Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Jalan Pintas Fakultas Baru

19 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA perguruan tinggi pada Mei lalu mendapatkan izin mendirikan fakultas kedokteran meski tak memenuhi syarat. Mereka adalah Universitas Bosowa di Makassar, Universitas Ciputra Surabaya, Universitas Muhammadiyah Surabaya, Universitas Wahid Hasyim di Semarang, dan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim di Malang, Jawa Timur. Izin sekonyong-konyong ini mencurigakan. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengatakan hendak mendongkrak jumlah dokter. Tapi sebagian besar daerah tempat universitas-universitas itu berada telah memiliki banyak fakultas kedokteran. Rasio minimum dokter per jumlah penduduk, yaitu 1 : 2.500, pun telah terlampaui.

PENGUMUMAN Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir pada 29 Maret lalu membuat Irawan Yusuf terperenyak. Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, itu terkejut karena universitas yang diberi izin membuka fakultas kedokteran baru oleh Menteri tidak sesuai dengan rekomendasi Tim Evaluasi Program Studi Pendidikan Dokter bentukan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Irawan salah seorang anggotanya.

Ada delapan perguruan tinggi yang disebut Nasir dalam maklumatnya. Mereka adalah Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar; Universitas Surabaya; Universitas Khairun, Ternate; Universitas Ciputra Surabaya; Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya); UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang; Universitas Wahid Hasyim (Unwahas), Semarang; dan Universitas Bosowa (Unibos), Makassar.

Tim evaluasi yang beranggotakan 12 orang dari sejumlah organisasi kedokteran itu menganggap hanya dua kampus yang layak, yakni UIN Alauddin dan Universitas Surabaya. Sedangkan Universitas Khairun diusulkan berstatus afirmasi atau ditempatkan di bawah pengawasan pemerintah selama dua tahun. Empat kampus lain dinyatakan tidak memenuhi syarat jumlah dosen, fasilitas, dan modul pembelajaran.

Bahkan Unibos sama sekali tidak pernah dievaluasi oleh Tim. "Kami tidak pernah lihat borangnya, apalagi divisitasi," kata Irawan bulan lalu. Borang adalah proposal kelengkapan program studi. Bila dokumennya lengkap, Tim Evaluasi kemudian mengunjungi universitas untuk melihat kelayakannya dengan mata kepala sendiri alias visitasi.

Penjelasan Irawan selaras dengan isi dokumen Direktorat Jenderal Kelembagaan Kementerian Pendidikan Tinggi. Dalam dokumen tersebut, nama Unibos—dulu Universitas 45 Makassar—tidak tertera sebagai pengusul pendidikan dokter dari 36 perguruan tinggi yang mengajukan.

Tempo berusaha meminta penjelasan mengenai hal ini kepada Menteri Nasir. Tapi surat permohonan wawancara dan pesan pendek ke nomor telepon selulernya tak ditanggapi. Selasa dua pekan lalu, saat dijumpai di Kementerian Perindustrian dan Dewan Perwakilan Rakyat, Nasir cuma mengatakan, "Sudah ada izinnya semua."

Sedangkan Direktur Jenderal Kelembagaan Kementerian Pendidikan Tinggi Patdono Suwignjo berkeras pemberian izin pendirian fakultas kedokteran merupakan kewenangan Menteri Pendidikan Tinggi. "Kalau diskresi, ya, tidak harus sesuai," katanya.

Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim, Mudjia Raharjo, tak membantah ataupun membenarkan informasi ini. Ia mengatakan sudah menandatangani pakta integritas berisi kesediaan menambah dosen dan melengkapi fasilitas dalam enam bulan sejak izin terbit. "Alhamdulillah, semua syarat telah terpenuhi," katanya tiga pekan lalu.

Rektor UM Surabaya Sukadiono, Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Ciputra Surabaya Hudi Winarso, mantan Rektor Unwahas Noor Achmad, dan Rektor Unibos Saleh Pallu menyanggah kabar bahwa kampus mereka mendapatkan izin lewat pintu belakang. "Unibos mengajukan sejak pertengahan 2014," kata Saleh.

+ + +

BEBERAPA jam sebelum Nasir mengumumkan pemberian izin, Ketua Konsil Kedokteran Indonesia Bambang Supriyatno, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Ilham Oetama Marsis, dan Ketua Asosiasi Institut Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) Hartono menghadiri sebuah rapat di kantor Kementerian Pendidikan Tinggi. Sampai mereka pulang, tak ada pembicaraan mengenai pengumuman hari itu.

Padahal, tiga bulan sebelumnya, Kementerian sepakat akan mengumumkannya bersama-sama Tim Evaluasi, yang sebagian anggotanya berasal dari ketiga organisasi itu. "Kami terkejut karena ada delapan universitas yang diumumkan," kata Bambang.

Bambang, Marsis, dan Irawan Yusuf mengatakan ada informasi bahwa Nasir mendapat tekanan dari penguasa politik. Patdono Suwignjo menyatakan itu kepada mereka saat rapat di Hotel Atlet Century, Jakarta, 28 Desember tahun lalu. Ketika ditanya soal izin, "Jawaban Dirjen, 'Ini politik. Tidak nyampai kami kalau soal politik'," ujar Bambang.

Sepekan sebelum pertemuan di Hotel Atlet Century, Bambang dan Marsis mengikuti rapat dengan Nasir di kantor Kementerian Pendidikan Tinggi. Patdono, Direktur Jenderal Sumber Daya Manusia Ali Gufran Mukti, serta Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Intan Ahmad turut hadir. "Titipan ini sulit bagi saya untuk menolaknya ataupun menerimanya," ujar Nasir, seperti ditirukan seorang guru besar yang mengetahui rapat ini. Tapi Nasir menampik. "Tidak ada itu," katanya.

Ditengarai pemilik Unibos, Aksa Mahmud, yang menggunakan jalur kekuasaan untuk mendapatkan izin. Pada 17 Desember tahun lalu, pemilik Grup Bosowa itu berkunjung ke kantor Kementerian Pendidikan Tinggi. Saat itu proses penilaian terhadap 36 universitas, minus Unibos, sedang berlangsung. Aksa memboyong sejumlah guru besar kedokteran dari Makassar. "Saya bawa mereka untuk meyakinkan Pak Menteri," kata ipar Wakil Presiden Jusuf Kalla ini pada November lalu. Ia membantah mengintervensi Nasir.

Empat kampus lain turut melobi melalui penguasa politik. Unwahas, misalnya, memanfaatkan politikus Partai Golkar di Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, Noor Achmad. Saat dimintai konfirmasi, Noor mengakui pernah melobi Nasir dan Staf Khusus Menteri Riset Abdul Wahid Maktub. "Semua orang yang punya kepentingan, ya, tetap melobi," kata Noor, bekas Rektor Unwahas.

UIN Maulana Malik Ibrahim juga mendekati Abdul Wahid Maktub. Akhir tahun lalu, Mudjia Raharjo dan Abdul Wahid bersua di kampus UIN Maulana. Dalam pertemuan itu, Mudjia menyampaikan telah mendapat rekomendasi dari Jusuf Kalla dan Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI keenam.

Rekomendasi dari Kalla mereka peroleh saat bertamu ke kantor Wakil Presiden pada Oktober 2015. "Saya ditanya program apa yang mendesak. Saya sampaikan pembangunan kampus III dan fakultas kedokteran," kata Mudjia.

Kalla mengatakan tidak ada yang keliru dengan obrolan tersebut. "Kenapa itu dicurigai? Mesti ditanya apa yang kurang, dong. Siapa tahu bisa dibantu," katanya. Ia juga mengakui pernah berkomunikasi dengan Nasir tapi bukan menyangkut izin fakultas kedokteran. "Bahwa saya mengunjungi, pasti iya. Tapi saya tidak pernah bicara tentang apa itu izin."

Mudjia mengantongi rekomendasi dari Yudhoyono ketika Ketua Umum Partai Demokrat itu berkunjung ke UIN untuk meresmikan gedung baru mereka pada Oktober 2015. Rekomendasi tersebut memuluskan kerja sama UIN Maulana dengan Rumah Sakit Tentara Soepraoen, Malang, Jawa Timur. UIN memerlukan rumah sakit itu sebagai syarat memperoleh izin membuka pendidikan dokter. Surat permintaan wawancara Tempo dengan Direktur Rumah Sakit Tentara Soepraoen Kolonel Ckm Supriyanto tak ditanggapi.

Yudhoyono belum membalas surat permintaan wawancara dari Tempo. Sedangkan juru bicara Partai Demokrat, Imelda Sari, tak bersedia memberikan tanggapan.

Abdul Wahid mengatakan lobi para politikus merupakan aspirasi yang harus dipertimbangkan. "Saya selalu menyempatkan untuk menyerap dan bertanya, lalu saya berikan saat berdua dengan Pak Menteri," ujar Politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu.

+ + +

MENJADI primadona di masyarakat, fakultas kedokteran merupakan lahan bagi universitas untuk meraup untung. Biaya kuliahnya lebih mahal ketimbang program studi lain.

Tahun ini kedelapan fakultas kedokteran yang baru buka itu mematok uang pangkal Rp 200-250 juta per mahasiswa. Itu belum termasuk sumbangan pembinaan pendidikan atau SPP, yang bisa mencapai Rp 25 juta. Pokoknya, "Setelah lulus ujian masuk, bayar uang gedung Rp 200 juta," kata Dekan Fakultas Kedokteran UM Surabaya M. Jusuf Wibisono. Tapi ongkos mahal sering tak berbanding lurus dengan kualitas.

Pada Oktober lalu, seribuan dokter IDI berdemonstrasi menolak program Dokter Layanan Primer (DLP). Kementerian Kesehatan mengklaim program ini untuk meningkatkan kualitas pelayanan di puskesmas. Kurikulumnya diklaim setara dengan spesialis. Tapi, menurut IDI, mata kuliahnya tak beda dengan pendidikan strata satu. "DLP ini hanya akan menghabiskan uang negara," kata juru bicara aksi tersebut, Agung Sapta Adi.

Program DLP diprotes karena membuat waktu kuliah dokter umum jadi tambah panjang. Biaya semakin besar. Padahal akar persoalannya adalah pengelolaan pendidikan kedokteran yang serampangan, berawal dari pemberian izin serta pengawasan yang longgar. Masalah ini sudah terjadi jauh sebelum izin sembrono Mohamad Nasir untuk lima fakultas baru pada Maret lalu.

Kampus yang hendak mendirikan fakultas kedokteran setidaknya harus memenuhi empat syarat, yakni rasio dosen-mahasiswa 1 : 10, enam di antara dosennya harus spesialis; memiliki laboratorium sendiri; telah menjalin kerja sama dengan fakultas kedokteran berakreditasi A sebagai pembimbing; serta kurikulumnya terintegrasi dan berbasis kompetensi. Persyaratan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter, dan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 10 Tahun 2012 tentang Standar Profesi Pendidikan Dokter.

Lantaran ketentuan itu sering diabaikan, banyak fakultas kedokteran beroperasi dengan kualitas abal-abal. Menurut data Kementerian Pendidikan Tinggi, tahun lalu setengah dari 75 fakultas kedokteran menyandang akreditasi C—lapis terendah dari tiga golongan akreditasi. Kualitas lulusannya pun buruk.

Marsis, yang pernah mendapat tugas dari IDI dan AIPKI menyelenggarakan ujian bagi retaker pada 2013, mengatakan setiap tahun sekitar 30 persen calon dokter gagal dalam uji kompetensi. Ada yang mengkuti tes sampai 19 kali.

Ujian kompetensi merupakan syarat bagi calon dokter memperoleh surat tanda registrasi agar boleh menangani pasien. Mereka mengikuti ujian setelah menyelesaikan pendidikan selama tujuh tahun: akademik, koasistensi, dan internship.

Tiga tahun lalu retaker yang diurus Marsis 2.500 orang. Sebelum ujian, mereka mendapatkan bimbingan dari panitia. Beberapa kali mengulang, tetap saja ada yang tidak lulus. "Sampai selesai, masih ada sekitar 100 yang tidak lulus dan memilih tidak berprofesi sebagai dokter," katanya.

Kondisi ini belum berubah. Menurut data panitia uji kompetensi, pada 2014 peserta yang jeblok 2.064 orang. Tahun lalu naik mencapai 2.984. Kebanyakan mereka yang gagal berasal dari fakultas kedokteran berakreditasi C.

Itu sebabnya Konsil Kedokteran berkali-kali meminta pemerintah menyetop sementara pemberian izin penyelenggaraan pendidikan dokter. "Ini sedang sakit, kok menerima lagi. Seharusnya beresin dulu sakitnya itu," kata Bambang Supriyanto.

Pemerintah pernah menghentikan sementara perizinan program pendidikan dokter pada 2011-2014. Tidak sepenuhnya efektif. Selama masa moratorium, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh tercatat menerbitkan izin untuk Universitas Papua. Dia beralasan izin diberikan berdasarkan kebutuhan. "Semua syarat terpenuhi," ujarnya.

Nuh juga memberikan izin untuk Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa). Kampus ini milik Yayasan Rumah Sakit Islam (Yarsi) Surabaya yang dipimpin Nuh sendiri.

Unusa mendapatkan lisensi pada Juli 2014, tiga bulan menjelang Nuh lengser dari jabatan menteri. Sebelumnya, Nuh mencabut moratorium. Rentang waktu antara pencabutan moratorium dan terbitnya izin bagi perguruan tinggi itu kurang dari satu bulan. Nuh memberi alasan, Unusa sudah lama mengajukan permohonan. "Jangan sampai karena saya ada di situ, malah tidak boleh. Tidak benar juga," katanya menjawab pertanyaan Tempo.

Masalahnya, menurut anggota Tim Evaluasi saat itu, Irawan Yusuf, Unusa tidak lolos seleksi. Tim merekomendasikan Unusa membenahi dahulu fasilitasnya dalam setahun, lalu dinilai ulang. "Ini hanya beberapa bulan, sudah dikasih izin," kata Irawan.

+ + +

PADA awal November lalu, Tempo mereportase lagi satu per satu kampus yang dinilai tak layak. Unibos baru menyelesaikan pembangunan gedung pendidikan dokter bulan lalu. Bangunan berlantai tiga itu terdiri atas 12 ruang kuliah, kantor, dan laboratorium. Semua ruangan masih melompong, tanpa bangku, meja, dan peralatan lab.

Padahal Unibos sudah menerima 50 mahasiswa pendidikan dokter untuk tahun ajaran 2016-2017. Mereka terpaksa dikuliahkan di Universitas Airlangga, pembina Unibos. Rencananya hingga Januari mendatang. Di Unair, mereka belajar anatomi, biomedik, dan histologi. "Kami baru tahu saat tanda tangan MoU dengan Unair," kata Febio Febrian, mahasiswa baru Unibos.

Rektor Unair Mohammad Nasih belakangan tahu soal ini. "Saya tanya, lho, programnya apa, kok, ada pembukaan di sini?" ujarnya. Namun, menurut Aksa Mahmud, kuliah di Unair sudah mereka rencanakan sejak jauh hari. "Saya bilang supaya anak-anak punya kebanggaan. Nanti saat koas (koasistensi) juga di Airlangga," katanya.

Unair baru resmi menjadi pengampu Unibos sekitar empat bulan setelah izin terbit. Ini mengherankan. Soalnya, salah satu syarat mendapatkan izin menyelenggarakan pendidikan kedokteran adalah adanya fakultas kedokteran lain sebagai pengampu.

Kesepakatan Unair dan Unibos ditandatangani pada 25 Juli 2015, bersamaan dengan peresmian gedung Fakultas Kedokteran Unibos. Wakil Rektor I Unair Djoko Santoso menandatangani perjanjian itu. Ia menghadiri peresmian gedung di Makassar bersama sejumlah dosen Fakultas Kedokteran Unair.

Rombongan Djoko terbang ke Makassar menumpang pesawat pribadi Jusuf Kalla. Wakil Presiden mengakui rombongan Unair ikut bersamanya, tapi dia mengatakan hal tersebut bukan masalah. "Apa salah jika dekan itu dengan saya ke Makassar?" kata Kalla.

Selain mengampu Unibos, Unair menjadi pengampu fakultas kedokteran UM Surabaya, Universitas Ciputra Surabaya, dan Unusa. Kondisi ini tentu menyulitkan dosen Unair membagi tugas. Belum lagi ternyata rasio dosen-mahasiswa kedokteran Unair masih 1 : 11,8.

Berbeda dengan Unibos, bangunan perkuliahan pendidikan dokter UM Surabaya, UIN Maulana Malik Ibrahim, Universitas Ciputra Surabaya, dan Unwahas sudah tegak berdiri. UM Surabaya menyulap gedung lama menjadi seperti baru. Unwahas memakai bekas gedung rumah sakit. Sedangkan UIN Maulana Malik Ibrahim menggunakan bangunan baru berlantai empat, yang diberi nama Gedung Prof Dr Susilo Bambang Yudhoyono.

2011

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menghentikan sementara izin pembukaan pendidikan dokter. Banyak fakultas kedokteran baru kualitasnya di bawah standar.

2014

7 Mei

Universitas Papua mendapatkan izin operasi pendidikan dokter.

25 Juni

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencabut moratorium.

18 Juli

Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya mendapat izin operasi pendidikan dokter.

Hingga Desember

16 perguruan tinggi mengajukan proposal.

2015

1 Januari

Kementerian Riset membentuk Tim Evaluasi Program Studi Pendidikan Dokter. Sebagian anggotanya utusan organisasi kedokteran.

Januari-Maret

Sebanyak 20 perguruan tinggi lain mengajukan proposal, sehingga total ada 36 universitas yang mendaftar.

22-23 April

Tim Evaluasi meloloskan 10 perguruan tinggi ke tahap evaluasi.

Mei

Universitas Surabaya, Universitas Khairun, dan UIN Alauddin lolos evaluasi.

18 Mei

Visitasi Universitas Surabaya.

20 Mei

Visitasi UIN Alauddin.

15 Agustus

Visitasi Universitas Khairun.

14 September

Universitas Surabaya dan UIN Alauddin dinyatakan memenuhi syarat. Universitas Khairun disetujui dengan afirmasi. Artinya harus berada di bawah pengawasan pemerintah selama dua tahun.

Awal Desember

Kementerian Riset meminta Tim Evaluasi memberikan kesempatan kepada universitas yang tak lolos untuk memperbaiki proposal.

10 Desember

UIN Maulana Malik Ibrahim, Universitas Muhammadiyah Surabaya, dan Universitas Wahid Hasyim memperbaiki proposal.

17 Desember

Universitas Ciputra Surabaya memperbaiki proposal.

28 Desember

Tim Evaluasi merekomendasikan pemberian izin operasi bagi Universitas Surabaya, UIN Alauddin, dan Universitas Khairun.

31 Desember

Universitas Ahmad Dahlan memperbaiki proposal.

13 Januari

Visitasi UIN Malik Ibrahim.

2016

14 Januari

Visitasi Universitas Ciputra.

15 Januari

Visitasi Universitas Muhammadiyah Surabaya.

17 Januari

Visitasi Universitas Wahid Hasyim.

18 Januari

Visitasi Universitas Ahmad Dahlan.

25 Januari

Tim menyimpulkan kelima perguruan tinggi yang baru divisitasi tetap belum memenuhi syarat.

16 Februari

Universitas Bosowa, yang tak pernah mendaftar dan tidak mengikuti proses seleksi, mendapatkan izin operasi membuka pendidikan dokter.

28 Maret

Universitas Ciputra Surabaya, UIN Maulana Malik Ibrahim, Universitas Muhammadiyah, dan Universitas Wahid Hasyim mendapatkan izin operasi.

29 Maret

Kementerian Pendidikan Tinggi mengumumkan nama delapan penguruan tinggi yang mendapatkan izin operasi pendidikan dokter.

Juni

Kementerian Pendidikan Tinggi kembali menghentikan sementara pemberian izin penyelenggaraan pendidikan kedokteran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus