Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

JEBOL FULUS <font color=#FF0000>DI JALUR BUSWAY</font>

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menunjuk langsung operator busway di enam koridor. Dan konsorsium operator bus menentukan komponen biaya tanpa patokan jelas. Operasionalisasi bus di enam jalur khusus sepanjang 83 kilometer, alhasil, menjebol dana belanja provinsi ini. Hitungan investigasi Tempo, kerugian menembus angka Rp 122 miliar—setara dengan 102 bus Transjakarta.

22 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT bus melaju kencang dari arah Manggarai, Jakarta Selatan, pada suatu Kamis pagi. Beriringan, mereka tancap gas menuju daerah Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Di kaca depan empat bus itu tertempel angka 4, yang menunjukkan wilayah operasi mereka di koridor IV. Rute untuk koridor ini adalah Dukuh Atas tembus Pulogadung, Jakarta Timur. Menjelang halte tujuan akhir, wusss…! Empat kendaraan berbadan besar itu menyeruak ke luar jalur. Lalu melibas jalanan dengan gaya lazim kendaraan umum Ibu Kota yang saling sikut, jegal, klakson, kebut-kebutan dengan ugal-ugalan demi mengejar setoran.

Tempo merekam kejadian di atas dua pekan lalu—11 hari sebelum ulang tahun Jakarta, yang jatuh pada Senin ini, 22 Juni. Dengan jumlah penduduk hampir 9 juta pada 2009, Jakarta terseok-seok berbagi ruang dengan sekitar 5 juta kendaraan yang memadati sekujur jalan Ibu Kota. Bekas Gubernur Jakarta Sutiyoso tahu benar bahwa metropolis yang pernah dia pimpin selama dua periode ini sudah mirip sarden padat. Di simpul-simpul kota paling ramai, lalu lintas terkadang nyaris mustahil terurai. Sutiyoso lantas meluncurkan program busway pada 2004.

Busway, begitu tadinya niat Sutiyoso, adalah satu dari empat moda transportasi yang dia geber untuk mencairkan pekatnya kemacetan Jakarta. Tiga lainnya: monorel, waterway, dan subway. Impian Sutiyoso, entah ketinggian entah tidak, yang jelas belum kunjung tercapai. Perahu-perahu waterway teronggok tanpa daya dihajar sampah Kanal Banjir Barat. Monorel cuma tiangnya yang tegak macam monumen gagal di sepanjang Rasuna Said, antara lain. Subway masih belum jelas kabarnya. Jadilah busway satu-satunya moda—setidaknya sampai saat ini—yang diharapkan dapat memikat warga Jakarta, termasuk kelas menengah, naik bus ketimbang menyetir mobil.

Janji pemerintah Jakarta—begitu yang kita ingat—busway bakal memenuhi urat nadi lalu lintas Ibu Kota dengan keteraturan: bus melintas di jalur khusus, beroperasi dalam jadwal ketat, berhenti hanya di halte, dan jarak antarbus tertata rapi. Faktanya, menginjak tahun ke lima, polah bus khusus itu boleh dikatakan sudah mirip kendaraan umum lain di Jakarta. Sopir-sopirnya melanglang di jalanan reguler di luar jam-jam sibuk—pagi buta, tengah hari, atau malam larut—agar setoran bisa terkejar dan target kilometer terpenuhi. ”Sopir dituntut menempuh jarak sepanjang-panjangnya,” seorang petinggi perusahaan angkutan anggota konsorsium operator busway.

Kilometer tempuh merupakan kunci pendapatan operator bus. Angkutan umum lain di Jakarta dibayar berdasarkan jumlah penumpang. Operator bus Transjakarta dibayar berbasiskan jarak operasional. Badan Layanan Umum Transjakarta menjadi pengatur armada bus yang beroperasi. Badan ini menentukan jumlah bus di satu koridor pada jam-jam tertentu. Dia bisa meminta operator menurunkan semua bus mereka pada jam sibuk, dan sebaliknya membatasi jumlah bus di luar jam itu.

Gubernur Sutiyoso mulai membangun proyek busway pada 2003. Hingga kini, delapan dari 15 koridor yang direncanakan telah beroperasi. Operasi kendaraan ini disokong oleh sejumlah konsorsium. Anggotanya para ”penguasa” trayek di setiap koridor sebelum busway dibangun. Pemerintah DKI Jakarta memberi mereka hak istimewa menyediakan bus serta mengoperasikannya, dan dibayar dengan perhitungan kilometer. ”Mereka ditunjuk langsung karena dulu enggak ada yang mau (menjadi operator),” ujar Sutiyoso kepada Tempo.

Maka basis pembayaran kepada konsorsium-konsorsium pun tak berdasarkan penawaran terendah. Ini jelas terlihat ketika perusahaan lain diberi kesempatan menyediakan bus di koridor IV hingga VII melalui mekanisme lelang tarif. Dari peserta yang lolos lelang, tergambar betapa tarif konsorsium yang ditunjuk langsung pemerintah lebih tinggi Rp 3.400 lebih dibanding tarif hasil lelang (lihat infografis ”Ongkos Membobol Kas”).

Pada 2007 dan 2008, Badan Layanan Umum mencairkan Rp 260,9 miliar untuk membayar konsorsium Jakarta Trans Metropolitan dan Jakarta Mega Trans, dua konsorsium operator di Koridor IV-VII. Bila kita menggunakan hitung-hitungan harga hasil lelang, Badan Layanan mestinya cukup membayar Rp 202,4 miliar—lebih murah Rp 58,5 miliar. Bila tahun berjalan 2009 dimasukkan, investigasi Tempo memperkirakan akan ada kelebihan bayar oleh Badan Layanan sekitar Rp 62,6 miliar.

Jumlah kelebihan bayar kian besar jika koridor II dan III yang operatornya ditunjuk langsung diperhitungkan. Perhitungan majalah ini, kerugian dari pembayaran untuk konsorsium itu minimal menembus angka sekitar Rp 122,1 miliar: jumlah yang cukup untuk membeli 102 bus.

Indonesia Corruption Watch memaparkan perkiraan kerugian yang kurang-lebih sama. Lembaga itu melaporkan adanya dugaan korupsi busway di koridor IV-VII ini ke Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir Mei lalu. Menurut lembaga pemantau korupsi itu, perbedaan tarif konsorsium dan pemenang lelang merugikan negara Rp 61,8 miliar selama dua tahun.

l l l

Sejak awal busway tampaknya dibangun dengan semangat ”kejar setoran”. Sutiyoso menggeber proyek ini, berharap 10 koridor bisa beroperasi pada akhir 2007, saat masa pemerintahannya rampung. ”Saya learning by doing: sembari jalan, kami perbaiki yang belum sempurna,” kata Sutiyoso, yang sempat mendeklarasikan diri sebagai calon presiden 2009-2014.

Proyek busway pun dikebut. Setelah koridor Blok M-Kota rampung pada 15 Januari 2004, Sutiyoso meresmikan koridor Pulogadung-Harmoni dan Harmoni-Kalideres, dua tahun kemudian. Untuk melayani dua jalur sepanjang 33 kilometer itu diperlukan 126 bus. Konsorsium PT Transbatavia, yang ditunjuk menjadi operator, baru menyediakan separuhnya.

Belum lagi beres, pada 20 Juli 2006 Kepala Dinas Perhubungan Nurachman menyurati sejumlah perusahaan, seperti Steady Safe, Mayasari, PPD, dan Bianglala. Layanan operasi kendaraan mereka mencakup Kampung Melayu, Kampung Rambutan, Ancol, Ragunan, Pulogadung, hingga Dukuh Atas. Nurachman—kini Kepala Biro Humas DKI Jakarta—memberitahukan bahwa busway koridor IV hingga VII, yang bakal menggusur trayek perusahaan-perusahaan itu, dioperasikan pada akhir tahun.

Tak sampai sebulan, Nurachman menyetujui pembentukan dua konsorsium: Jakarta Trans dan Jakarta Mega. Mereka ditunjuk langsung untuk mengoperasikan 101 bus. Padahal saat itu belum ada harga pokok satuan sebagai acuan untuk menentukan nilai barang. Tarif per kilometer pun belum disepakati.

Keputusan itu sebenarnya bertentangan dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, yang berisi pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Aturan itu mengharuskan pelaksanaan lelang untuk pengadaan di atas Rp 50 juta. Toh, keputusan Nurachman justru dikuatkan oleh Gubernur Sutiyoso. Dia mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 123 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Operator Busway. Ditandatangani pada 7 Desember 2006, aturan itu melegalkan penunjukan langsung operator busway.

Sutiyoso mengatakan cara itu dipilih karena pada awalnya tak ada perusahaan yang berminat menjadi operator busway. Para pemilik trayek yang tergusur busway diberi keistimewaan, menurut dia, untuk menghindari main gusur. ”Supaya tak ribut,” katanya. ”Ini darurat.”

Karena tak ada lelang, harga ditentukan melalui proses tawar-menawar. Konsorsium pada awalnya mengajukan Rp 16.641 per kilometer untuk koridor Pulogadung-Dukuh Atas, Rp 29.867 untuk bus gandeng koridor Kampung Melayu-Ancol, Rp 16.619 buat koridor Ragunan-Dukuh Atas, dan Rp 15.965 untuk koridor Kampung Rambutan-Kampung Melayu.

Usul itu dibawa ke ruang rapat. Negosiasi ini berjalan alot. Setidaknya konsorsium empat kali merevisi tawaran. Nilai penawaran terakhir mereka Rp 13.200 per kilometer. Badan Layanan terus meminta konsorsium menurunkan penawaran. Sementara itu, target peluncuran kian dekat. Pelaksana Tugas Kepala Badan Layanan Umum Victor Tampubolon memutuskan harga Rp 12.885 per kilometer untuk bus tunggal. Angka ini tertuang dalam surat perintah kerja, dengan catatan harga akan disesuaikan jika tercapai kesepakatan.

Badan Layanan seolah memenangi negosiasi karena berhasil menekan penawaran konsorsium. Tapi harga itu ternyata tetap menjulang tatkala Badan Layanan membuka peluang bagi perusahaan-perusahaandi luar konsorsium melalui tender pada akhir 2007.

Perusahaan yang lolos proses verifikasi tender antara lain Big Bird Pusaka, Arimbi Jaya Agung, Mayasari Bakti, Mandira Erajasa Wahana, Ekasari Lorena Transport, Primajasa, dan Bianglala Metropolitan. Hasilnya, Lorena memenangi tender untuk koridor Kampung Melayu-Ancol dan Kampung Rambutan-Kampung Melayu. Primajasa meraih koridor Pulogadung-Dukuh Atas dan Ragunan-Dukuh Atas. Harga pemenang lelang Rp 9.443 per kilometer untuk bus tunggal-lebih murah sekitar Rp 3.400 per kilometer dibanding harga penunjukan.

Mayasari dan Bianglala, anggota konsorsium yang mengikuti lelang, pun menawarkan angka di bawah harga penunjukan. Mayasari mengajukan Rp 10.950 per kilometer, dan Bianglala Rp 10.335 per kilometer. ”Artinya, mereka mengakui selama ini dibayar terlalu tinggi,” ujar sumber Tempo.

Dengan jarak tempuh setiap bus 250 kilometer per hari, Badan Layanan harus membayar Rp 850 ribu lebih mahal. Jika konsorsium mengoperasikan 100 bus, jumlah kelebihan itu mencapai Rp 85 juta per hari. Artinya, Badan Layanan membayar Rp 2,55 miliar lebih mahal setiap bulan. Dalam setahun, Rp 25-30 miliar pun melayang ke konsorsium.

Dari dokumen yang diperoleh Tempo, nilai gila-gilaan pada berbagai komponen biaya merupakan penyebab tingginya harga konsorsium. Umpamanya, nilai satu unit penyejuk udara alias AC dianggarkan hingga Rp 90 juta, 30 kali lipat harga pasar.

Pembelian suku cadang seperti AC merupakan komponen yang menentukan tarif per kilometer. Pengeluaran ini masuk pos biaya operasional dan pemeliharaan, bersama biaya bahan bakar gas, minyak pelumas, ban, sopir, serta mekanik. Komponen lain adalah biaya investasi (meliputi harga bus, suku bunga, nilai kurs, depresiasi, serta nilai residu) dan biaya overhead (retribusi terminal, pajak dan kir, asuransi, depresiasi bangunan dan peralatan, pemeliharaan bangunan dan peralatan, biaya sumber daya manusia).

Konsorsium mematok biaya bunga investasi 20 persen per tahun atau bunga tetap 13,8 persen. Bandingkan dengan bunga investasi perusahaan yang menang tender, sekitar 9,6 persen saja. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pun menganggap bunga konsorsium tidak wajar, karena pada 2006 bunga bank normal hanya 11 persen.

Manajemen gemuk konsorsium membuat biaya membengkak. Untuk mengelola 60-an bus, satu konsorsium memiliki presiden komisaris bergaji Rp 20 juta per bulan dan tiga komisaris bergaji masing-masing Rp 15 juta per bulan. Konsorsium juga memiliki seorang presiden direktur bergaji Rp 20 juta per bulan dan tiga direktur bergaji masing-masing Rp 15 juta per bulan. Untuk jumlah bus yang hampir sama, perusahaan pemenang tender hanya perlu seorang direktur bergaji Rp 10 juta per bulan (lihat ”Ongkos Membobol Kas”).

Setiap anggota konsorsium memiliki rekanan untuk pembelian suku cadang: ini juga salah satu titik penyebab biaya tinggi. Dari perusahaan rekanan, pejabat konsorsium mendapat komisi besar. ”Masak, baut (cadangan) saja dibeli sampai 6.000 lebih untuk satu bus,” sumber Tempo mencontohkan belanja yang tak masuk akal.

Jun Tambunan, Direktur Operasi Jakarta Mega, membantah konsorsium menggelembungkan harga. Menurut dia, pengadaan barang sesuai dengan harga pasar.

l l l

Badan Layanan Umum bukan tidak menyadari lemahnya dasar hukum penunjukan langsung operator busway. Drajad Adhyaksa, yang memimpin Badan Layanan hingga pertengahan tahun lalu, bahkan menolak menandatangani kontrak jangka panjang dengan konsorsium. Ia hanya mengeluarkan surat perintah kerja yang berlaku tiga bulanan.

Tempo mendapat informasi bahwa Drajad kepada bawahannya selalu menyatakan takut dipersoalkan jika menandatangani kontrak untuk perusahaan yang ditunjuk langsung. Ia hanya mau membayar operator dengan harga hasil lelang. Akibatnya, operator mengancam mogok beroperasi. Ditemui tiga pekan lalu, Drajad menolak diwawancara. “Saya tak lagi menjabat,” ujarnya.

Wakil Gubernur Prijanto, mewakili Gubernur Fauzi Bowo—yang sejak Oktober 2007 menggantikan Sutiyoso—pun turun tangan. Ia mengeluarkan instruksi gubernur yang mengatur pembayaran kepada konsorsium 85 persen dari harga Rp 12.885.

Kisruh tarif ini berlanjut ketika pada Maret lalu konsorsium menggugat Badan Layanan Umum ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Badan Layanan akan membayar tarif sesuai dengan keputusan Badan Arbitrase kelak. ”Bila putusan Badan Arbitrase lebih tinggi daripada harga lelang, akan kami bayar kekurangannya. Bila sebaliknya, akan kami tagih ke konsorsium kelebihan pembayarannya,” kata Daryati Asrining Rini, Kepala Badan Layanan.

Perselisihan di Badan Arbitrase sesungguhnya tak menghilangkan ”kesalahan prosedur” pada penunjukan langsung operator. Agus Rahardjo, Sekretaris Utama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, menilai penunjukan itu sudah memenuhi unsur-unsur korupsi: merugikan negara dan memperkaya orang lain.

Menurut Agus, kejar target peluncuran busway bukan merupakan unsur darurat yang dibolehkan buat melakukan penunjukan langsung. Kondisi darurat yang dimaksudkan Keputusan Presiden tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa adalah bencana alam yang perlu tindakan cepat. Juga bisa untuk pembelian barang yang sudah dipatenkan dan tidak bisa diperoleh dari perusahaan lain.

Sutiyoso membantah melanggar aturan. Ia mengatakan semua pertimbangan hukum telah dibahas stafnya sebelum peraturan gubernur dikeluarkan. Di antaranya, ia menunjuk Nurachman, Kepala Dinas Perhubungan, pada 2006. Nurachman, saat ditemui Tempo di kantornya, Balai Kota DKI Jakarta, menolak diwawancarai. ”No comment,” katanya. Ketika ditemui kembali di kesempatan lain, ia berujar, ”Sudah saya katakan, saya tidak mau berkomentar.”

Tampaknya, konsorsium masih bisa terus menangguk untung besar di jalur khusus angkutan Ibu Kota ini bila tak ada perubahan kebijakan harga. Mengutip Nurwati Harahap, Direktur Umum Perum PPD, ”Tak ada bisnis seempuk busway.”

Kisruh Seusai Lelang

Ketika lelang untuk operator busway Transjakarta dibuka, harga yang muncul jauh lebih rendah ketimbang operator bus Transjakarta yang ditunjuk pemerintah DKI Jakarta. Selisihnya Rp 3.000 lebih per kilometer.

2003
Pemerintah DKI Jakarta membentuk Badan Pengelola Transjakarta Busway, yang bertanggung jawab langsung ke gubernur.

2004
15 JANUARI
Badan Pengelola menunjuk PT Jakarta Express Trans (Perum PPD, Ratax, Bianglala, Steady Safe, Pahala Kencana) sebagai operator koridor I (Blok M-Kota). Bus dan biaya operasional disediakan pemerintah. Operator mendapat upah Rp 8.250 per kilometer.

2006
15 JANUARI
Koridor II (Pulogadung-Harmoni) dan III (Harmoni-Kalideres) mulai beroperasi. Badan Pengelola menunjuk PT Transbatavia (Mayasari Bakti, Steady Safe, Perum PPD, PT Metromini). Konsorsium menyediakan bus dan biaya operasional. Imbalannya Rp 12.550 per kilometer.

JULI
Penataan trayek untuk koridor IV (Pulogadung-Dukuh Atas), V (Kampung Melayu-Ancol), VI (Ragunan-Latuharhari), dan VII (Kampung Rambutan-Kampung Melayu). Pemberitahuan kepada pemilik angkutan di jalur ini: Mayasari, Steady Safe, Bianglala, Perum PPD, Pahala Kencana.

16 AGUSTUS 2006
Mayasari, Steady Safe, Bianglala, dan PPD berhimpun dalam PT Jakarta Trans Metropolitan menjadi operator koridor IV dan VI. Mayasari, Steady Safe, PPD, dan Pahala Kencana mengoperasikan koridor V dan VII, mendirikan PT Jakarta Mega Trans.

20 NOVEMBER
Konsorsium mengajukan tarif Rp 16.641 per kilometer (koridor IV), Rp 29.867 (koridor V, bus gandeng), Rp 16.619 (koridor VI), dan Rp 15.965 (koridor VII).

7 DESEMBER

  • Gubernur Sutiyoso mengeluarkan peraturan nomor 123/2006 yang memungkinkan penunjukan langsung. Juga diatur penyesuaian dan negosiasi tarif jika ada patokan lebih rendah.
  • Badan Pengelola dan konsorsium sepakat pada tarif Rp 12.880 per kilometer.
  • Konsorsium memesan bus ke Korea Selatan.

    12 DESEMBER
    Dinas Perhubungan Jakarta menunjuk dan menetapkan konsorsium menjadi operator koridor IV-VII.

    19 DESEMBER
    Badan Pengelola berubah menjadi Badan Layanan Umum yang berada di bawah Dinas Perhubungan. Penanggung jawab berpindah dari gubernur ke Kepala Dinas Perhubungan.

    2007
    15 JANUARI
    Badan Layanan Umum menetapkan pembagian operator. Jakarta Trans Metropolitan (Mayasari, PPD, Steady Safe, Bianglala) koridor IV dan VI. Jakarta Mega Trans (Mayasari, PPD, Steady Safe, Pahala Kencana) koridor V dan VII.

    28 JANUARI
    Operasi perdana bus Transjakarta koridor IV, V, VI, dan VII.

    8 FEBRUARI
    Bekas Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Rustam Effendi Sidabutar divonis tiga tahun bui karena menunjuk PT Armada Usaha Bersama menyediakan bus Transjakarta. Tindakannya merugikan negara Rp 10,6 miliar.

    MEI
    Pemerintah berencana melelang tambahan operator koridor IV-VII.

    21 JUNI
    Biro Perlengkapan DKI Jakarta mengeluarkan surat patokan harga Rp 12.885 per kilometer tempuh untuk peserta lelang koridor IV-VII.

    11 JULI
    Kesepakatan antara Badan Layanan Umum dan konsorsium pada harga Rp 12.885 per kilometer tempuh.

    5 DESEMBER
    Lorena memenangi lelang operator koridor VII pada harga Rp 9.443 per kilometer untuk bus single dan Rp 16.661 untuk bus gandeng di koridor V. Primajasa mendapat harga Rp 9.536 untuk koridor IV dan Rp 9.371 untuk koridor VI.

    2008
    30 JANUARI
    Konsorsium meminta Badan Layanan Umum menerbitkan surat perintah kerja pada harga Rp 12.885 per kilometer.

    FEBRUARI
    Negosiasi harga dengan patokan baru harga lelang mengacu pada Peraturan Gubernur Nomor 123/2006.

    10 MARET
    Gubernur Jakarta, melalui surat Wakil Gubernur Prijanto, mengeluarkan surat perintah pembayaran sementara untuk konsorsium 85 persen dari Rp 12.885 (Rp 10.952) sampai diperoleh harga kesepakatan.

    26 MARET
    Gubernur Jakarta membentuk kelompok kerja untuk mengkaji tarif koridor IV-VII.

    2009
    11 MARET
    Konsorsium menggugat Badan Layanan Umum ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia menolak penyamaan tarif harga lelang dengan merujuk pada surat Biro Perlengkapan Rp 12.885 per kilometer.

    11 JUNI
    Pemerintah Jakarta berencana merevisi Peraturan Gubernur Nomor 123/2006 yang dinilai multitafsir. Peraturan ini juga dipandang melanggar Keputusan Presiden Nomor 80/2005 soal keharusan tender untuk proyek-proyek pemerintah.


    TIM INVESTIGASI
    Kepala Proyek: Budi Setyarso
    Koordinator: Muchamad Nafi
    Penulis: Muchamad Nafi, Bagja Hidayat, Yuliawati
    Penyumbang Bahan: Agung Sedayu, Bagja Hidayat, Budi Setyarso, Muchamad Nafi, Yuliawati
    Editor: Hermien Y. Kleden, Budi Setyarso Periset
    Foto: Bismo Agung
    Desain: Hendy Prakasa, Eko Punto

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus