Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Urusan parkir di ibu kota Sumatra Utara ini resminya ditangani oleh Badan Pengelola Perparkiran (BPP) Kota Madya Medan. Badan ini mengutip tarif parkir berdasar Perda No. 10 Tahun 1998, yang baru saja naik antara 25 dan 50 persen. Sebagai gambaran, ongkos parkir di jalan umum untuk sepeda motor Rp 150 (dulu Rp 100), kendaraan roda tiga Rp 250 (dulu Rp 150), dan roda empat Rp 500 (dari Rp 400). Di tempat-tempat khusus, misalnya pusat perbelanjaan, tarif itu bisa berbeda.
Badan resmi tadi menguasai 145 lokasi parkir di tepi jalan umum. Jumlah setoran tiap lokasi berbeda-beda, tergantung ramai-tidaknya kendaraan yang parkir. Untuk mengelola seluruh tempat parkir itu, pemda mempekerjakan sekitar 342 tukang parkir dan 106 pengamat yang digaji Rp 130 ribu per bulan.
Sepanjang 1997/1998 ini, sebetulnya pemda telah menetapkan target pemasukan dari dana parkir ini sebesar Rp 7 miliar, tapi ternyata realisasinya cuma Rp 6,112 miliar. "Sampai membayar gaji pun kami tak mampu," tutur Yosida Purba, Kepala Badan Pengelola Perparkiran Medan. Yosida menyebut krisis moneter dan kerusuhan merupakan penyebab sepinya pengunjung dan pemakai jasa parkir.
Benarkah? Mungkin benar, mungkin tidak. Pertama, karena tangan kekuasaan BPP jelas belum menjangkau semua titik lokasi parkir yang ada di seluruh pelosok kota terbesar ketiga di Indonesia itu, sehingga kebocoran bukan merupakan sesuatu yang mustahil.
Kedua, pada kenyataannya banyak lahan parkir di Medan yang pengelolaannya justru bukan di bawah BPP, melainkan di tangan para oknum. Para oknum itu kebanyakan anggota organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) seperti Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI), Ikatan Pemuda Karya (IPK), dan Pemuda Pancasila (PP). Mereka-mereka inilah yang memanen untung dari kendaraan yang datang dan pergi setiap hari di kantong-kantong parkir yang telah dikuasai.
Ketua FKPPI Medan, H. Martius Latuperissa, mengakui bahwa setiap OKP mempunyai basis tertentu dan dominan menguasai satu wilayah. Wilayah yang didominasi itu meliputi kawasan Polonia, Kapten Muslim, Sunggal, Jalan Binjai, serta sekitar asrama ABRI. Secara otomatis, katanya, basis ini dijadikan lahan bagi anggotanya untuk mengelola jasa keamanan dan parkir.
Namun, Ketua IPK Medan, Moses Bungaran, menambahkan bahwa semua anggota yang mengelola tempat parkir dilengkapi dengan surat perintah tugas dari BPP. Artinya, memang resmi. Kebetulan saja "wilayah kekuasaan" mereka adalah pusat bisnis dan hiburan yang ramai, seperti Pasar Petisah Medan, pusat penjualan mobil bekas Nibung Raya, Pasar Peringgan, sekitar Padangbulan, dan pusat onderdil mobil di Jalan Semarang.
"Lagi pula, semua individu menyetorkan hasilnya ke BPP," tutur Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Pemuda Pancasila Medan H. Donald Sidabalok kepada Bambang Soedjiartono dari TEMPO. Organisasinya menguasai areal parkir Hotel Novotel, Pasar Ikan Lama, Jalan Perniagaan, Jalan Jamin Ginting, Jalan Brigjen Katamso, Jalan Thamrin, Pasar Baru, Perisai Plaza, Pasar Ramai, dan kompleks pertokoan Putri Hijau Baru.
Tapi, mengapa target BPP tetap tak terpenuhi? Tampaknya, itu soal lain. Yang jelas, urusan parkir di Medan bisa sama kerasnya seperti di Jakarta. Para petugas parkir partikelir itu acap berebut lahan sehingga memicu bentrok antarkelompok seperti yang pernah terjadi Juli silam di Jalan Bintang, yang menelan korban satu orang tewas. Bentrok itu bahkan menjelma sporadis dan menjalar ke beberapa kawasan. Akibatnya, beberapa pusat bisnis dan hiburan lengang.
Tak sampai sebulan, perkelahian rebutan lahan kembali terjadi. Kali ini di Jalan Jamin Ginting, tepatnya di kawasan Pasar Simpang Kwala. Ini merupakan daerah perhentian taksi dan angkutan umum jurusan tempat wisata Brastagi. Bentrok antartukang parkir swasta ini berulang Oktober lalu di tempat yang sama.
Tapi tak cuma itu. Para petugas parkir swasta Medan juga banyak yang berakal bulus alias nakal. Ada di antara mereka yang membuka lahan parkir di suatu tempat dengan cara terlebih dulu mencabut tanda larangan parkir yang sebelumnya terpasang. Setelah membuka lahan, mereka baru meminta izin ke wali kota. Ini sebetulnya sesuatu yang aneh karena urusan izin parkir mestinya ke BPP. "Seperti yang terjadi di Jalan Palangmerah, petugas kami malah diancam," kisah Yosida. Pantas saja target tak terpenuhi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo