HAKIM Amiruddin Zakaria sampai pada bagian paling menentukan di berkas putusannya, "Maka, dengan ini majelis membebaskan terdakwa Kaharudin Ongko dari segala dakwaan atau vrijspraak." Dan ... tok! Palu diketuk. Dakwaan jaksa yang meminta Ongko dibui 16 tahun gugur sudah.
Tapi tak ada tempik-sorak. Jumat 10 Januari yang lalu itu, di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ongko si terdakwa tak tampak girang. Menerima hoki sebesar itu, parasnya datar-datar saja. Seorang pengunjung sidang sampai dongkol melihatnya. "Dia (Ongko—Red) pasti sudah tahu jauh-jauh hari bakal diputus bebas. Pantas tak kaget," katanya bersungut-sungut penuh curiga.
Entahlah, apakah si pengunjung memang punya info dari dalam atau sekadar lagi meracau karena naik pitam. Yang jelas, memang banyak yang bertanya-tanya kenapa tuan hakim bisa begitu murah hati kepada bekas pemilik dan Wakil Komisaris Utama Bank Umum Nasional (BUN) itu. Terdakwa lain, Leonard Tanubrata, mantan direktur utamanya, justru dijatuhi hukuman berat: 10 tahun penjara.
Padahal perkara yang menjerat keduanya sama dan sebangun. Mereka didakwa telah membobol kas negara dengan menyelewengkan Rp 6,7 triliun duit bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Seperti diketahui, untuk menahan perdarahan di tubuh BUN saat ditabrak krisis moneter 1997 lampau, pemerintah menyuntikkan dana bantuan total senilai Rp 12 triliun lebih. Dari jumlah itu, Rp 8,34 triliun di antaranya merupakan tanggungan Ongko. Sisanya adalah kewajiban Bob Hasan, yang telah lebih dulu mendekam di Penjara Nusakambangan.
Fasilitas bank sentral itu, kata Jaksa Penuntut Umum Arnold Angkouw, mestinya dipakai untuk menutup saldo debit, untuk menalangi kas BUN yang lagi tekor berat. "Saat itu rekening giro BUN di BI sudah nol besar," kata Arnold.
Saldo debit pertama terjadi November 1997. Semula hanya Rp 220 miliar. Tak sampai sebulan, pada pertengahan Desember jumlahnya sudah membengkak jadi Rp 1,04 triliun. Selang sehari, dana BLBI tahap pertama langsung dikucurkan dengan jumlah yang sama. Tapi perdarahan terus terjadi, sampai akhirnya BUN diambil alih pemerintah dan pada 4 April 1998 masuk klinik BPPN.
Terungkap kemudian, kas BUN bolong bukan hanya lantaran diserbu nasabah pihak ketiga, tapi pertama-tama malah dijebol penarikan gila-gilaan yang dilakukan grup Ongko sendiri. Perusahaan terafiliasi itu memiliki segunung simpanan di BUN, misalnya PT KIA Keramik Mas, PT Ongko Sekuritas, PT Indokisar Djaya, ataupun PT Bunas Finance Indonesia. Pengalihan dana dilakukan menggunakan cek, bilyet giro, dan transfer. "Dengan dalih macam-macam, mereka ikut menarik uang sampai BUN kolaps," ujar Arnold.
Tiga tahun berselang, jaksa bergerak. Mereka mengendus adanya upaya Ongko memanipulasi uang negara ketika dana BLBI dikucurkan ke brankas BUN pada kurun November 1997-April 1998. Caranya: alih-alih digunakan untuk menutup kewajiban BUN pada nasabahnya, sebagian fasilitas bank sentral itu malah mengucur ke perusahaan Ongko dan rekening pribadinya. Padahal, ketentuan menyatakan dana BLBI tak boleh disalurkan ke pemilik dan manajemen bank serta pihak-pihak terkait.
Yang "hebat", masih kata Arnold, dana BLBI itu juga digunakan untuk ekspansi kredit baru ke grup sendiri. Antara lain, dikucurkan kepada PT Kiani Lestari milik Bob Hasan senilai Rp 97 miliar plus US$ 45 juta, dan US$ 13 juta ke PT Indokisar milik Ongko.
Dokumen autentik yang diperoleh mingguan ini menunjukkan, total jenderal setidaknya ada dana BLBI Rp 514 miliar lebih plus US$ 69,5 juta (sekitar Rp 600 miliar dengan kurs sekarang) yang diterombol perusahaan Ongko dan keluarganya. Berlembar-lembar bukti transfer membuktikan miliaran rupiah di antaranya ditarik melalui rekening pribadi sang taipan dan anak-anaknya. Ongko antara lain diketahui pernah menarik US$ 10 ribu. Anak-anaknya juga begitu. Irjanto Ongko Rp 107 juta plus US$ 17 ribu, Irswanto Rp 1,14 miliar, dan Irsanto Rp 310 juta (lihat infografik di muka).
Kepada TEMPO, seorang mantan Direktur BUN bersaksi: itu semua dilakukan atas sepengetahuan dan perintah Ongko. Ia menyodorkan anggaran dasar banknya. Diatur di situ, setiap pemberian kredit di atas 3 persen dari modal harus disetujui dulu oleh komisaris. Lebih tepatnya lagi, oleh Ongko. "Ada bukti hitam di atas putih Pak Ongko yang langsung menekennya," katanya.
Pada periode itu, ekuiti BUN sekitar Rp 18 miliar. Jadi, plafon kredit yang harus melalui meja Ongko adalah yang besarnya di atas Rp 4,8 miliar. Dokumen yang diperoleh TEMPO menunjukkan fakta menarik. Ada sederet kredit kategori itu yang dikucurkan ke grup Ongko sendiri. Antara lain ke PT Raja Besi Semarang senilai Rp 15,5 miliar, PT Landasan Terus Sentosa Rp 9,5 miliar, atau PT Sumber Keramik Rp 86 miliar.
Kesaksian Direktur PT Landasan, Paulus Heryanto, di pengadilan mengukuhkan fakta itu. Di atas sumpah, ia mengaku pernah meneken akad kredit di BUN pada 30 September 1997. Dan tindakan itu dilakukannya atas instruksi sang bos, Kaharudin Ongko.
Namun, bukan Ongko namanya kalau tak lihai. Di pengadilan, dia mendadak jadi seperti pikun. Ia mengaku tak ingat segala hal yang dipersyaratkan dalam perjanjian pengucuran BLBI. Ia mengaku membubuhkan tanda tangan semata karena diperintah pejabat bank sentral. Lebih "dahsyat" lagi, Ongko mengaku tak setitik pun tahu bahwa pada saat krisis dulu banknya mengalami saldo debit. Alasannya "cemerlang". Bersembunyi di balik Undang-Undang Perseroan Terbatas, ia menyatakan bahwa sebagai komisaris dia tak ikut campur dalam urusan operasional bank yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab direksi.
Dalih itulah yang disambar hakim. Berdasarkan Undang-Undang Perseroan, kata Hakim Amiruddin, Ongko tak sekuku pun berdosa. Walaupun ia terbukti pernah menyetujui pengucuran kredit, bukan berarti Ongko bisa dianggap mengambil alih tanggung jawab direksi. Di mata majelis, itu semata untuk memenuhi ketentuan internal perusahaan.
Pertimbangan itu tak urung membuat ahli hukum perbankan, Pradjoto, geleng-geleng kepala. Menurut dia, Undang-Undang Perseroan tak bisa dilihat berdiri sendiri. Juga, tidak relevan dipakai mengupas tindak pidana di wilayah perbankan. Faktanya, ujar Pradjoto, direksi jelas dipengaruhi kedudukan Ongko sebagai pemilik sekaligus komisaris. Direksi tak mungkin bertindak melulu atas inisiatifnya sendiri. "Omong kosong kalau Ongko tidak punya pengaruh apa-apa. Gila apa?" kata Pradjoto.
Menurut Pradjoto, jika yang digunakan adalah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, pasal yang tersedia sudah lebih dari cukup untuk menjerat Ongko. Salah satunya adalah unsur memperkaya diri sendiri. "Sudah tahu uang itu berasal dari BLBI, kenapa dipakai untuk kelompok sendiri?" Pradjoto mempertanyakan.
Juniver Girsang, kuasa hukum Leonard, sama kesalnya. Ia mempertanyakan kenapa hakim menghukum kliennya, tapi membebaskan Ongko. "Bagaimana mungkin Leonard disuruh bertanggung jawab atas seluruh dana BLBI yang masuk ke perusahaan Ongko?" ujarnya.
Yang lebih geleng-geleng kepala adalah si mantan direktur tersebut. Sepengalamannya, ketika itu Ongko-lah yang menentukan hitam-putihnya BUN. Ia berkata sambil tertawa kecut, "Ibaratnya, mengangkat pesuruh pun harus disetujui dia dulu."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini