Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROFESI akademik mempunyai karakteristik dan menerapkan praktik-praktik serupa profesi lain secara ekonomi. Pencantuman gelar akademik, termasuk profesor, bertujuan memberikan sinyal kepada pihak lain tentang tingkat kepakaran seseorang. Dalam teori pasar tenaga kerja, hal ini disebut dengan istilah labor market signaling. Sama halnya ketika seseorang mencantumkan gelar insinyur (Ir) atau certified public accountant (CPA) pada namanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Praktik pencantuman gelar, menurut Michael Spence, ekonom dari New York University, Amerika Serikat, yang meraih Hadiah Nobel Ekonomi tentang risetnya dalam bidang ini, merupakan upaya seseorang memperbaiki ketidaksempurnaan informasi (asymmetric information). Tujuannya, dia dihargai sesuai dengan kualifikasinya oleh pihak lain, misalnya pemberi kerja. Dengan kata lain, gelar profesor—gelar tertinggi dalam karier akademik—sangat diminati karena alasan yang tidak bisa dipisahkan dari motivasi ekonomi atau finansial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain memperoleh tunjangan senilai satu kali gaji pokok, seorang akademikus akan lebih dihormati oleh kolega atau peer-nya dengan gelar profesor. Termasuk lebih terbukanya peluang-peluang kerja sama riset dengan berbagai mitra ataupun donor. Output ini tentunya bagian dari ukuran kinerja seorang dosen dan umumnya berhubungan langsung dengan insentif finansial dosen yang bersangkutan.
Seorang profesor juga akan lebih banyak diminati untuk membimbing mahasiswa doktoral. Selain itu, seorang dosen dengan status guru besar berpeluang lebih sering diminta memberikan seminar-seminar di luar kampus. Demikian pula peluang ekonomi lain yang terbuka lebih luas, seperti menjadi konsultan dengan bayaran lebih tinggi. Dalam profesi tertentu, seperti kedokteran, pencantuman gelar profesor di papan nama tempat praktik tentu akan meningkatkan persepsi calon pasien terhadap kepakaran yang bersangkutan.
Dalam konteks kegurubesaran, terutama di Indonesia, labor market signaling ala Spence bukan satu-satunya motivasi dosen untuk memperoleh gelar profesor. Secara kultural, pencantuman gelar profesor di depan nama seseorang juga dapat meningkatkan status sosial dalam masyarakat. Apalagi dalam masyarakat yang feodalistik atau mewarisi sistem feodal.
Tidak seperti di banyak negara lain, aspek kultural gelar profesor di Indonesia tampak dengan adanya kebiasaan menyapa seorang guru besar dengan sapaan “Prof”—sering tanpa diikuti nama yang bersangkutan. Kebiasaan ini bahkan terjadi dalam acara-acara nonakademis di luar kampus. Contoh lain adalah maraknya para profesor yang mencantumkan gelar tersebut pada profil WhatsApp mereka. Padahal komunikasi di saluran itu bukan melulu urusan akademis.
Profesi pendidik seperti guru dan dosen mempunyai tempat khusus di masyarakat Indonesia. Apalagi pendidik dengan gelar profesor, jenjang tertinggi pada profesi ini. Fenomena ini sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di budaya negara Asia lain, seperti Jepang, dosen sering dipanggil sebagai “sensei”, yang bermakna “orang yang lahir sebelum kamu”. Sebutan itu merupakan bentuk penghormatan kepada profesi seseorang sebagai pendidik.
Demikian juga di Thailand, dosen biasa dipanggil “ajarn” sebagai bentuk penghormatan dari masyarakat. Namun kebiasaan memanggil seorang guru besar dengan sapaan “Prof” tanpa diikuti nama dalam konteks nonformal akademis sepertinya hanya terjadi di Indonesia. Yang menarik, di sini, jika para profesor berkumpul, mereka cukup saling memanggil “Prof”, situasi yang cukup membuat canggung untuk mereka yang tidak terbiasa. Sementara itu, di Eropa dan Amerika, jarang sekali gelar profesor digunakan dalam acara nonakademis di luar kampus.
Penghormatan kepada seorang profesor di masyarakat, terutama di negara berkembang, juga lebih terasa karena akademikus sering berperan sebagai intelektual publik. Mereka dianggap sebagai tempat bertanya sesuai dengan kepakarannya jika ada isu-isu yang memang menjadi perhatian masyarakat. Gelar profesor berperan sebagai kredensial atas kepakaran intelektual tersebut.
Institusi, dalam hal ini perguruan tinggi, juga berkepentingan dengan gelar profesor dari dosen-dosennya. Selain reputasi lembaga akan terkerek, perguruan tinggi lebih leluasa membuka program-program studi baru agar menarik lebih banyak mahasiswa. Salah satu syarat pembukaan program studi baru biasanya adalah adanya dosen bergelar guru besar sebagai salah satu pengajarnya.
Untuk memperoleh gelar profesor di Indonesia, ada sisi susahnya. Namun ada pula sisi mudahnya. Disebut susah karena seorang calon profesor atau guru besar harus menunggu sepuluh tahun berkarier secara akademik. Mereka pun wajib mengumpulkan angka kredit cukup banyak dari tiga aspek: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Karena itu, biasanya seorang profesor di Indonesia umumnya merupakan dosen senior.
Ada syarat khusus bagi dosen yang hendak menjadi guru besar di Indonesia, yakni mempunyai publikasi di jurnal internasional bereputasi. Di sinilah syarat yang sebetulnya bisa dibilang mudah, bahkan mungkin termudah sedunia. Sebabnya, calon profesor tersebut cukup mempunyai satu artikel di jurnal internasional bereputasi. Padahal seorang profesor di sejumlah negara maju lazimnya memiliki banyak publikasi.
Anehnya, banyak calon profesor kesulitan memenuhi syarat yang tergolong mudah itu. Ada banyak cerita, berkas calon profesor menumpuk di kampus-kampus walaupun sudah lengkap secara administrasi. Dokumen persyaratan itu belum bisa diajukan karena masih menunggu syarat khusus publikasi ilmiah terpenuhi.
Mengapa banyak calon profesor tidak mempunyai publikasi di jurnal internasional bereputasi? Faktor penyebabnya cukup banyak. Salah satunya publikasi di jurnal ilmiah internasional terbilang “barang baru” di Indonesia. Publikasi di jurnal ilmiah adalah bentuk quality control penelitian, bagian dari profesionalisme para dosen dan peneliti. Laporan-laporan penelitian para akademikus Indonesia dulu umumnya berakhir di rak-rak berdebu perpustakaan, tidak dipublikasikan di jurnal melalui proses peer review yang tajam. Wajar saja kualitas riset dan pengembangan serta inovasi di Indonesia terpuruk karena risetnya jarang diuji validitasnya dengan baik.
Dengan kata lain, minimnya publikasi ilmiah para dosen atau calon profesor ini bersifat sistemik. Tidak akan ada publikasi ilmiah yang baik tanpa ada riset yang baik. Tidak akan ada riset yang baik jika ekosistem risetnya tidak berjalan dengan baik. Salah satu unsur pembentuk ekosistem riset yang baik adalah kecukupan anggaran dan fasilitas riset, juga keberpihakan kebijakan dan pimpinan negara pada pentingnya riset yang baik. Hal-hal tersebut masih menjadi kendala di Indonesia.
Tingginya hasrat menjadi profesor di tengah kondisi sistemik seperti ini membuat banyak calon guru besar di Indonesia mengambil jalan pintas melalui tindakan-tindakan yang melanggar etika akademik. Praktik-praktik itu, di antaranya, menyuruh orang lain menulis paper (perjokian jurnal) atau membeli authorship artikel yang sekarang cukup marak jaringan internasionalnya.
Praktik lain yang juga umum dilakukan adalah mempublikasikan artikel di jurnal-jurnal predator. Bahkan dalam beberapa kasus, karena proses publikasi di jurnal predator ini minim atau tidak melalui proses peer review, para calon guru besar memalsukan korespondensi dan review jurnal untuk memperkuat keabsahan artikel-artikel di jurnal ilmiah tersebut. Tentunya praktik ini sudah bukan lagi sekadar pelanggaran etik, melainkan tindakan kriminal. Institusi-institusi tempat para calon guru besar ini bekerja sangat mungkin menutup mata, bahkan secara langsung atau tidak langsung memfasilitasi praktik tersebut. Praktik ini pun tak hanya didukung oleh aktor-aktor di dalam kampus, tapi juga di luar kampus.
Praktik tersebut menunjukkan nilai kejujuran sudah mulai dikorbankan dalam aktivitas perguruan tinggi. Padahal kejujuran adalah detak jantung aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan. Ungkapan yang mengatakan “peneliti boleh salah asalkan tidak berbohong” adalah representasi akurat dari esensi proses riset dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pengetahuan seperti apa yang akan dihasilkan dari proses riset yang penuh dengan ketidakjujuran?
Pencapaian seseorang menjadi guru besar dengan cara-cara seperti ini adalah bentuk kejahatan kepada publik. Bayangkan jika ada seorang dokter yang menjadi profesor dengan modal syarat khusus publikasi di jurnal abal-abal. Gelar profesor di depan namanya mungkin akan menambah kredensialnya di mata pasien, tapi secara kredibilitas belum tentu. Kondisi ini jelas berbahaya karena menyangkut nyawa orang lain.
Bahaya kredensial palsu ini juga tentu berlaku di bidang keilmuan lain, seperti ekonomi. Apa jadinya jika kebijakan ekonomi yang menyangkut jutaan hajat hidup orang banyak dibuat oleh ekonom dengan kredensial yang tidak jujur tersebut?
Maraknya hal di atas, mau tak mau, menuntut kita semua merevisi pandangan tentang kegurubesaran. Jika praktik curang semacam ini terus terjadi, akhirnya orang tidak akan percaya lagi kepada kepakaran dan kredensial para profesor. “Inflasi” gelar profesor ini akan membubarkan proses signaling ala Michael Spence di Indonesia.
Korbannya bukan hanya profesor sejati, yang memperoleh gelarnya dengan cara-cara benar dan berintegritas. Publik juga akan menjadi korban dengan maraknya profesor palsu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo