Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Keruhnya Swastanisai PAM Jaya

Di Indonesia, swastanisasi berubah menjadi semacam matra ajaib untuk menyelesaikan banyak hal. Tapi, di PAM Jaya, urusan ini sudah runyam bahkan sejak awal. Kolusi, dan nepotisme Keluarga Cendana pekat mewarnai. Jika diteruskan, negara merugi Rp 1,33 lebih, atau konsumen tercekik ketat.

12 April 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERISTYADI mestinya bekerja seperti biasa pagi itu. Tapi, dua pekan lalu, tingkah laku karyawan Kantor Wilayah IV Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya) di Jalan Perdana, Tubagus Angke, Jakarta Barat ini tampak berbeda dari biasanya. Bersama dengan 350 rekan kerjanya yang berseragam baju biru dan bercelana warna gelap, ia terlihat cuma duduk-duduk bergerombol sembari ngobrol. Ada apa gerangan? Ternyata, terhitung sejak pukul 07.00, 31 Maret silam, para karyawan PAM Jaya itu sedang melakukan aksi demonstrasi sekaligus mogok kerja. "Aksi ini murni benar-benar dari kami," kata Teristyadi seperti mencoba meyakinkan bahwa gerakan mereka tidak ada yang menunggangi. Walau tak ada yang menunggangi, suasana tetap meriah. Seperti laiknya sebuah unjuk rasa, karyawan memajang poster warna-warni di tembok kantor. Teksnya macam-macam, antara lain "Sesuaikan gaji kami", "Kami karyawan tuntut keadilan", "Dulu kakek saya dijajah Belanda, bapak saya dijajah Jepang, saya dijajah Prancis, kapan kami berhenti dijajah?". Aksi unjuk rasa karyawan PAM Jaya berulang Kamis pekan lalu. Kali ini di Kantor Pusat PAM Jaya, di Pejompongan, Jakarta Pusat. Jumlah pesertanya pun meningkat jadi sekitar 2.000 orang. Mereka menuntut agar PAM Jaya melepas kerja sama dengan mitra-mitra partikelirnya: PT PAM Lyonnaise (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ). Alasannya, kerja sama itu merugikan. Demo tersebut sebetulnya sekadar ekor dari amburadulnya persoalan kerja sama antara PAM Jaya dan mitra swasta. Adapun latar belakang semua persoalan itu begini. Selama bertahun-tahun distribusi air PAM Jaya sangat buruk. Tingkat kebocoran yang terjadi rata-rata di atas ambang toleransi 20 persen dari kapasitas produksi (lihat tabel Persentase Kebocoran). Kebocoran itu antara lain disebabkan oleh kerusakan pada jaringan pipa transmisi dan distribusi (karena sudah tua), meteran rusak, dan pencurian. Akibatnya perusahaan daerah ini menderita rugi besar?selama tiga tahun terakhir ini saja mencapai lebih dari Rp 166 miliar (lihat tabel Matematika Kerugian Akibat Kebocoran). Melihat keadaan ini, bekas presiden Soeharto lantas memberi petunjuk Menteri Pekerjaan Umum waktu itu, Radinal Mochtar, pada 12 Juni 1994 untuk mengalihkan pengelolaan usaha air minum di Jakarta dan sekitarnya kepada swasta. Maksudnya baik, yakni untuk menurunkan tingkat kebocoran tadi. Tapi sebetulnya lucu juga, masa seorang presiden sampai turun tangan mencampuri urusan domestik semacam ini, padahal mestinya cukup ditangani gubernur. Tiba-tiba seperti elang menyambar mangsa, PT Kekar Plastindo mengirim surat nomor 038/Ext.KP/FT/VIII1994 ke PAM Jaya pada 15 Agustus 1994. Surat itu ditandatangani oleh Komisaris Utama Sigit Harjojudanto dan Direktur Fachri Thaib. Asal tahu saja, saham PT Kekar Plastindo memang dikuasai dua anak Soeharto, Sigit Harjojudanto dan Bambang Trihatmodjo, serta Harry Sapto Soepojo dan Erik Boy Kosasie. Adapun isi surat itu perihal kemungkinan kerja sama untuk membangun saluran distribusi untuk mengalirkan air baku dari Bendungan Jatiluhur ke instalasi produksi PAM Jaya di Jakarta. Targetnya, agar air yang mengalir terjamin kualitas dan kuantitasnya. Dalam kerja sama tersebut PT Kekar Plastindo menggandeng perusahaan air Inggris, Thames Water International. Seperti kerbau dicocok hidungnya, PAM Jaya pun menyetujui usul itu. Pada 31 Agustus 1994, keduanya meneken nota kesepahaman. Sesuai dengan kesepakatan itu, selain wajib menyetor modal, PT Kekar Plastindo berhak mengurusi soal produksi, distribusi, dan penagihan uang langganan. Perusahaan yang tak jelas latar belakang jenis usahanya ini juga mendapat wilayah penggarapan di zona 4 (daerah Jakarta sebelah timur). Entah mengapa, belakangan persetujuan ini berkembang lain. PT Kekar ternyata juga boleh menggarap zona 2 alias menguasai hampir sepertiga wilayah Ibu Kota. Sedangkan PAM Jaya ketiban bagian yang tak enak. Soalnya, sesuai dengan perjanjian itu, umpamanya, PAM Jaya harus memberikan jaminan atas kualitas dan kuantitas air. PAM Jaya juga mesti memberikan kompensasi menutup kekurangan pendapatan pihak kedua (dua perusahaan swasta itu) jika terjadi pemutusan sambungan dan terdapat rekening menunggak dari pelanggan tertentu?biasanya ABRI, instansi pemerintah, dan badan usaha milik negara atau daerah. Sesuatu yang lama-lama memberatkan dan mengurangi pendapatan. Dengan cara semacam ini, tentu saja masa depan PAM Jaya sudah dapat diramal: bakal menanggung beban kerugian, sedikitnya Rp 1,33 triliun (berdasar data BPKP, lihat tabel). Adapun perusahaan partikelir itu seperti tinggal menadah durian runtuh saja. Rezeki nomplok ini rupanya membuat perusahaan air Prancis, Lyonnaise Des Eaux (LDE), ngiler. Lyonnaise adalah mitra bisnis PAM Jaya sejak 1953. Seperti tak mau kalah, perusahaan ini pun tertarik ikut menggarap zona 1 dan 3. LDE menggandeng PT Garuda Dipta Semesta, yang sahamnya dikuasai Grup Salim melalui PT Elang Eka Prabawa (90 persen) dan Soetyo Koerniawan (10 persen). Karena kedekatannya dengan pusat kekuasaan, keinginan LDE tak terbendung. Soeharto bahkan lagi-lagi memerintahkan Radinal untuk menyelesaikan rebutan rezeki itu. Pada 15 Juni 1995 Menteri Pekerjaan Umum lalu membagi Jakarta menjadi dua wilayah. Zona 1, 4, dan 5 di bagian barat Ciliwung diserahkan ke PT Garuda Dipta Semesta. Sedangkan PT Kekar Plastindo, yang kemudian berubah nama menjadi PT Kekarpola Airindo, mendapat jatah zona 2, 3, dan 6 di timur Ciliwung. Menarik pula mengamati bahwa semua proses penjatahan tersebut tanpa melalui proses tender transparan. Para rekanan disetujui begitu saja tanpa seorang pun berani mengoreksi. Pola semacam ini mirip yang terjadi pada praktek swastanisasi di perusahaan utilitas lain, misalnya di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Mula-mula ada masalah?alasan yang dipakai bisa macam-macam?misalnya kebutuhan meningkat tapi modal kurang. Lalu atas nama liberalisasi perdagangan, juga "imbauan" pihak asing semacam Dana Moneter Internasional (IMF), swasta diundang masuk. Tujuan awalnya baik, dengan swastanisasi, harga bisa bersaing karena ada kompetisi, dan layanan membaik. Hanya sayang, biasanya yang muncul praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme juga. Begitu juga yang terjadi di PAM Jaya ini. Padahal praktek sejenis ini terang melanggar aturan. Surat Edaran Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1990, misalnya, jelas-jelas menyebut bahwa penunjukan mitra kerja sama swasta harus dilakukan lewat lelang terbuka (tender). Namun cerita jalan terus. Perjanjian dan penjatahan itu berjalan mulus. Kebetulan pada waktu hampir bersamaan, yakni sekitar 1997, Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) telah meminta Bank Dunia untuk menyusun suatu usulan tentang arah kebijakan sektor air minum perkotaan. Permintaan itu disetujui Bank Dunia, yang kemudian membuat laporan tentang kerangka kebijakan untuk sektor air di perkotaan (Urban Water Supply Sector Policy Framework). Laporan tersebut dibuat oleh Alain Locussol, spesialis suplai dan sanitasi air Bank Dunia. "Jadi Locussol bukan konsultan Bank Dunia seperti yang disebut oleh Indonesian Corruption Watch," ujar Kimberly Versac dari Bagian Urusan Luar Bank Dunia. Isi laporan itu, antara lain, rekomendasi agar PAM Jaya diswastakan untuk meringankan beban utang pemerintah. Maklum, pinjaman Rp 2,4 triliun dari Bank Dunia?karena depresiasi rupiah terhadap dolar?belakangan melambung menjadi sekitar Rp 4 triliun. Adapun bantuan itu digunakan untuk pengembangan Jakarta, termasuk pengelolaan air minum. Tapi Bank Dunia tak merekomendasi swasta mana saja yang boleh masuk. Artinya, swastanisasi harus tetap lewat tender transparan. "Swastanisasi dengan kompetisi terbuka itu baik," ujar Benjamin Fischer, Wakil Direktur Bank Dunia. Untunglah, awan tak selamanya mendung. Pada Mei 1998 Soeharto lengser. Gubernur DKI Jakarta yang baru, Sutiyoso, mengeluarkan Surat Instruksi Nomor 131 tanggal 22 Mei 1998. Isinya, Pemerintah DKI mengambil alih kegiatan operasi dan administrasi usaha air minum. Atas nama reformasi, dua perusahaan lokal?PT Kekar Plastindo, yang berubah nama jadi PT Kekarpola Airindo, dan PT Garuda Dipta Semesta?ditendang keluar karena ada aroma kolusi dan nepotisme yang kuat dalam proses keterlibatan mereka. Tapi Sutiyoso tetap mempertahankan dua perusahaan asing, LDE dan TWI, sebagai pengelola. Dua yang terakhir ini belakangan juga bersalin nama jadi PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Thames PAM Jaya (TPJ). Selesai? Belum. Indonesian Corruption Watch (ICW) mengendus ada sesuatu yang tak beres di balik kerja sama PAM Jaya dan mitra partikelir. Lembaga ini menduga bahwa Palyja dan TPJ sama sekali belum mengeluarkan dana investasi seperti yang semula disepakati. Dana rehabilitasi jaringan distribusi kemungkinan besar diperoleh dari iuran air yang dibayar masyarakat. Teten Masduki, Koordinator Harian ICW, menambahkan bahwa dua perusahaan swasta itu mencaplok begitu saja aset-aset PAM Jaya. Palyja dan TPJ ternyata juga belum sanggup menekan tingkat kebocoran air. Pada 1997, ketika masih dikelola PAM Jaya sendirian, tingkat kebocoran air mencapai 55 persen per tahun, tapi setelah swasta masuk tingkat kebocoran malah bertambah (lihat tabel). Namun, dugaan Teten ditampik Thames PAM Jaya. Nani Sariati, manajer pemasaran dan penjualannya, menyatakan perusahaannya telah menanam investasi US$ 40 juta pada 1998. Mereka juga telah menemukan dan memperbaiki lebih dari 22.466 titik kebocoran. Selain itu?ini yang penting?TPJ mengaku bahwa kepemilikan saham dikuasai oleh Thames Water International (90 persen) dan Pemerintah DKI Jakarta (10 persen), bukan Sigit Harjojudanto lagi. Palyja idem ditto. Anak perusahaan Suez Lyonnaise des Eaux asal Prancis ini mengaku sudah menyetor investasi Rp 185 miliar pada 1998 dan Rp 350 miliar tahun ini. Dana segar ini merupakan pinjaman dari European Investment Bank (US$ 60 juta) dan bank lain yang totalnya mencapai US$ 130 juta. Ihwal komposisi kepemilikan, Komisaris Palyja, Bernard Lafrogne, punya penjelasan sebagai berikut. Ketika menggandeng Grup Salim pada 1992, Salim punya saham 60 persen, dan sisanya milik Lyonnaise. Setelah Mei 1998, ketika mitra lokal dipaksa mundur, Lyonnaise memborong semua saham yang ada dan hendak menjual 10 persennya kepada Pemda DKI. Jadi posisi akhir struktur saham di Palyja adalah Lyonnaise 90 persen dan Pemda DKI, kalau mau, 10 persen. Kalau mau? Lafrogne mengakui bahwa perusahaannya mendapat kontrak dari penunjukan langsung. Tapi ia tak merasa bersalah karena Keputusan Presiden yang mengatur bahwa semua proyek harus melalui tender baru keluar 12 Februari 1998. Waktu itu yang ada cuma Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 1996, yang menyebutkan bahwa untuk kontrak dapat diperoleh melalui dua cara: tender dan penunjukan langsung. "Jadi kami mendapatkan kontrak sesuai dengan peraturan tahun 1996," ujar Lafrogne. Masalahnya, Monsieur Lafrogne, penjelasan Anda agak tak masuk akal. Soalnya, keputusan presiden yang mengharuskan bahwa setiap proyek harus lewat tender itu (Keppres Nomor 16) sebetulnya sudah ada sejak 1990. Sedangkan instruksi Menteri Dalam Negeri yang membolehkan proyek lewat penunjukan langsung justru baru keluar satu tahun setelah perjanjian disepakati. Artinya, perjanjian dibuat dulu, aturan menyusul belakangan. Apakah ini bukan sekadar akal-akalan? Harap diperhatikan pula, kerja sama itu awalnya pembangunan saluran pipa tertutup untuk mengalirkan air baku dari Perusahaan Umum Otorita Jatiluhur ke Instalasi Produksi PAM Jaya oleh PT Kekar Plastindo. Mengapa kemudian bisa berubah menjadi hak penguasaan operasional pada zone 2 dan 4? Satu lagi yang patut jadi perhatian adalah laporan temuan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas PAM Jaya yang ditandatangani oleh Drs. Trenggono. Dalam laporan itu, BPK menemukan bukti bawa PAM Jaya harus menanggung beban subsidi Rp 910 miliar (lihat tabel Proyeksi Keuangan PAM Jaya). BPK juga menemukan kenyataan bahwa mitra swasta ternyata mendapatkan hak eksklusif untuk mengelola seluruh aset PAM Jaya selama 25 tahun. Selain itu, ternyata mitra swasta juga tidak perlu membangun jaringan infrastruktur dan pelanggan sehingga manfaat proyek/investasi dapat langsung dinikmati dengan segera meskipun mereka belum menyetor modal apa pun. BPK pun melihat bahwa ada selisih bunga yang belum diterima PAM Jaya di di rekening escrow. Rekening escrow adalah rekening yang diatur oleh suatu agen (escrow agent) pilihan dua belah pihak, yakni PAM Jaya dan mitra swasta, untuk menampung pendapatan hasil operasi. PAM Jaya tidak bisa mengeluarkan uang itu sendiri, begitu juga sebaliknya dengan mitra swasta. Nah, selisih bunga itu mencapai lebih dari Rp 65 juta (lihat tabel). Entah di mana bunga itu menyangkut. Laporan BPK tidak menyebut secara jelas keberadaannya. Kalau sudah begini, rasanya wajar kalau Teristyadi dkk. unjuk rasa. Siapa tahu, hanya lewat cara itu swastanisasi itu ditinjau kembali. Apalagi Direktur Utama PAM Jaya, Rama Boedi, jelas-jelas mengatakan, "Dalam kondisi ekonomi seperti sekarang ini, investasi swasta untuk air minum tidak menguntungkan, baik untuk swasta sendiri, pemerintah, maupun PAM Jaya." Jadi, tunggu apa lagi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus