Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI antara mobil-mobil pribadi yang menyerobot di jalur khusus Ancol-Senen, bus Transjakarta abu-abu itu jangkung dan gagah. Semua kendaraan merayap pelan di jalur yang sama sekali tak terkesan khusus itu—karena padat bukan main. Panas tengah hari menyengat Pademangan, Jakarta Pusat, pada Jumat itu, dua pekan lalu.
Beberapa meter menjelang halte, sopir bus membanting setir ke kanan. Ia berpindah jalur, melawan arus di jalur khusus dari arah Kampung Melayu menuju Ancol. Syukurlah, jalur seberang kosong. ”Itu pelanggaran,” kata Ito Arnito, petugas patroli busway yang berjaga di halte Pademangan. ”Tapi mereka susah dibilangin.”
Bagi para pengemudi bus Transjakarta, mobil pribadi yang menyerobot masuk jalur khusus adalah malapetaka. Jalan tersendat membuat mereka tak leluasa memacu bus. Padahal setiap hari para pengemudi dibebani target kilometer tempuh. Itu sebabnya, ”kreativitas” mereka perlukan untuk menyiasati jalan.
Keluar jalur, salah satunya. Menyalip bus lain ketika jalur lempeng juga satu cara—seperti yang disaksikan Tempo di Pademangan. ”Pelanggaran seperti itu sering terjadi di sini,” kata seorang pengemudi—kita sebut saja Amar—rute Kampung Melayu-Ancol.
Menurut Kepala Badan Layanan Umum Transjakarta, Daryati Asrining Rini, setidaknya ada tiga kiat pengemudi menggenjot kilometer tempuh: mendahului bus di depannya, tidak berhenti di setiap halte, dan berhenti di halte tapi tak menaikkan penumpang.
Upaya lain adalah melobi petugas Badan Layanan Umum. Para sopir melakukan ini agar masa tunggu 10-15 menit di halte akhir yang diatur Badan Layanan bisa dikurangi. Dengan sedikit ”hubungan baik”, pengemudi bisa memangkasnya menjadi 3 menit.
Menurut Amar, masa tunggu amat mempengaruhi pencapaian rit. Dengan 3 menit di halte akhir, misalnya, para pengemudi bakal punya waktu lebih sekitar 70-120 menit per giliran kerja. ”Tambahan itu cukup untuk menambah satu-dua rit,” kata Amar. Dia bisa melahap Ancol-Kampung Melayu sepanjang 13 kilometer rata-rata 40 menit ketika jalanan lancar.
Lobi ke petugas busway biasanya berdasarkan pertemanan. Para sopir bus konsorsium yang lebih dulu beroperasi dan dikenal petugas sering mendapat kemudahan. Irawan, seorang petugas halte, membenarkan informasi itu. ”Rencana operasi terkadang hanya teori,” katanya. ”Di lapangan tergantung situasi.”
Perusahaan memang merangsang pengemudi bermanuver mengejar target. Satu perusahaan konsorsium, misalnya, memberikan bonus buat para sopir yang mencapai target perjalanan. Herman, dia minta disebut demikian, menuturkan perusahaan memberikan tambahan Rp 10 ribu setiap enam rit pada satu giliran kerja. ”Sebaliknya, bila tak mencapai target minimal lima rit,” kata pengemudi Jakarta Mega Trans ini, ”kami akan menerima surat peringatan.”
Bonus itu cukup buat menambal gaji pokok dan uang makan pengemudi, Rp 2,090 juta per bulan dengan 26 hari kerja. Demi mengejar uang lebih itulah para sopir melanggar aturan. Mereka yang dulu pengemudi bus kota reguler, menurut Herman, lebih berani ugal-ugalan.
Jun Tambunan, Direktur Operasi PT Jakarta Mega Trans, menuding Badan Layanan menjadi penyebab pelanggaran. Menurut dia, Badan Layanan membatasi operasionalisasi bus konsorsium setelah masuk bus dari perusahaan pemenang lelang. Untuk mengakali agar bus bisa beroperasi pada jam seharusnya dikandangkan, menurut Jun, para pengemudi tak segan mempraktekkan ”salam tempel”—bersalaman dengan lipatan uang di genggaman—dengan pengawas Badan Layanan.
Untuk menekan ”strategi” para pengemudi, Badan Layanan mewajibkan operator membuat rencana yang mencantumkan jumlah kendaraan dan waktu operasional. Rini menjelaskan, pengawas akan mencocokkan rencana itu di halte pemberangkatan dan halte akhir. Tapi, ia menambahkan, cara paling ampuh adalah membuat ruang kontrol dengan sistem online—seperti di Bogota, Kolombia: negeri di Amerika Selatan tempat sistem busway Jakarta berkiblat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo