Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Saat Ong Mulai Berdansa

Banyak rekan kongsi Ongko menjadi saksi betapa lihai dan licin ia berbisnis.

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih dari 30 tahun lalu Kaharudin Ongko berpidato dengan lantang. Ketika itu, pada awal 1972, ia baru dilantik menjadi Direktur Utama Bank Umum Nasional, yang dulu dikenal dengan sebutan Bunas sebelum belakangan disingkat menjadi BUN. "Tak ada yang tak mungkin di dunia ini," katanya yakin. Penuh ambisi. Itulah pembawaan Ongko sedari muda. Ia tak segan menggunakan segala daya untuk meraihnya. Ong Ka Huat—begitu Ongko kecil diberi nama oleh orang tuanya—lahir pada 14 Mei 1937 di Kisaran, sebuah kota kecil di Sumatera Utara. Tak seperti pemuda Tionghoa sezamannya yang memilih buru-buru berdagang, Ongko tak puas hanya kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Nommensen, Medan. Dia lantas mengambil gelar MBA di Taita University, Taiwan. Tapi, belum lagi ijazah ia sabet, pada tahun 1961 orang tuanya meminta dia pulang ke Medan untuk mengurus perusahaan keluarga. Tapi Ongko segera bosan. Merasa tak berkembang, ia mendirikan perusahaannya sendiri, PT Kuala Bali. Usahanya maju. Dan pada tahun 1968 berkenalanlah dia dengan T.D. Pardede, seorang pengusaha besar di Medan, yang lantas mengajaknya mendirikan Bank Surya Nusantara. Di sini, Ongko sempat dua tahun menjadi direktur utama. Tapi Medan terlalu sempit buat cita-cita Ongko yang besar. Kebetulan, seperti dikisahkan seorang bekas Direktur BUN, pada tahun 1970 Ongko bertemu Ong Chin Cho, pamannya yang bermukim di Singapura dan kondang sebagai penyelundup karet. Pucuk dicinta ulam tiba, ia ditawari Chin mengurus sebuah bank di Jakarta. Rupanya, yang dimaksud adalah BUN. Maka, pada tahun 1971 Ongko pun berlayar ke Jakarta. Menurut Sofjan Wanandi, pengusaha yang lama jadi kongsi dagang Ongko, BUN saat itu masih penuh dimiliki Nyoo Han Siang. Tapi bank yang didirikan pentolan Partai Nasionalis Indonesia—termasuk Sukarno—pada tahun 1952 itu nyaris bangkrut. Lalu, masuklah Ali Moertopo, pentolan Operasi Khusus (Opsus) yang amat berpengaruh ketika itu, sebagai juru selamat. Sebagai balas jasa, oleh Nyoo kelompok Opsus diberi jatah 40 persen saham. Ali menunjuk dua orang kepercayaannya di jajaran komisaris, Kolonel Agus Hernoto dan Suhadi. Nyoo juga mengundang masuk M.T. Chang, bankir sekaligus pemilik United Malay Banking Corporation. Tapi ada kendala. Menurut ketentuan, orang asing dilarang memiliki bank. Chang pun mengontak Chin Cho, kenalan lamanya. Jalan keluar ditemukan. Dengan menggunakan nama Chin, Chang bisa membeli 55 persen saham BUN lewat PT Kejayaan Budi. Di perusahaan ini Ongko diangkat menjadi direktur utama. Sebagai imbalan, Ongko sendiri dibagi 5 persen dari saham milik Chang. Adapun secuil sisanya masih dikuasai Nyoo. Tak lama setelah itu, Ongko langsung membuktikan sepak terjangnya. Entah bagaimana caranya, ia berhasil menguasai seluruh saham atas nama Nyoo dan Chin (yang telah membeli seluruh saham Chang), dan lalu "menendang" keduanya dari BUN. Perkembangan lain terjadi. Ali Moertopo meninggal. Saham Opsus diambil oper Soeharto, yang lantas melimpahkannya ke Bob Hasan. BUN seketika meroket. Kasnya berbuncah uang. Bukan karena apa-apa, melainkan karena banyak dana yayasan Cendana yang ditanamkan di situ. Ongko tentu ikut kecipratan. Di awal 1990-an, grup Ongko telah memiliki 45 anak perusahaan. Bisnisnya tersebar mulai dari keramik, properti, kosmetik, asuransi, sekuritas, manufaktur, hingga rumah sakit. Menurut laporan Data Consult Inc., dengan omzet sekitar satu triliun rupiah setahun, grup Ongko termasuk 10 konglomerasi terbesar di negeri ini. Dunia Ongko sepertinya memang nyaris cuma uang dan bisnis. Sejak dikenalnya seperempat abad lalu, tiap kali bertemu Sofjan, Ong hanya mau bicara urusan dagang. "Dia tak pernah mau menyinggung masalah lain," kata Sofjan, "Hanya sekali saya melihat dia berdansa." Sofjan tak tahu apakah Ongko memang gemar berdansa. Yang jelas, liuk "dansa bisnis" Ongko telah dirasakannya sendiri. Khususnya yang terjadi dalam kasus PT Segitiga Atrium. Perusahaan ini merupakan salah satu bagian dari megaproyek pembangunan kawasan segitiga emas Jakarta, yang lahannya dimiliki Pemerintah Daerah Jakarta. Semula, Sofjan dan Ongko berkongsi. Belakangan keduanya ribut besar. Soalnya, menurut sejumlah sumber TEMPO, melalui Boliden Properties Ltd., diam-diam Ongko telah sepenuhnya menguasai kepemilikan Segitiga Atrium lewat penjualan aset kredit di BPPN. Adapun Sofjan cuma gigit jari. Kini, tak selembar pun sahamnya di Atrium masih tersisa. "Padahal saya yang pertama kali mengenalkan dia ke Pak Wiyogo, Gubernur Jakarta saat itu," Sofjan tersenyum pahit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus