Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penambangan dan smelter nikel menghidupkan perekonomian masyarakat.
Di sisi lain, penambangan menghancurkan lingkungan dan mengubah mata pencarian.
Banjir menjadi rutinitas bagi penduduk di sekitar area tambang.
TEPAT pada pukul 17.00, Kamis, 24 November 2022, ratusan pekerja berhamburan keluar dari kompleks pengolahan bijih nikel atau smelter PT Obsidian Stainless Steel di Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Ada yang berpakaian kasual atau berseragam, ada juga yang necis, tapi tak sedikit yang lusuh, cemong penuh lumpur. Mereka, para pekerja dari Cina daratan, langsung menyerbu pasar dadakan di bahu jalan depan smelter begitu gerbang terbuka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada akhir November 2022 itu, cuaca Sulawesi sedang lembap. Jerit klakson mobil dan sepeda motor di jalan alternatif Kendari-Konawe Utara tumpang-tindih dengan suara puluhan pedagang yang menawarkan aneka makanan. Mereka, penjual dan pembeli, seolah-olah tak peduli terhadap debu yang meremang. Semua sibuk berbelanja. Semua sibuk bertransaksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Manajemen PT Obsidian membatasi waktu keluar karyawan dari area smelter dua jam setiap hari. Waktu yang sempit itu membuat pekerja yang tinggal di asrama pabrik seperti kalap berbelanja. Di dalam pabrik hanya ada warung penjual makanan ringan. Pasar dadakan di depan smelter lebih variatif dan menyediakan bahan makanan untuk dimasak di kos atau rumah kontrakan.
Antusiasme para pekerja smelter nikel Sulawesi itu menjadi berkah bagi penduduk sekitar pabrik. Adam, 26 tahun, sampai harus belajar berbahasa Mandarin agar bisa berkomunikasi dengan para pekerja asal Cina. Ia membuka warung bahan kebutuhan pokok alias sembako. Ongkos sewa kiosnya Rp 10 juta setahun. “Sekarang mulai bisa Mandarin sedikit-sedikit,” katanya.
Laki-laki asal Kolaka Timur—tiga jam dari Morosi—ini sudah setahun berjualan sembako di depan smelter. Ia datang ke sana mengikuti tetangganya yang mengajak berdagang karena ada pabrik smelter yang baru dibuka. Smelter PT Obsidian dibangun di atas rawa-rawa. Jarak pabrik ke permukiman penduduk sekitar 3 kilometer. Warung yang dibuka akan memenuhi kebutuhan karyawan yang bekerja di pabrik nikel.
Ada ratusan orang yang mengadu nasib seperti Adam di Morosi. Sejak PT Virtue Dragon Nickel Industry membangun smelter di sini sewindu lalu, orang-orang dari kota sekitar Morosi datang ke sini untuk mencari rezeki. Peluang ekonomi bertambah begitu PT Obsidian Stainless Steel meresmikan smelter nikel tahun lalu. Kedua perusahaan tersebut adalah anak usaha Xiangyu dan Delong Group, perkongsian dari Tiongkok.
PT Obsidian memiliki kapasitas produksi lebih dari 2,5 juta ton nikel per tahun. Sedangkan kapasitas produksi Virtue Dragon lebih dari 1 juta per tahun. Kedua pabrik itu memproduksi nickel pig iron (NPI), feronikel, dan nickel matte. Bijih-bijih nikel itu adalah bahan baku baja. Hingga kuartal III 2021, PT Obsidian telah mengekspor lebih dari 800 ribu ton NPI dengan nilai Rp 24,5 triliun. Sedangkan ekspor PT Virtue Dragon sebanyak 618.117 metrik ton atau senilai Rp 17 triliun.
Tak hanya menghidupkan ekonomi di luar pabrik, dua smelter besar itu juga menyedot tenaga kerja. Kepala Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Sulawesi Tenggara La Ode Muhammad Alihaswandy mengatakan, dari 25.281 karyawan dua smelter tersebut, pekerja Cina sebanyak 1.893 orang. “Tenaga kerja sektor penambangan sebesar 2,9 persen,” tuturnya.
Menurut Alihaswandy, pembukaan warung hanya salah satu efek domino pembangunan smelter nikel di Morosi. Penduduk juga membuka rumah kos atau kontrakan, rumah makan, bengkel, serta fasilitas permukiman lain. Di sepanjang jalan di Morosi, tumbuh lapak-lapak yang terlihat baru dibangun.
Rusdin sudah lima tahun membangun rumah kos dan kios. Warga Morosi 38 tahun ini sedang menguruk rawa untuk dibangun kios seluas 72 meter persegi. Kelak kios itu akan ia sewakan. Menurut Rusdin, harga lahan di Morosi relatif mahal, Rp 200 ribu per meter persegi. “Ada yang murah, tapi tidak di pinggir jalan,” ucapnya.
Rusdin menyewakan kamar kos berdinding kayu dengan tarif Rp 600-800 ribu per bulan. Tetangganya yang menyewakan rumah kos bertembok mematok harga termurah Rp 1 juta per bulan. Karena harga sewa yang lumayan mahal itu, Nurhayati dari Bombana—empat setengah jam perjalanan darat ke Morosi—memilih membeli rumah Rp 32 juta dengan cara mencicil. “Daripada menyewa rumah Rp 10 juta setahun,” ujarnya. Perempuan 42 tahun ini juga membeli kios Rp 3 juta untuk berjualan buah-buahan.
Kegiatan ekonomi di Sulawesi Tenggara yang tumbuh karena pertambangan nikel itu memunculkan problem baru: tumpukan sampah. Di sepanjang jalan di sekitar pasar atau lapak-lapak pedagang, selain banyak debu jalan dan asap pembakaran batu bara untuk menghidupkan mesin pengolah ore, sampah berserakan bahkan hingga ke badan sungai dan rawa-rawa. Pemerintah setempat agaknya tak menyiapkan tata kota dengan perubahan mendadak ekonomi nikel ini.
Sementara aktivitas perdagangan dikuasai para pendatang dari luar Morosi, penduduk lokal menjadi pekerja pabrik atau bekerja sampingan di luar aktivitas perusahaan. Warga Desa Mandiodo, Tapuemea, dan Tapunggaya tak lagi menjadi nelayan. Mereka beralih ke pabrik atau ikut menjadi penambang nikel.
Menurut Ratna Kasim, Ketua RT 4 Desa Tapunggaya, dari 32 kepala keluarga di wilayahnya, tinggal dua yang bertahan menjadi nelayan. Suami Ratna bekerja sebagai petugas penjaga dan pengaman alat berat di lokasi pertambangan bergaji Rp 3 juta sebulan. “Sejak ada nikel semua maju,” katanya, menunjuk rumah-rumah tembok dengan kendaraan di garasi. Sebelum ada pertambangan nikel, rumah di kampungnya berdinding kayu dan beratap rumbia.
Beberapa pekerja berbelanja di pasar dadakan depan smelter PT Obsidian Stainless Steel di Morosi, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, 24 November 2022. Foto: Tempo/Erwan Hermawan
Tak ada lagi warga desa di sekitar lokasi penambangan nikel yang kuat menjadi nelayan. Ratna mengungkapkan, laut kini tercemar oleh lumpur nikel. Bagan nelayan pun acap hancur karena tertabrak tongkang yang hilir-mudik di Teluk Tapunggaya. Akibatnya, nelayan harus mencari ikan ke tengah laut sehingga ongkos berlayar menjadi mahal. “Sekarang susah cari ikan,” ucapnya.
Amirudin adalah satu dari dua kepala keluarga warga RT 4 Tapunggaya yang masih setia menjadi nelayan. Ia mengkonfirmasi cerita Ratna. Menurut dia, sejak ada penambangan nikel, jumlah ikan tangkapannya berkurang. Kadang ia memperoleh 10 kilogram ikan dalam semalam yang dijual ke pasar seharga Rp 200 ribu. “Sebelum ada tambang nikel penghasilan saya Rp 600 ribu semalam,” tuturnya.
Fenomena di Desa Tapunggaya terjadi pula di Desa Mandiodo. Kepala desa setempat, Slamet Riadi, mengatakan, dari 239 kepala keluarga di wilayahnya, mungkin tinggal 10 persen yang masih bertahan menjadi nelayan. Sebab, Slamet menjelaskan, selain susah mencari ikan, bekerja di pabrik lebih menjanjikan. “Dulu dapat ikan gampang, jualnya susah. Sekarang jual ikan gampang, tapi mencarinya jauh,” ujar Slamet.
Selain mendapatkan upah dengan bekerja di smelter nikel, penduduk di desa-desa beroleh kompensasi debu dari tiap perusahaan. Di Desa Mandiodo, kata Slamet, setiap keluarga menerima uang kompensasi Rp 1,5 juta per bulan. Pemberian kompensasi itu adalah kesepakatan masyarakat dengan perusahaan. Menurut dia, udara menjadi kotor setelah smelter nikel beroperasi, terutama pada musim kemarau.
Namun, pada musim hujan, ketika debu mereda, Desa Mandiodo terkepung banjir lumpur, sesuatu yang tak pernah terjadi di desa ini sebelumnya. Pada awal Desember 2022, seluruh Desa Mandiodo terendam air disertai lumpur setinggi betis orang dewasa. Menurut Slamet, air lumpur turun dari bukit-bukit di sekitar Mandiodo yang gundul karena penambangan nikel. “Nikel bikin ekonomi hidup, tapi bikin lingkungan juga hancur,” ucap Slamet.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Network Pulitzer Center