Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERCATAT sebagai dosen pada program studi kedokteran Universitas Abulyatama, Banda Aceh, Tengku Farita tak ada jejaknya ketika Tim Evaluasi Program Studi Pendidikan Dokter dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi berkunjung ke sana pada 24 Agustus tahun lalu. Mahasiswa pun tak ada yang mengenalnya, meski dalam Pangkalan Data Kementerian Pendidikan Tinggi dia tercatat sebagai dosen tetap.
Tim lantas meminta pihak kampus menghadirkan semua pengajar di fakultas kedokteran. Sama saja. Bagi para dosen pun nama tersebut misterius. "Ini jelas dosen fiktif," kata seorang anggota Tim kepadaTempo, pertengahan November lalu.
Pada Pangkalan Data tercatat Tengku Farita menyelesaikan studi strata satu di Universitas Sumatera Utara pada 1986. Namun, hingga berita ini ditulis, Universitas Sumatera Utara belum berhasil menemukan catatan serta arsip mengenai dia.
Pencantuman nama dosen fiktif merupakan satu dari banyak cara universitas mengelabui Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Nomor 10 Tahun 2012 tentang Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. KKI mensyaratkan rasio dosen yang memiliki ekuivalen waktu belajar penuh (38 jam per minggu) dan mahasiswa minimal 1 : 10. Mengakalinya, selain dengan nama fiktif, Abulyatama merekrut dosen paruh waktu tapi mengakuinya sebagai dosen tetap. Bahkan Tim Evaluasi mendapatkan tujuh dosen yang namanya terdaftar tapi tak aktif mengajar.
"Dari pagi hingga sore, kami menemukan banyak kekurangan. Miris," ujar anggota Tim yang juga Ketua KKI, Profesor Herkutanto. Dokter yang aktif di Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan ini menilai fasilitas belajar di Abulyatama belum sebanding dengan duit yang dikeluarkan mahasiswa.
Seperti fakultas kedokteran di kampus lain, uang kuliah di Abulyatama sangat mahal. Pada 2014 dan 2015, sumbangan pendidikan Rp 100 juta dan biaya bulanan Rp 1,75 juta. Kini besar sumbangan wajib sudah mencapai Rp 225 juta dengan uang bulanan Rp 2 juta.
Mengabaikan daya dukung fakultas, Abulyatama terus menerima mahasiswa kedokteran dalam jumlah besar. Tim Evaluasi mencatat, pada 2014 ada 127 mahasiswa kedokteran anyar. Setahun sebelumnya 199 mahasiswa. Padahal Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 576/EHK/2013 menetapkan program studi kedokteran berakreditasi C hanya boleh menerima paling banyak 100 mahasiswa baru. Itu pun jika tingkat kelulusan uji kompetensi calon dokternya 90-100 persen.
Rektor Universitas Abulyatama R. Agung Efriyo Hadi enggan mengomentari temuan Tim Evaluasi Kementerian Pendidikan Tinggi tahun lalu itu. "Ya, pada prinsipnya, mereka membimbing kami untuk ke arah yang lebih baik. Sudah ya, saya buru-buru mau ke bandara," ujarnya pada Jumat terakhir November lalu.
Masalahnya, Abulyatama belum berubah, masih saja melanggar ketentuan tentang jumlah mahasiswa baru. Kepala Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Abulyatama Ferliya Elyza mengatakan, pada 2016, mereka menerima 75 baru kedokteran. Padahal status akreditasi pendidikan kedokterannya masih C dan tingkat kelulusan uji kompetensi calon dokternya, berdasarkan dokumen yang diperoleh Tempo, hanya 36 persen. Seharusnya mereka hanya menerima 50 mahasiswa baru.
MERUJUK pada Pangkalan Data Kementerian Pendidikan Tinggi, terdapat cukup banyak fakultas kedokteran lain yang fasilitas belajarnya di bawah standar. Data per akhir November lalu, lebih dari 20 kampus belum memenuhi syarat rasio dosen dan mahasiswa.
Universitas Hang Tuah di Surabaya salah satunya. Rasio dosen berbanding mahasiswanya 1 : 46,1, jauh dari ketentuan, yakni 1 : 10. Awal Desember lalu, tak lama setelah mendapat pertanyaan dari Tempo, data universitas itu berubah. Rasionya sekarang menjadi 1 : 26,8. Dalam sebulan, jumlah mahasiswanya berkurang dari 1.245 menjadi hanya 723. Dosen tetapnya ada 27 orang.
Dekan Fakultas Kedokteran Hang Tuah Sakti Hoetama mengklaim mereka masih sesuai dengan aturan. "Dari ribuan pendaftar, tahun ini kami hanya menerima 200 mahasiswa baru," katanya. Sebagai fakultas kedokteran dengan akreditasi B, mereka memang dibolehkan menerima mahasiswa hingga sebanyak itu.
Rasio dosen-mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih (Uncen), Papua, sebelas-dua belas, hanya 1 : 34,1. Dibuka pada 2002, tahun ini total mahasiswa kedokteran Uncen mencapai 1.557 orang. Sebanyak 1.057 di antaranya sedang menempuh pendidikan S-1. Dekan Fakultas Kedokteran Tranyanus Yembise mengatakan mereka pernah menerima lebih dari 350 mahasiswa baru para 2012, meskipun berakreditasi C. Setelah ditegur, sekarang tidak lagi. "Tahun ini kami hanya menerima 50 mahasiswa," ujarnya.
Pelanggaran juga terjadi pada penetapan syarat mahasiswa baru kedokteran. Lantaran ingin menerima murid sebanyak mungkin, ada universitas yang nekat mengabaikan tuntutan latar belakang jurusan calon mahasiswa di sekolah menengah atas.
Peraturan KKI Nomor 10 Tahun 2012 menyatakan hanya lulusan ilmu pengetahuan alam (IPA) yang bisa mengikuti ujian masuk pendidikan kedokteran. Tapi Universitas Malahayati di Lampung pernah menerima lulusan sekolah menengah atas jurusan ilmu pengetahuan sosial (IPS) dan lulusan sekolah teknik menengah (STM).
Atas pelanggaran tersebut, mereka cuma mendapatkan teguran. "Kami juga menegur mereka karena menerima mahasiswa lebih dari 200 orang," ujar Hermawan Kresno Dipojon, yang menjadi Direktur Kelembagaan Kementerian Pendidikan pada 2014-2015.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Toni Prasetia dan Ketua Program Studi Kedokteran Dalfian Adnan melalui pernyataan tertulis mengatakan kekeliruan tersebut sudah mereka perbaiki. "Mereka yang dari jurusan IPS dan STM disarankan untuk sekolah persamaan dan sudah dilakukan," katanya.
Di beberapa universitas lain, yang salah jurusan malah dosennya. Contohnya Universitas Methodist Indonesia di Medan. Berdasarkan informasi di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, dosen bernama Paul Saut Marganda L. Tobing, bergelar magister kesehatan, mengampu hingga delapan mata kuliah pada semester genap 2015. Antara lain, dia mengajar dermato muskulo skeletal, respirasi, geriatri dan onkologi, serta sistem saraf dan hormonal. Seharusnya, kalau melihat gelarnya, dia hanya boleh mengajar mata kuliah yang terkait dengan kesehatan masyarakat.
Melalui telepon, Paul membenarkan mengajar delapan mata kuliah. "Tapi itu hanya dasar-dasarnya," ujarnya. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Eka Samuel P. Hutasoit menolak memberikan keterangan.
KETUA Konsil Kedokteran Indonesia Bambang Supriyatno mengatakan karut-marut fasilitas pendidikan kedokteran berimbas pada kualitas dokter di negeri ini. Menurut dia, itu terlihat dari tingkat kelulusan uji kompetensi yang rendah.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, setelah lulus dari pendidikan kedokteran, calon dokter harus lulus uji kompetensi sebelum dapat berpraktek sebagai dokter. Uji kompetensi ini diselenggarakan oleh pemerintah bekerja sama dengan organisasi pendidikan kedokteran dan organisasi dokter.
Berdasarkan data hasil uji kompetensi tahun 2015, tingkat kelulusan calon dokter dari kampus-kampus bermasalah amat rendah. Ada 11 kampus yang persentase kelulusannya di bawah 50 persen, kebanyakan berakreditasi C. Terbawah Universitas Cenderawasih, yakni 20 persen. Universitas Methodist Indonesia hanya 32 persen. Sedangkan calon dokter dari Universitas Abulyatama dan Malahayati yang berhasil lulus masing-masing cuma 36 dan 29 persen.
Tak mengherankan bila Konsil Kedokteran berulang kali menyarankan Kementerian Pendidikan Tinggi menghentikan sementara pemberian izin operasi pendidikan dokter, seperti pada 2011-2014. "Ini sedang sakit, kok, menerima lagi. Seharusnya beresin dulu sakitnya itu," kata Bambang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo