Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERDIRI di tepi jalan koridor PT Wirakarya Sakti (WKS), Sopyan bin Aroni memandangi deretan akasia yang menjulang setinggi lebih dari delapan meter. Siang itu, 13 Juni lalu, semak belukar berjejal di lantai hutan tanaman ini. Pohon-pohon berbatang lurus berdiameter 15-20 sentimeter tumbuh di area perhutanan sosial yang dikelola Koperasi Pajar Hutan Kehidupan di Desa Sengkati Baru, Batanghari, Jambi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sisi utara area hutan sosial itu terhampar wilayah konsesi distrik VIII PT Wirakarya. Ini perusahaan anak usaha Sinarmas Forestry, perusahaan hutan tanaman industri (HTI) terbesar di Indonesia, yang baru menanam eukaliptus untuk diolah menjadi bubur kertas. Karena itu, pada Juni lalu, pohonnya masih kecil dan pendek, pucuk-pucuknya masih merah muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Foto udara tanaman eukaliptus di konsesi PT Wirakarya Sakti (kiri), berbatasan dengan tanaman akasia di areal perhutanan sosial (kanan), dan hutan alam (atas), di Desa Sengkati Baru, Batanghari, Jambi, Juni 2022. Auriga Nusantara/Fajar
Menurut Sopyan, 53 tahun, akasia Koperasi Pajar Hutan di area hutan sosial mereka semestinya sudah bisa dipanen. Usianya sudah lima tahun, usia masak tebang. “Belum bisa panen karena RKT (rencana kerja tahunan) tak kunjung keluar,” kata Ketua Badan Pengawas Koperasi Pajar Hutan Kehidupan itu ihwal rencana kerja tahunan koperasinya. Untuk bisa memanen, dokumen RKT harus disetujui oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Batanghari yang membawahkan area hutan negara ini.
Koperasi Pajar Hutan, beranggotakan 50 petani, memperoleh izin pengelolaan kawasan hutan melalui skema perhutanan sosial pada 4 Oktober 2017 seluas 517,26 hektare. Skemanya hutan tanaman rakyat. Seluas 112 hektare kategori penanaman dan 111 hektare penebangan. Dari citra satelit, 443,72 hektare tutupan wilayahnya berupa hutan tanaman, sawit, dan semak belukar. Hutan alamnya tersisa 27,11 hektare.
Menurut Sopyan, ada sekitar 80 hektare tanaman akasia di tiga blok yang siap dipanen. Sebagai mitra koperasi sejak 2018, PT Wirakarya yang akan membelinya. Koperasi mendapatkan bagi hasil Rp 50 ribu per ton kayu. Jika tiap hektare berisi 1.300 batang akasia dengan volume 100 ton per hektare, koperasi akan mendapatkan Rp 400 juta. Karena akasia dipanen lima tahun sekali, tiap petani mendapatkan Rp 132 ribu per bulan.
KPHP Batanghari baru menyetujui RKT Koperasi Pajar Hutan tiga bulan kemudian. “Kami ingin memastikan mereka konsekuen,” ujar Feri Irawan, Kepala KPHP Batanghari, pada Selasa, 13 September lalu. “RKT bukan hanya soal memanen, juga menanam kembali.”
Foto udara hutan alam dan tanaman eucalyptus di PT PT Wirakarya Sakti di Desa Sengkati Baru, Batanghari, Jambi, Juni 2022. Auriga Nusantara/Fajar
Ada empat koperasi lain yang menjalin kerja sama dengan PT Wirakarya Sakti: Hijau Tumbuh Lestari, Rimbo Karimah Permai, Alam Tumbuh Hijau, dan Alam Sumber Sejahtera. Pengurus lima koperasi ini lalu membentuk koperasi gabungan di bawah nama Rimbo Kehidupan Lestari. Koperasi gabungan menjalankan skema hutan tanaman rakyat seluas 3.142,49 hektare.
Masalahnya, akasia masak tebang itu tak ditanam anggota koperasi, tapi oleh karyawan PT Wirakarya. Menurut Kepala Dinas Kehutanan Jambi Akhmad Bestari, sudah lama penduduk menganggap wilayah itu sebagai area konsesi perusahaan sehingga mereka tak mengolahnya dan membiarkan karyawan perusahaan menanaminya dengan akasia.
Tata batas ulang kawasan hutan dan area kerja PT Wirakarya menunjukkan area tanaman akasia itu berada di luar area konsesi perusahaan. “Oleh KLHK kemudian dijadikan perhutanan sosial,” tutur Bestari. PT Wirakarya setuju tanaman itu menjadi milik koperasi. Menurut Bestari, dari situ alasan koperasi menjalin kerja sama jual-beli kayu dan pemerintah tak menjatuhkan sanksi kepada PT Wirakarya.
PT Wirakarya Sakti berdiri pada 1996 sebagai perusahaan HTI yang menyuplai kayu untuk PT Lontar Papyrus Pulp and Paper Industry. Luas wilayah konsesinya 290.378 hektare dalam perubahan keempat pada 2018. Konsesi hutan PT Wirakarya tersebar di delapan distrik di 134 desa dan lima kabupaten. “Posisi kami sebagai offtaker yang membeli kayu dari masyarakat perhutanan sosial,” kata Daulat Sitorus, Kepala Sosial dan Keamanan PT Wirakarya.
Lain di Jambi, beda pula di Riau. Di Siak ada Kelompok Tani Mandiri Sejahtera yang mendapat izin hutan kemasyarakatan seluas 980 hektare tahun lalu. Tapi penghulu Kampung Dayun, Nasya Nugrik, mengatakan pengurus kelompok Mandiri Sejahtera mencatut nama anggota kelompok tani Tunas Harapan yang dibentuk oleh penghulu sebelumnya. Nasya memimpin petani mengelola 700 hektare lahan hutan sosial sejak 2014.
Toh, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan izin perhutanan sosial untuk kelompok Mandiri Sejahtera. “Setelah izin keluar, pengelola lahannya malah PT Nusa Prima Manunggal (NPM),” ucap Nasya. PT Nusa Prima didirikan oleh taipan Sukanto Tanoto pada 1998. Dalam akta pendirian NPM, Sukanto menjabat direktur utama yang menempatkan modal awal sebesar Rp 1,25 miliar.
Menurut pranala kelestarian April Group, induk usaha Sukanto Tanoto, PT Nusa Prima menjadi pemasok bahan baku pulp dan kertas untuk PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP)—perusahaan lain Sukanto. Nasya curiga kelompok tani Mandiri Sejahtera sebetulnya buatan PT Nusa Prima yang disiapkan menanam kayu lalu memasoknya kepada perusahaan.
Ia menunjuk jejak Brando Sirait, karyawan PT Nusa Prima, yang giat mengajukan permohonan perhutanan sosial atas nama kelompok Mandiri Sejahtera sebagai buktinya. Nama Brando tercatat sebagai pendamping petani dalam berita acara verifikasi teknis berkop KLHK yang ditandatangani tim Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan.
Ada pula Kesatria Ginting yang menjadi Ketua Kelompok Tani Mandiri Sejahtera. Di Dayun, nama Kesatria populer sebagai pengusaha kelapa sawit. Di peta yang dimiliki Nasya, posisi area hutan sosial Mandiri Sejahtera berbatasan langsung dengan area konsesi RAPP. Untuk menuju ke sana, perkebunan sawit yang dikelola keluarga besar Kesatria Ginting terhampar hijau.
Di Desa Penarikan Kecamatan Langgam, nama Brando Sirait juga akrab di telinga pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) Penarikan Jaya yang mendapatkan izin hutan kemasyarakatan seluas 1.379 hektare pada 31 Mei 2018. Mereka menyebut Brando sebagai pendamping koperasi dari PT Nusa Prima.
Ketua KUD Penarikan Jaya Mus Mulyadi mengakui koperasinya menjalin kerja sama guna memasok kayu ke PT Nusa Prima sejak 2004. “NPM mengurusnya menjadi hutan kemasyarakatan supaya kayunya bisa masuk RAPP,” katanya.
Dulu area yang digarap petani hutan sosial di Riau adalah hutan rakyat atau hutan milik. Pada 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menata ulang batas areal ini. Hasilnya, wilayah tersebut masuk ke dalam kawasan hutan produksi.
PT Nusa Prima lalu mengajukan proposal hutan kemasyarakatan (HKm) atas nama KUD Penarikan Jaya. Tapi tanpa sepengetahuan pengurus koperasi. "Tahu-tahu sudah jadi HKm, padahal kami tidak mengerti apa itu HKm, apa itu perhutanan sosial," kata Mus.
Sesuai dengan kesepakatan, PT Nusa Prima membeli kayu akasia dari koperasi Rp 3,5 juta per hektare per lima tahun kepada tiap petani.
Brando Sirait menolak diwawancarai dengan alasan belum mendapat persetujuan dari manajemen PT Nusa Prima untuk memberikan pernyataan. Sementara itu, Kesatria Ginting tak ada di rumah ketika disambangi dan tak merespons pertanyaan Tempo. “PT NPM menyediakan kurang dari 1 persen pasokan serat,” kata Sihol Aritonang, Presiden Direktur PT RAPP, dalam jawaban tertulis.
Di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, upaya masyarakat upaya mengelola hutan sosial terhambat masalah izin. Pada 2019, pengurus Koperasi Mulya Jaya Lestari Abadi dari Desa Jadi Mulya mengajukan permohonan 1.462 hektare untuk hutan sosial. KLHK menolak permohonan itu.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Supriyanto mengatakan area tersebut bagian dari Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan-Sungai Lumpur. Sesuai dengan aturan, perhutanan sosial di rawa gambut hanya mengusahakan hasil hutan bukan kayu. “Hutan tanaman rakyat tidak boleh di gambut,” ujarnya.
Area yang dimohonkan untuk hutan sosial itu masuk area konsesi PT OKI Pulp & Papers Mills—produsen kertas Sinarmas Group dan bagian dari Asia Pulp & Paper yang saat ini masuk peta indikatif area perhutanan sosial revisi VII dengan keterangan area pencadangan tukar-menukar kawasan hutan. Pada 2012, PT OKI hendak membangun pabrik di area itu tapi berpindah lokasi ke kawasan Sungai Baung, sekitar 30 kilometer dari area konsesi.
Dua tahun setelah KLHK menolak permohonan izin perhutanan sosial, penduduk desa yang sehari-hari mencari ikan di sungai dekat kawasan hutan itu melihat alat berat wira-wiri. “Mengapa masyarakat tak boleh mengelola lahan sementara perusahaan diizinkan?” kata Haryanto, Ketua Koperasi Mulya Jaya Lestari Abadi di Desa Jadi Mulya, pada Juni 2022.
Area konsesi PT Bumi Andalas Permai di Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, Juni 2022. Auriga Nusantara/Fajar
Kepala Sosial dan Keamanan PT Bumi Andalas Permai Tunggul Wachidin mengakui perusahaannya menanami akasia di area itu tahun lalu. “Sewaktu mulai menanam tidak ada potensi kayu, hanya belukar dan anakan gelam,” ucapnya.
Menurut Kepala Kesatuan Pengelola Hutan Wilayah IV Sungai Lumpur Riding Sigit Purwanto akasia, yang ditanam PT Bumi Andalas adalah bagian dari reboisasi. “Jenis tanaman biasanya yang bisa tumbuh di tempat itu dengan mengambil dari area sekitarnya,” kata Sigit pada Selasa, 20 September lalu.
Pertengahan Juni 2022, Tempo mendatangi hutan itu dengan menyusuri sungai dengan naik perahu kayu. Di sini sudah ada kanal-kanal mengelilingi gambut yang mengering. Di area hutan produksi seluas 802,7 hektare ini memang sudah tumbuh akasia. Seluas 602,7 hektare masih dibersihkan.
Di titik kanal dekat muara Sungai Simpang Heran, terlihat deretan rumah bedeng kayu dan lima unit alat berat. “Sedang stacking untuk PT Bumi Andalas,” kata seorang pegawai. Ia mengaku berasal dari Jambi dan sudah lima bulan berada di lokasi ini guna membuka lahan. Jika memakai drone, kanal-kanal gambut itu berjejer rapi. Dimensi tiap kanal rata-rata 1 x 0,5 kilometer.
Tak jauh dari area konsesi, ada area penggunaan lain (APL) seluas 558,2 hektare yang sudah ditanami akasia dan usianya sekitar tiga bulan. APL adalah status lahan di luar hutan negara yang pengelolaannya di bawah pemerintah daerah. Menurut Tunggul Wachidin, APL yang dikelola PT OKI seluas 1.009 hektare.
Tunggul mengatakan luas area tukar-menukar kawasan hutan yang dikelola PT OKI sudah menjadi hutan produksi seluas 1.406,87 hektare. Ia menyebutkan, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.383 Tahun 2018 pada 6 September 2018, PT OKI mendapatkan hak mengelola kawasan itu dengan kewajiban reboisasi.
Untuk melakukannya, Tunggul menambahkan, perusahaan menjalin kemitraan dengan tiga kelompok tani hutan, yakni Sido Makmur, Maju Bersama, dan Sido Muncul, pada 15 Mei 2018. Ada 80 keluarga yang terlibat menggarap 181 hektare di distrik Simpang Heran. Namun masyarakat tak kunjung menggarap lahan karena kawasan ini acap dilanda banjir.
Sebenarnya, Tunggul menjelaskan, kemitraan perusahaan dengan petani tak hanya untuk area itu. Dari area konsesi seluas 190.415 hektare, 19,54 persen dialokasikan untuk petani. Masalahnya, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove menyebutkan hutan di Desa Jadi Mulya itu masuk kesatuan hidrologis gambut Sungai Sugihan-Sungai Lumpur seluas 637 ribu hektare.
Kesatuan hidrologis gambut biasanya rawa yang diapit dua sungai. Karena fungsinya sebagai penyangga, pemerintah melarang kawasan seperti ini dikelola karena menjadi area konservasi. Adapun menurut KLHK, area tukar-menukar kawasan hutan itu berstatus pencadangan perhutanan sosial.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro mengaku belum mengetahui informasi tentang land clearing dan pembukaan kanal di Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan-Sungai Lumpur. “Mesti dicek apakah di zona lindung atau budi daya,” tuturnya. Ia memastikan KLHK telah menyetujui rencana kerja usaha PT Bumi Andalas dan dokumen pemulihannya.
PT Bumi Andalas Permai tak sendirian memiliki konsesi di kawasan hidrologis gambut. Ada PT Bumi Mekar Hijau dan PT Sebangun Bumi Andalan yang juga punya konsesi. Jika digabung, luas area konsesi ketiganya 450 ribu hektare, hampir meliputi seluruh kawasan hidrologis gambut.
Menurut pantauan Greenpeace Indonesia, kanal di area konsesi tiga perusahaan HTI itu terlihat sejak 2000. Melalui citra satelit, lembaga swadaya masyarakat lingkungan itu menghitung total panjang kanal mencapai 12 ribu kilometer. “Kanal sangat merusak ekosistem gambut,” kata Nyoman Suryadiputra, penasihat senior Yayasan Lahan Basah Indonesia.
Greenpeace mengkonfirmasi sejak 2000 area ini terbakar tujuh kali. Kebakaran terbesar terjadi pada 2015 dan 2019. “Kami menemukan hubungan penambahan panjang kanal dengan intensitas kebakaran hutan di sini,” ujar Iqbal Damanik, juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia.
Sebagai ekosistem penyerap karbon terkuat, gambut akan mengering jika ada kanal di dalamnya. Karena itu, sejak 2016, pemerintah melarang perusahaan HTI membuka lahan baru dan membangun kanal karena rawan memicu kebakaran hutan. Dengan alasan itu, pemerintah melarang usaha kayu, bahkan jika dikelola melalui perhutanan sosial.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo