Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA makna kehidupan akademik jika universitas terus ditekuk oleh patronase dan kekuasaan? Bagaimana memberi nilai dan martabat bagi profesi akademik seperti guru besar atau profesor jika gelar-gelar itu disandang dengan jalan memperkuda mahasiswa mengandalkan industri kredit jurnal-jurnal bodong? Apa makna universitas apabila gelar doktor dan guru besar kini diberikan sebagai anugerah, sekadar untuk menghiasi nama depan politikus dan pesohor ketimbang sebagai pernyataan keilmuan dan kemanusiaan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak birokrat dan akademikus di kampus-kampus beranggapan jalinan politikus dan berlimpahnya gelar guru besar akan memperkuat universitas. Godaan dirangsang oleh logika metrik yang kuantitatif dalam memandang fungsi pendidikan tinggi dan keinginan meninggikan status perguruan tinggi secara instan. Latar belakangnya sederhana, yakni rendahnya persentase guru besar di Indonesia yang hanya sekitar 2 persen dari jumlah dosen di perguruan tinggi. Demi kuantitas itu dikorbankanlah kualitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebab kedua adalah perubahan dalam pemaknaan terhadap profesi akademik. Posisi akademikus dalam Undang-Undang Guru dan Dosen mendefinisikan dosen sebagai pendidik profesional. Profesional di sini bisa dengan gampang terpeleset diartikan sekadar teknikalitas orang dengan kemampuan kepandaian khusus. Akibatnya, dimensi etis pekerjaan akademikus pelan-pelan tanggal.
Kuantifikasi dan teknikalisasi pekerjaan dosen pun menjebak dunia akademik kita. Dalam jangka panjang keduanya menurunkan kredibilitas, merontokkan kepercayaan masyarakat, dan akhirnya membunuh otonomi perguruan tinggi, yang menjadi jantung universitas.
Otonomi perguruan tinggi dan kebebasan akademik di Indonesia memiliki latar historis yang unik. Ia disandarkan pada privilese yang dianugerahkan masyarakat agar universitas mengejar kebenaran universal berapa pun harganya. Privilese ini muncul karena masyarakat memandang kerja akademik sebagai pengabdian demi keluhuran dan kemanusiaan. Itu sebabnya universitas diposisikan sebagai sumber pengetahuan dan moral. Para guru besarnya dipandang bukan semata “orang pintar”, tapi juga orang jujur dan bijak. Sementara itu, mahasiswa dipandang sebagai resi, yang diharapkan turun gunung bila negara berada dalam krisis.
Mengenai profesi akademik, pada 7 November 1917, sosiolog Jerman, Max Weber, membacakan pidato terkenal berjudul “Wissenschaft als Beruf” atau “Science as a Vocation”. Vocation di sini sering diterjemahkan mentah-mentah sebagai profesi. Vocation mesti dimengerti sebagai beruf, profesi yang meresonansikan dimensi religiositas, yakni panggilan hidup. Weber membedakan konsep beruf dalam tafsir Kalvinis Puritan sebagai “perintah Tuhan kepada seseorang agar bekerja demi kemuliaan-Nya” dengan beruf dalam tafsir Lutheran yang memaknai panggilan sebagai “stroke of fate” (schickung), yakni panggilan yang terjadi begitu saja ketika orang mesti siap. Weber menerima keduanya. Dengan begitu, panggilan hidup senantiasa mengandung dimensi aktif dan pasif sekaligus.
Tersirat jelas adanya tradisionalisme dalam pandangan Weber. Agaknya konsepsi ini diserukan untuk menjawab tantangan di zaman itu, yang tampil dalam rupa monster rasionalisasi dan birokrasi terhadap kehidupan akademik. Dalam hal ini, boleh dibilang ia mengkonstruksi universitas dan kaum akademik sebagai aktor karismatik yang direservasi berhadapan dengan modernitas—persis universitas di Indonesia yang selalu direservasi secara moral guna berhadapan dengan kemungkinan krisis dan kediktatoran.
Dua tahun setelah pidato itu, Weber menyampaikan sebuah pidato lagi berjudul “Politik als Beruf”. Pidato ini merupakan kunci memahami kritik Weber terhadap politik “Realpolitik” sebagai upaya mengejar kekuasaan demi kepentingan. Dalam kuliah, ia memberikan gambaran pentingnya pendidikan politik agar seseorang mengetahui apa artinya beralih dari status audiens (sekadar warga) ke status yang benar-benar menjadikan politik sebagai profesi.
Menurut Weber, kekuasaan adalah instrumen yang diperlukan, tapi tidak pernah menjadi inti politik. Kata Weber, menggunakan kekuasaan berarti bermain-main dengan iblis dan selalu berisiko kehilangan jiwa. Dengan kata lain, akademikus dan politikus dipersatukan oleh kesamaan di sini, yakni sama-sama profesi pengabdian. Di dalam keduanya ada kepentingan “riil” tidak boleh jadi tujuan. Koherensi antara akademikus, otonomi, dan politik yang dikemukakan Weber begitu dekat dengan apa yang dialami dalam dunia perguruan tinggi di Indonesia.
Di Indonesia, eksistensi universitas secara inheren juga dibebani tujuan-tujuan politik yang berakar dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Ini yang kemudian menancapkan dimensi paradoksal bagi universitas dan kaum akademikus di Indonesia: di satu sisi ia diadakan untuk memburu dan mempertahankan pengetahuan universal, di sisi yang lain ia mengemban telos untuk merealisasi paham kebangsaan yang sifatnya partikular. Universitas di Indonesia selalu berada dalam ketegangan antara universalitas kosmopolitan vis-à-vis partikularitas/nasionalisme.
Regangan itu menjadi karakter yang membedakan universitas di Indonesia dengan universitas di negara-negara liberal. Ini pula yang membuat universitas tidak mungkin steril dari politik, karena seluruh eksistensinya sedari awal dimaksudkan untuk memenuhi tujuan-tujuan politik masyarakatnya. Untungnya, politik yang membentengi universitas adalah arkhe politics, yakni politik sebagai yang moral-fondasional.
Di sini, kita, sekali lagi, bisa memahami nature otonomi kampus di Indonesia bukan berarti steril atau higienis dari politik, melainkan moralitas politik perguruan tinggi superior di atas relasi dan jalinan kepentingan di sekitarnya. Dengan kata lain, universitas diserahi pula tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik bagi masyarakat. Inilah kehormatan yang menyertai guru besar-guru besar di luar fungsi dan jabatannya.
Posisi moral universitas dan kehormatan guru besar kini sudah digerus dan dirontokkan oleh perubahan zaman. Seiring dengan birokratisasi kampus, guru besar kini dikeringkan dari fungsi moralnya dan diposisikan semata sebagai jabatan fungsional dalam anak tangga karier akademik. Tak mengherankan apabila banyak pemimpin universitas—sekalipun terlihat janggal—merangkap pejabat bisnis dan komersial di badan usaha milik negara. Kini kita tak lagi heran melihat banyaknya rektor dan pemimpin universitas menjadi pesakitan di penjara karena korupsi.
Lepas dari kemerosotan itu, masih ada secuil mekanisme yang bisa melindungi kehormatan guru besar, yakni kejujuran akademis. Mekanisme ini dimungkinkan mengingat evaluasi jabatan-jabatan akademik masih banyak mengandalkan mekanisme “self-assessment”, ketika para akademikus mengandalkan kejujuran untuk menilai kerja-kerjanya.
Dari segi ini, sebenarnya, terlepas dari banyaknya guru besar abal-abal, di kampus masih banyak akademikus jujur dan berilmu yang bekerja dengan tekun dan menyumbang dalam kehidupan publik. Namun pada akhirnya ini pun tetap mensyaratkan otoritas, sistem evaluasi, dan asesor yang kompeten dan jujur. Yang jadi soal: sistem yang kini bekerja, disengaja ataupun tidak, lebih banyak menyisihkan dan menutup peluang mereka. Ini yang membelah kampus-kampus di Indonesia dari dalam.
Kehormatan dan kebebasan akademik secara ironis bisa dipelihara hanya apabila kaum akademikusnya berkukuh mempertahankan prinsip panggilan. Sekalipun terasa klise, ini satu-satunya model keaktoran yang paling mungkin dan terbukti berarti di dalam sejarah Indonesia. Komersialisasi profesi jabatan akademik, klientelisme politik universitas, rasionalisasi, birokratisasi, profesionalisasi, dan pengejaran gelar yang serampangan justru mengancam dan membunuh kebebasan akademik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kehormatan Guru Besar"