Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Para Penguasa Jalanan

Ada perang, ada para bos. Uang jalanan bisa menghasilkan vila.

14 Desember 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak disangka, pembakaran gereja, sekolah Kristen, dan sejumlah tempat hiburan di Jalan K.H. Zainul Arifin alias Gang Ketapang, Jakarta Barat, baru-baru ini, awalnya hanya akibat rebutan lahan parkir. Ribut-ribut seperti itu memang bukanlah hal yang aneh di Jakarta. Dulu, sering terdengar rebutan lahan parkir di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, atau di sekitar Blok M, Jakarta Selatan, antara arek (orang-orang asal Jawa Timur) dan Batak (perantau asal Tapanuli). Ini bukan perang antarsuku, tetapi rebutan "mata pencaharian".

Namanya juga jalanan, berlaku hukum alam, siapa yang kuat dialah yang menang. Nah, di lahan subur "penghasil uang", yang kuatlah yang menguasainya. Munculnya bos-bos lahan parkir yang menguasai daerah tertentu bisa diindentifikasi dengan suku atau organisasi massa. Biasanya kelompok-kelompok itu punya beking dari aparat keamanan.

Sejarahnya, penguasa lahan parkir ini sudah sejak 1950-an, sebelum pemerintah--lewat Badan Pengelola (BP) Perparkiran--menguasai parkir, adalah tukang jaga oto. Para jagoan itu menguasai lokasi subur yang menghasilkan uang, seperti kawasan pertokoan Jalan Sabang, Pasarbaru, dan Senen. Samin Kijot, misalnya, salah seorang jawara parkir yang melegenda di kalangan tukang parkir, menguasai kawasan Pasarbaru, Senen, dan sekitarnya tahun 1950-an. Pada zaman keemasannya, Samin memiliki 1.000 anak buah. Sekarang, para bos jaga oto itu sudah berganti-ganti, dan unsur pemerintah hanya menjadi tukang kutip. Sebab, de facto, jalanan yang menjadi lahan parkir itu dikuasai para jagoan dan pemerintah tak mampu menguasainya.

Sudi Bule Penguasa Mabes

Di kawasan lampu merah Manggabesar (Mabes), Jakarta Barat, tak ada yang tak kenal Bang Sudi. Lelaki dari suku Jawa kelahiran Medan 20 Desember 1955 ini aslinya bernama Bambang Sudiono. Sudi Bule, begitu julukannya, kini orang yang berkecukupan. Rumahnya lebih bagus daripada rumah lainnya di Gang Bidang, Manggabesar XIII, dua tingkat dengan antena parabola bertengger di puncaknya. ‘’Saya suka menonton acara TV dari luar negeri,’’ katanya santai dengan hanya mengenakan singlet saat ditemui TEMPO.

Setiap Minggu, Sudi berakhir pekan di vilanya di Palem Garden, Puncak, Jawa Barat, yang ia beli tiga tahun lalu seharga Rp 350 juta. Lelaki berbadan kekar itu pun sudah menyandang gelar haji sejak dua tahun lalu. Tak aneh, di ruang tamunya terpampang lukisan Sudi dan istrinya di depan Kakbah.

Sudi memegang lahan parkir sejak 1970, warisan dari orang tuanya seorang pesiunan ABRI, yang juga memegang Mabes. Wilayahnya meliputi daerah sepanjang Jalan Manggabesar, mulai dari perempatan Jalan Gajah Mada sampai stasiun kereta api Mabes, termasuk taman hiburan Lokasari. Sudi tak sudi melepaskan lahan parkir walaupun kini ia juga sudah mendapat pekerjaan lain sebagai penjaga sejumlah tempat hiburan malam.

Di Mabes, Sudi punya 12 anak buah di sepanjang jalan itu. Setiap anak buah juga punya asisten dua orang. Setiap tukang parkir itu harus setor ke Sudi dan lelaki itu harus setor ke BP Perparkiran DKI sebesar Rp 6.000 sampai Rp 25.000, tergantung lokasinya. ‘’Kalau di Lokasari bisa sampai Rp 30.000, sedangkan di titik yang sepi kadang saya tak setor ke BP Perparkiran,’’ katanya.

Di kawasan Mabes tidak dikenal kekuasaan berdasarkan suku tertentu. Memang pernah orang-orang dari Kulon, Banten, mencoba merebut lahannya di kawasan Lokasari. Tapi Sudi langsung turun berhadapan. Prinsipnya, bagi Sudi, boleh tetap bekerja sebagai tukang parkir di wilayahnya asalkan menyetor sebagian hasilnya kepada Sudi. "Kalau cuma mau uangnya, nggak ada setoran, ya, nggak bisa. Akhirnya, mereka nurut dan saya kasih lahan," ujarnya.

Tantangan lain yang pernah dihadapi Sudi, ketika kelompok preman PREMS mau mengambil lahan parkirnya. Tetapi lelaki itu tak gentar, walaupun zaman itu PREMS terkenal kelompok yang paling ditakuti. "Kalau menghadapi preman, kita harus bisa keras, tetapi juga harus bisa komunikasi, biar mereka bisa nurut,’’ ujar ayah lima anak itu. Memang, hasilnya, Sudi tetap menguasai lahannya.

Gangguan juga datang dari bintara pembina desa dan koramil. Mereka sering minta jatah karena merasa memiliki wilayah itu. Anak buah Sudi sering dipanggil, digebuki, dan digampar secara sewenang-wenang. Biasanya Sudi langsung membela anak buahnya. Kalau tak bisa mengatasi langsung, ia lapor ke Komando Garnisun. ‘’Walaupun tukang parkirnya salah, toh ada prosedur hukumnya, tidak boleh main gebuk seperti itu. Biasanya danramilnya minta maaf pada saya. Tapi di zaman reformasi ini tidak terjadi lagi, aparat lebih menghargai masyarakat,’’ katanya.

Pernah suatu hari, aparat BP Perparkiran mencoba menekan anak buah Sudi dengan cara menaikkan setoran. Anak buah Sudi protes. Tapi Pak Darwis yang menguasai lahan parkir seluruh Kota Jakarta berkeras tak mau menurunkan, malah mengancam akan menjual lahan itu. ‘’Saya marah, tadinya Pak Darwis mau saya gebukin, saya gebrak meja, akhirnya dia mengerti, memang saya sudah lama menguasai tempat itu,’’ kata Sudi, yang pernah menjadi Ketua Pemuda Pancasila daerah Tangki, Jakarta Barat.

Tempat yang dikuasai Sudi memang bisa diperjualbelikan, tempatnya laku, dan kalau dijual bisa berharga Rp 50 juta. Istilah mereka jual beli batangan. Nah, inilah yang sering biasa menimbulkan konflik atau bentrok. Karena secara fisik lahan parkir itu dikuasai orang lama, tetapi di tingkat atas sudah diperjualbelikan. Biasanya si pembeli lahan parkir segera menempatkan orang-orangnya agar bisa menyetor dan kembali modal. Nah, di situlah konflik berawal.

Keturunan Samin Kijot di Senen

Nama besar Samin Kijot sebagai penguasa parkir di Senen rupanya masih bisa mewarisi anaknya. Walaupun tidak sehebat Samin, anaknya, Jaya, masih mendapat jatah setoran dari juru parkir baru yang dikoordinasi pemerintah daerah. Misalnya dari Erwin Bambang, penguasa parkir di kawasan Pasar Senen, setiap hari harus setor ke Jaya Rp 14.000. ‘’Saya merasa berutang budi dengan Pak Samin, yang membesarkan saya,’’ kata Erwin.

Memang, pria kelahiran Surabaya 43 tahun lalu itu sudah menjadi tukang parkir di luar proyek Senen sejak 1974. Saat itu ia masih menyetor ke Samin. Setelah Samin meninggal, Erwin diangkat BP Perparkiran Pemda DKI untuk mengelola lahan parkir di sekitar Pasar Proyek Senen. Tiap Senin, Erwin, yang kini punya enam orang anak buah, langsung menyetor ke Pak Purba di BP Perparkiran di Kantor Wali Kota Jakarta Pusat Rp 72 ribu untuk enam hari. ‘’Sekalian ikut apel,’’ ujar Erwin, yang memiliki secarik surat tugas dari BP Perparkiran.

Anto Baret di Bulungan

Anto Baret sebenarnya bukan penguasa perparkiran, ia hanya seorang seniman jalanan yang mengoordinasi pengamen dalam wadah Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) di wilayah Blok M, Jakarta Selatan, dan sekitarnya. Tapi karena ia dianggap mampu mengoordinasi rekan-rekannya, terutama perantau dari Jawa Timur yang bukan hanya seniman, ia diberi kekuasaan oleh BP Perparkiran untuk mengelola lahan parkir sekitar Jalan Bulungan, Jakarta Selatan.

BP Perparkiran menyerahkan tujuh baju seragam tukang parkir kepada Anto. Tentu saja, Anto berkewajiban menyetor hasil parkir 80 persen ke Pemda. Oleh Anto baju itu diserahkan ke pengikutnya. ‘’Siapa yang lapar boleh jadi juru parkir. Prinsipnya, tidak boleh ada anak-anak KPJ yang melakukan tindakan kriminal karena alasan lapar,’’ kata pengarang lagu Lonteku yang dinyanyikan Iwan Fals itu.

Kebon Jahe Penguasa Tanamur

Di kawasan Tanahabang Timur, dekat Diskotek Tanamur, enam blok parkir dikuasai oleh anak-anak Kebonjahe, satu blok lagi dikuasai Manik, seorang pegawai ekspedisi angkutan di situ. Manik biasanya "dititipi" para juru parkir Tanamur untuk disetorkan ke Pemda. Yudi, salah seorang pemilik blok parkir di Tanamur, mengaku membeli lahan itu dari tetangganya pada awal 1998 dengan harga Rp 1,4 juta.

Sebelumnya Yudi sempat tandem dengan kakaknya. Satu blok bisa memuat delapan mobil, penghasilannya tidak besar, hanya Rp 168.000. Itu pun setiap bulannya harus setor ke Pemda lewat Manik Rp 61.000. Walaupun pendapatannya pas-pasan, Yudi rela mati untuk mempertahankan lahan parkirnya. "Bagi anak-anak Kebonjahe, hidup dan mati dalam kekerasan,’’ kata lelaki yang harus menanggung biaya adik-adiknya itu. Memang pernah, sekelompok pemuda dari suku Ambon pada 1993 berusaha merebut lahan parkir Tanamur, tetapi penduduk setempat marah dan melawan, hingga orang-orang Ambon lari. Kejadian itu memakan korban, satu orang tewas.

Kancil dari Medan

Dari Medan, ada Tumiran Rusli atau terkenal dengan panggilan Kancil. Ia menguasai 43 lokasi parkir di Medan. Tiap hari warga Jalan Gaharu, Medan, ini menyetor ke BP Perparkiran Rp 16 juta. Pria Jawa kelahiran Medan 55 tahun lalu itu menggeluti pekerjaannya berawal dari penjaga parkir sepeda. Untuk bisa menguasai lahan parkir, Kancil harus berani bertaruh nyawa. Cara mendapatkan lahan parkir pun awalnya seperti suku-suku primitif. Kancil harus mengintip lahan yang diingini lalu berkelahi dengan kelompok lain untuk menguasainya. "Kalau bicara-baik-baik tidak bisa, kami harus bertaruh nyawa," ujar Kancil, yang badannya dipenuhi bekas luka bacokan.

Tiap hari, dari lahan parkir yang dikelolanya, Kancil mendapat uang bersih Rp 4 juta. Kini Kancil tinggal menikmati hasilnya dengan memiliki rumah permanen, mobil Kijang dan Feroza. ‘’Usaha ini sekarang saya serahkan kepada istri dan keluarga saya untuk mengelolanya,’’ katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus