terhadap petani hutan. “Pungutan tidak hanya terjadi sekarang. Sudah lama, termasuk oleh Perhutani,” tuturnya. 

Pemungutan oleh petugas Perhutani ini yang membuat pemerintah mengubah kebijakan perhutanan sosial. Memanfaatkan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah hendak menarik 1,1 juta hektare dari 2,4 juta hektare area Perhutani menjadi kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK). Dari enam skema, perhutanan sosial menjadi salah satu cara mengelola KHDPK.

Saman, Kepala Desa Sukobubuk sekaligus ketua Kelompok Tani Hutan Sukobubuk Rejo. TEMPO/Erwan Hermawan

Menurut Bambang Supriyanto, meski Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sudah menerbitkan surat keputusan nomor 287 tentang luas KDHPK tiap provinsi, kebijakan ini belum resmi karena petunjuk teknis dan pelaksanaannya belum siap semuanya. Namun, di lapangan, para pengurus Gema PS Indonesia sudah mensosialisasi peta KHDPK.

Di Kediri, Jawa Timur, misalnya, beredar peta KHDPK Desa Manggis bertanda tangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Siti Fikriyah membenarkan peta itu. Ia mengatakan Gema membuat peta KHDPK di setiap lokasi yang mereka dampingi, termasuk di Desa Manggis. “Kami takut yang sudah kami advokasi bertahun-tahun tidak masuk KHDPK,” katanya. “Soal Kediri ini sudah koordinasi dengan Perhutani juga.”

Bambang mengatakan peta KHDPK Desa Manggis yang bertanda tangan Menteri Siti Nurbaya adalah peta palsu. “Itu ngawur,” ucapnya. Peta KHDPK asli, ujar Bambang, berukuran skala 1 : 2 juta dan baru diterbitkan di situs web KLHK pada akhir pekan lalu.

Kuitansi pungutan Lembaga Masyaarakat Desa Hutan Wonosobo Desa Puncel, Kabupaten Pati, didampingi Perhutani.

Menurut Bambang, pemungutan oleh para petugas Perhutani terhadap petani hutan sosial sudah berlangsung lama. Tempo memperoleh banyak kuitansi pungutan oleh pengurus lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) yang berada di bawah pendampingan Perhutani. Jumlah pungutan pengurus LMDH Rp 100 ribu-2 juta.

Di Desa Manggis, LMDH Adil Sejahtera meminta petani penggarap area Perhutani menyetor Rp 300 ribu-2,4 juta. Dalam kuitansi setoran, tujuan pungutan tak begitu jelas, hanya disebut bagi hasil. Jika mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 39 Tahun 2017, surat keputusan IPHPS ataupun naskah kerja sama kulin KK memang menerakan rasio bagi hasil pendapatan bisnis komoditas kehutanan sebesar 70 persen untuk petani.

Ketua LMDH Adil Sejahtera Sudarno tak menyangkal keberadaan pungutan itu. Menurut dia, pungutan itu sudah ada sebelum ia menjabat pada 2017. Bahkan, ketika baru menjabat, Sudarno mengklaim, ia mesti melunasi tunggakan bagi hasil kepada Perhutani Rp 246 juta. “Kami memiliki bukti transfer kepada Perhutani,” katanya.

Kuitansi Pungutan oleh Kelompok Tani Hutan Sukobubuk Rejo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Direktur Sumber Daya Manusia, Umum, dan Teknologi Informasi Perhutani Muhamad Denny Ermansyah juga tak memungkiri ada praktik pungutan melalui LMDH. Namun, dia menjelaskan, status pungutan adalah bagi hasil yang disepakati LMDH dengan Perhutani dalam perjanjian kerja sama. Ia mengatakan biasanya petani memberikan bagi hasil 10-20 persen dari hasil panen tanaman semusim kepada Perhutani. “Prinsipnya harus ada yang masuk ke kas negara,” ujarnya.

Bambang Supriyanto menyebutkan pemungut pajak melalui perhutanan sosial seharusnya tetap petugas pajak, bukan petani atau ketua KTH. Dengan KHDPK, tutur dia, pemerintah ingin membereskan karut-marut pengelolaan hutan di Jawa. “Agar Perhutani berfokus pada bisnisnya, bukan membereskan konflik lahan,” ucap Bambang.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara, bisnis utama Perhutani adalah hasil hutan kayu dan bukan kayu. Tak disebutkan ihwal komoditas perkebunan. Tapi, di pelbagai tempat, Perhutani sedang giat membuka hutan untuk program area tebu mandiri. Pembukaan hutan ini memicu protes petani karena lahan garapan mereka bakal diambil kembali oleh badan usaha milik negara itu. Di Grobogan, Jawa Tengah, misalnya, alat-alat berat sudah merangsek ke lahan garapan masyarakat.

Kuitansi Pungutan oleh Kelompok Tani Hutan Sukobubuk Rejo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Juga di Desa Puncel, Pati. Manajemen Perhutani telah membabat pohon dan memasang patok. Perhutani akan menanam tebu di lahan seluas 290 hektare. Administratur Kesatuan Pemangkuan Hutan Pati Arif Fitri Saputra mengatakan perkebunan tebu didirikan untuk mendukung swasembada gula sejak 2014. Namun, karena ada protes petani, Arif akan mengkaji kembali penanaman tebu. 

Menurut Denny Ermansyah, program penanaman tebu ini direncanakan Perhutani sebelum muncul kebijakan KHDPK. Meski surat keputusan nomor 287 tentang KHDPK terbit pada 5 April 2022, penanaman tebu terus berjalan karena kebijakan ini belum berlaku resmi. “Namun kami tetap berkoordinasi dengan KLHK mendukung program ini,” katanya. 

Adapun Direktur Jenderal Perhutanan Sosial Bambang Supriyanto meminta Perhutani tidak buru-buru menanam tebu sebelum peta KHDPK terbit. Sebab, problem akan menjadi rumit jika area garapan petani sudah dibongkar untuk tebu, sementara area tersebut masuk KHDPK. Artinya, lahan tersebut sah sebagai hutan sosial. “Tunggu dulu, buru-buru amat,” tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Liputan ini terbit bekerja sama dengan Yayasan Auriga Nusantara, Greenpeace Indonesia, Forest Watch Indonesia, Hutan Kita Institute, Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Eyes on the Forest, Anti-Illegal Logging Institute, Perkumpulan Elang, Kelompok Advokasi Riau yang didukung Rainforest Investigations Network Pulitzer Center. TIM INVESTIGASI: Penanggung jawab: Bagja Hidayat; Kepala proyek: Mahardika Satria Hadi. Penulis: Erwan Hermawan, Mahardika Satria Hadi, Dini Pramita, Aisha Shaidra; Penyunting: Bagja Hidayat; Penyumbang bahan: Harry Tri Warsono (Kediri), Nofika Dian Nugroho (Madiun); Digital: Rio Ari Seno, Krisna Pradipta; Penyunting bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian; Periset foto: Ratih Purnama

Erwan Hermawan

Erwan Hermawan

Menjadi jurnalis di Tempo sejak 2013. Kini bertugas di Desk investigasi majalah Tempo dan meliput isu korupsi lingkungan, pangan, hingga tambang. Fellow beberapa program liputan, termasuk Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Lulusan IPB University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus